Saturday, February 16, 2013

Pelegalan Undang-Undang Buatan


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata di dalam Majmu Fatawanya 28/524 :

“Dan sudah diketahui dengan pasti dari dien kaum muslimin dan dengan kesepakatan seluruh kaum muslimin bahwa barangsiapa membolehkan mengikuti selain dienul Islam atau (membolehkan) mengikuti ajaran selain ajaran Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, maka dia itu kafir, dan ia itu seperti kekafiran orang yang beriman kepada sebagian Al Kitab dan kafir kepada sebagian yang lain, sebagaimana firman Allah ta’ala: ”Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan bermaksud membeda-bedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan :”Kami beriman kepada sebagian dan kami kafir kepada sebagian (yang lain),” serta bermaksud mengambil jalan tengah (iman atau kafir). Merekalah orang-orang kafir yang sebenarnya. Dan Kami sediakan untuk orang-orang kafir itu azab yang menghinakan.” [An Nisa: 150-151] ((Majmu’ Al fatawa: 28/524))

Inilah vonis bagi pemerintah yang melegalkan bagi rakyatnya atau warga negara untuk memeluk atau mengikuti agama apa saja, ideologi apa saja dan kepercayaan apa saja. Barangsiapa membolehkan mengikuti dien selain dienul Islam, maka dia kafir dengan kesepakatan seluruh kaum muslimin, sedangkan diantara makna dien adalah hukum atau undang-undang, sebagaimana firman-Nya ta’ala:

“Dia (Yusuf) tidak mungkin menghukum saudaranya dengan undang-undang raja.” [Yusuf: 76]

Jadi barangsiapa membolehkan mengikuti undang-undang selain undang-undang atau hukum Islam, maka dia kafir berdasarkan ijma kaum muslimin. Dan apa gerangan dengan pemerintah ini yang bukan hanya membolehkan akan tetapi mengharuskan dan mewajibkan aparaturnya untuk tunduk patuh mengikuti UUD 45 dan undang-undang turunannya? Dan mengharuskan aparaturnya untuk mengikrarkan janji setia kepadanya. Dan mereka juga mengharuskan rakyatnya untuk tidak melanggar undang-undang itu, dan barangsiapa diketahui melanggarnya maka diancam dengan sanksi hukuman yang sudah dirinci di dalam undang-undangnya. Jadi pemerintah ini mengharuskan loyal atau setia atau iman kepada thaghut, karena undang-undang selain Islam itu dinamakan thaghut di dalam firman-Nya ta’ala:

“Apakah kamu (Muhammad) tidak memperhatikan orang-orang yang mengklaim bahwa mereka telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelummu? Tetapi mereka masih menginginkan ketetapan hukum kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk kafir kepada thaghut itu.” [An Nisa: 60]

Thaghut disini adalah pembuat undang-undang selain Allah atau undang-undangnya itu sendiri. Adapun perintah kufur kepada thaghut adalah firman-Nya ta’ala tentang dakwah para rasul:
“Beribadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut itu.” [An Nahl: 36]

dan firman-Nya:

“Barangsiapa kafir kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berperang kepada ikatan tali yang sangat kokoh yang tidak mungkin putus.” [Al Baqarah : 256]

Sedangkan lisan realita pemerintah ini mengatakan “berimanlah kalian kepada thaghut” dan jangan terlalu fanatik dengan Islam!!?!!! Maka apakah salah bila kami mencap kafir pemerintah semacam ini wahai orang-orang yang berakal?!!

Dan begitu juga kaum muslimin sepakat bahwa orang yang membolehkan mengikuti syari’at selain syari’at yang dibawa Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam adalah kafir, walaupun itu adalah syari’at (ajaran) para Nabi terdahulu namun sudah dinasakh (dihapus) dengan syari’at Rasulullah.

Bahkan sekedar mengikuti atau merujuknya saja adalah kekafiran, maka bagaimana halnya dengan membolehkannya? Di mana penghalalan atau pembolehan kekafiran itu adalah lebih dasyat hukumnya dari sekedar melakukan yang disertai perasaan berdosa, walaupun kedua-duanya adalah kekafiran, namun penghalalan kekafiran adalah kekafiran berlapis. Ibnu Katsir rahimahullah berkata:

“Barangsiapa meninggalkan syari’at (ajaran/hukum) yang muhkam yang diturunkan kepada Muhammad Ibnu ‘Abdillah dan dia malah merujuk hukum kepada syari’at-syari’at lain yang sudah dihapus, maka dia kafir….” [Al Bidayah Wan Nihayah 13/119]

