Saturday, April 6, 2013

Biografi Singkat Imam Al-Asy’ary


Oleh : Ummu Fauzi

Mayoritas kaum Muslimin yang berada di berbagai belahan negara Islam menisbatkan aqidah mereka kepada Abul Hasan Al-Asy’ary. Namun sangat disayangkan, mereka tidak mengenal sedikitpun tentang Abul Hasan dan juga tidak mengetahui aqidah terakhir yang beliau yakini yang menjadikan diri beliau termasuk dalam deretan imam-imam yang menjadi panutan. Kami ingin menerangkan kepada mereka hakikat sebenarnya tentang imam yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang-orang yang menisbatkan diri mereka kepada beliau dan berpegang dengan aqidah beliau berdasarkan literatur muktabar yang telah kami teliti.

Siapa Abul Hasan Al-Asy’ary ?

Beliau adalah Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Abi Burdah bin Abu Musa Al-Asy’ary.

Lahir pada tahun 260 H. Identitas ini disebutkan oleh Abul Qasim Ali bin Hasan bin Hibatullah bin ‘Asaakit Ad-Dimasyqy dalam kitabnya “Tabyiinul Kidzbil Muftari Fima Nusiba ila Abi Hasan Al-Asy’ary” , Al-Khatib Al-Baghdady dalam kitab Tarikh Baghdaady, Ibnu Khalkan dalam Wafayaatul A’yan, Adz-Dzahaby dalam Tarikh Islam, Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah dan Thabaqaat Asy-Syaafi’iyah, At-Taaj As-Subki dalam Thabaqaat Asy-Syaafi’iyah Al-Kubra, Ibnu Farhun Al Maaliky dalam Ad-Dibadzul Madzab fi A’yaani Ahli Madzab, Murtadha Az-Zubaidy dalam Ittihaafus Saadatil Muttaqin bi Syarh Asrar Ihya ‘Ulumuddin, Ibnul ‘Ammad Al-Hanbali dalam Syadzaraat Adz-Dzahab fi A’yaani min Dzahab dan lain-lain.

Imam Abul Hasan Al-Asy’ary datang ke kota Baghdad dan mengambil hadits dari Al-Hafidz Zakariya bin Yahya As-Saajy salah seorang imam hadits dan fiqh, dari Abi Khalifah Al-Jumahi, Sahl bin Sarh, Muhammad bin Ya’kub al Muqry dan Abdur Rahman bin Khalaf Al-Bashriyain. Beliau banyak meriwayatkan dari mereka dalam kitab tafsir beliau berjudul Al-Mukhtazin. Beliau juga mengambil ilmu kalam dari gurunya yaitu suami ibunya yang bernama Abi Ali Al-Jubba’i, salah seorang tokoh Mu’tazilah.

Setelah beliau mendalami ilmu kalam dan berhasil mencapai puncaknya, beliau mengajukan beberapa pertanyaan kepada gurunya tersebut. Tetapi beliau tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan hingga membuat beliau bingung.

Dikisahkan dari beliau, bahwa beliau berkata, “Selama beberapa malam, aku merasa gelisah dengan aqidah yang sedang aku pegang. Lantas aku berdiri melaksanakan shalat dua rakaat. Lalu aku memohon kepada Allah Ta’ala agar Dia menunjukiku kepada jalan yang lurus, kemudian aku tertidur. Aku melihat Rasulullah saw dalam mimpi lantas aku mengadukan kepada beliau tentang masalah yang sedang menggelayutiku. Rasulullah saw bersabda kepadaku, “Peganglah sunnahku!” kemudian akupun terbangun. Setelah itu aku membandingkan masalah-masalah ilmu kalam yang aku dapati, dengan Al Qur’an dan Hadits. Akupun berkesimpulan untuk berpegang teguh dengan Al Qur’an dan As-Sunnah serta membuang ilmu-ilmu selainnya.

Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Tsabit yang dikenal dengan sebutan Al-Khatib Al-Baghdady wafat tahun 463 H dalam tarikhnya yang terkenal juz 11 halaman 346 berkata : “Abu Hasan Al Asy’ary adalah pemilik berbagai kitab yang membantah kaum mulhid dan lain-lainnya dari kalangan Mu’tazilah, Rafidhah, Jahmiyah, Khawarij dan berbagai kelompok bid’ah lainnya.”…kemudian beliau mengatakan : “Pada waktu itu kaum Mu’tazilah sedang berjaya hingga Allah memunculkan Abu Hasan Al-Asy’ary yang akhirnya menghujat mereka hingga tak berkutik.”

Ibnu Farhun berkata dalam kitab Ad-Dibaj : “Abu Muhammad bin Abi Zaid Al-Qiruwany dan imam-imam lainnya memberi pujian terhadap Abu Hasan Al-Asy’ary.”

Ibnul ‘Imam Al-Hanbali berkata dalam kitab Asy-Syadzaraat 2/303 : “Di antara perkara yang membuat hina panji-panji kaum Mu’tazilah dan Jahmiyah serta menjelaskan kebenaran yang sudah nyata dan membuat dada ahli iman dan ahli ma’rifah sejuk adalah perdebatan Abul Hasan Al-Asy’ary dengan gurunya, Al-Jubba’i, yang hasilnya mematahkan kekuatan semua pelaku bid’ah dan tukang debat. Perdebatan ini sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Khalkan ; “Abul Hasan Al-Asy’ary mengajukan tiga pertanyaan kepada ustadznya, Abu Ali Al-Jubbaa’i tentang tiga orang bersaudara. Yang pertama seorang mukmin, baik dan bertaqwa, yang kedua kafir, fasiq dan jahat, dan yang ketiga masih kecil. Kemudian ketiga-tiganya mati, bagaimana keadaan mereka nanti ?” Al-Jubbaa’i menjawab :”Adapun yang mukmin maka ia berada di tempat yang tinggi (jannah), sedang yang kedua berada di tempat paling rendah (neraka) dan yang masih kecil termasuk orang-orang yang selamat (dari neraka).”

Abul Hasan Al-Asy’ary bertanya lagi : “Jika si kecil ingin ke tempat saudara yang mukmin tadi, apakah ia akan diberi izin ?” Al-Jubbaa’i menjawab : “Tidak boleh ! Karena akan dikatakan kepadanya bahwa saudaramu dapat mencapai derajat ini karena ia banyak beramal, sementara kamu tidak mempunyai amal ketaatan.”Abul Hasan Al-Asy’ary berkata : “Jika si kecil menjawab : “Kesalahan ini tidak terletak padaku, karena Allah tidak membiarkan usiaku panjang dan tidak mentakdirkan kepadaku untuk melaksanakan ketaatan.” Al-Jubbaa’i berkata : “Allah swt akan berkata :’Aku mengetahui, jika Aku biarkan usiamu panjang, kamu akan menjadi orang yang durhaka dan berarti kamu berhak mendapat azab yang pedih. Maka hal itu Aku lakukan demi kemaslahatanmu.”

Abul Hasan Al-Asy’ary berkata : “Jika saudaranya yang kedua berkata ;’Wahai Ilaah semesta alam, sebagaimana Engkau mengetahui keadaannya tentunya Engkau juga sudah mengetahui keadaanku, lantas mengapa Engkau tidak memperhatikan kemaslahatanku ?” Mendengar hal itu Al-Jubbaa’i pun terdiam.”

Ibnu Imaad berkata, “Perdebatan ini menunjukkan bahwa Allah swt memberikan rahmat-Nya kepada siapa saja yang Dia kehendaki dan menimpakan azab atas siapa saja yang Dia kehendaki.”

Taajuddin As-Subki dalam Thabaqaat Asy-Syaafi’iyah Al Kubra berkata ;”Abul hasan Al-Asy’ary seorang ulama besar Ahli Sunnah setelah Imam Ahmad bin Hanbal dan tidak diragukan lagi bahwa aqidah beliau sama seperti aqidah Imam Ahmad bin Hanbal. Hal ini dengan jelas beliau sebutkan berkali-kali dalam buku-buku beliau ; “Aqidahku adalah seperti aqiah Al-Imam Ahmad bin Hanbal.” Demikianlah ucapan Syekh Abul Hasan Al-Asy’ary di berbagai tempat dalam bukunya.

Keutamaan Abul Hasan Al-Asy’ary terlalu banyak dan dalam kesempatan yang terbatas ini tidak mungkin dikumpulkan semuanya. Siapa saja yang membaca tulisan-tulisan beliau setelah bertaubat dari madzhab Mu’tazilah, akan menjumpai bahwa Allah telah mencurahkan taufik-Nya kepada beliau dan menjadikan beliau sebagai penegak kebenaran dan pembela manhaj yang haq.

Para pengikut madzhab berselisih tentang madzhab yang dianut oleh Imam Abul Hasan Al-Asy’ary. Penganut madzhab Maliki mengatakan bahwa beliau adalah seorang yang bermadzhab Maliki. Penganut madzhab Asy-Syafi’i mengatakan bahwa beliau bermadzhab Syafi’i dan demikian halnya dengan penganut madzhab Hanafy. Ibnu Asakir berkata ;”aku bertemu dengan Syekh Al Fadhil Jamal Al-Faqih lalu ia menyebutkan riwayat dari guru-gurunya bahwa Abul Hasan Al-Asy’ary bermadzhab Maliki. Kemudian sekarang ini siapa saja yang menisbatkan diri kepada madzhab Ahli Sunnah dan orang-orang yang menekuni masalah-masalah ushuluddin dari berbagai madzhab menisbatkan diri kepada beliau, karena banyaknya buku-buku karangan beliau dan banyaknya orang-orang yang membacanya.

Ibnu Faurak berkata ;”Abul Hasan Al-Asy’ary wafat pada tahun 324 H.”

Setelah disebutkan secara ringkas biografi ulama ini, selanjutnya akan disebutkan bukti taubat beliau dari pemikiran Mu’tazilah serta bukti penisbatan kitab Al-Ibaanah ini kepada beliau dan kami juga akan memaparkan literatur-literatur yang menjelaskan tentang hal itu. InsyaAllah.

Sumber ; Buku “Al-Ibaanah, ‘An Ushulid Diyanah” Penulis : Imam Abul Hasan Al-Asy’ari.


(KabarDuniaIslam/al-mustaqbal.net)

No comments:

Post a Comment