Ini mengikuti hukum Allah ta’ala yang ada di dalam syari’at nabi terdahulu adalah kafir karena sudah dihapus oleh syari’at Muhammadiyyah, maka bagaimana kalau yang diikuti itu adalah hukum buatan manusia, maka lebih kafir lagi sebagaimana lanjutan ucapan Ibnu Katsir:

“Maka bagaimana gerangan dengan orang yang merujuk hukum kepada Al Yasa (Yasiq) dan dia mengedepannya terhadapnya (syari’at Muhammadiyyah), maka barangsiapa melakukan hal itu maka dia itu kafir dengan ijma kaum muslimin.” [13/119]

Al Yasa (Yasiq) adalah kitab undanng-undang hukum yang dibuat oleh jenggis khen (Raja Mongol) yang dia rangkum dari berbagai sumber, yaitu dari Islam, Yahudi, Nasrani, ahli bid’ah dan dari buah pikiran dia sendiri, yang dia jadikan pedoman di kalangan anak cucunya, dan istananya. Dan ini sama dengan undang-undang thaghut negeri ini, yang mana sebagiannya diambil dari Islam yaitu apa yang dipakai di Pengadilan Agama, sebagiannya dari hukum Belanda dan yang lainnya seperti KUHP dan yang lainnya hasil buah pikiran para anggota Parlemen.

Tapi ada bedanya dengan Yasiq jenggis khan, dimana Yasiq ini hanya diberlakukan di kalangan aparat kerajaan Tattar yang menguasai negeri kaum muslimin namun hukum Yasiq ini tidak bisa menembus kaum muslimin karena mereka komitmen dengan hukum Islam dan mahkamahnya, sedangkan yasiq modern pemerintah yang menguasai kaum muslimin saat ini adalah menembus umat Islam, dimana diseret dengan paksa untuk tunduk kepada yasiq modern ini di tengah kebodohan umat dan kesesatan banyak ahli ilmunya atau ketidakberdayaan orang-orang yang memperjuangkannya dengan cara yang syar’iy.

Oleh sebab itu wajib bagi setiap muslim untuk menyelesaikan permasalahannya dengan hukum Islam dengan merujuk kepada orang alim yang diangkat hakim oleh kedua pihak yang bertikai, selagi itu bisa dan mampu dilakukan, umpamanya kedua belah pihak adalah orang yang paham dan tunduk kepada aturan Islam dan permasalahannya tidak memungkinkan bagi thaghut untuk campur tangan, agar peradilan Islam menjadi wujud yang nyata di tengah umat dengan segala proses dan caranya, sehingga bila Islam kembali jaya dan pemerintahan thaghut di berbagai belahan dunia kolap dan hancur serta Islam memiliki kekuatan, maka peradlian Islam sudah terbiasa dan tinggal melanjutkan. Terutama orang-orang yang intima kepada jama’ah tertentu harus menjadi contoh dalam hal ini.

Kembali kepada masalah hukum thaghut, dimana mereka mengambil dari Islam sebagiannya dan dari ajaran kafir sebagiannya, dalam rangka mencari jalan tengah (menurut klaimnya) supaya semua umat beragama bisa toleran dan bisa diwadahi dengan wadah tanah air dan kebangsaan, sebagaimana firman-Nya “serta bermaksud mengambil jalan tengah (iman atau kafir).” [An Nisa: 150] yaitu ingin mencari ridla manusia dengan kemurkaan Allah ta’ala seraya mereka mengatakan “setiap warga negara berkesamaan kedudukannya di hadapan hukum dan pemerintahan”. Barangsiapa setia kepada Pancasila, UUD 45 dan negara maka ia adalah warga negara yang baik walaupun dia itu kafir, dan barangsiapa menentang hal-hal itu maka dia itu dianggap sebagai musuh bangsa dan negara serta pengusik kerukunan umat beragama walaupundia itu dari kalangan muslim pilihan. Sehingga tepat sekali vonis bagi pemerintah semacam itu:

“Mereka itulah orang-orang kafir yang sebenarnya. Dan Kami sediakan untuk orang-orang kafir itu azab yang menghinakan.” [An Nisa : 151]

Wallahu a’lam.

Menjelang akhir Sya’ban 1431 H

Abu Sulaiman

Mu’taqal Thaghut Jakarta


(millahibrahim/al-mustaqbal/KabarDuniaIslam)

No comments:

Post a Comment