Thursday, July 4, 2013

Masa Depan Mesir, Pilih Demokrasi Atau Khilafah?



oleh: Ustadz M Fachry

Presiden Mursi dari Ikhwanul Muslimin akhirnya terguling, dikudeta oleh militer Mesir. Saat ini kekuasaan sementara Mesir dipegang oleh Mahkamah Agung, dikawal militer, sebelum akhirnya diselenggarakan pemilu. Akan ke mana masa depan Mesir? Berikut kami turunkan kembali analisa jihad yang berjudul Masa Depan Mesir Pilih Demokrasi Atau Khilafah!

Mesir kembali bergolak. Pasca revolusi tahap pertama yang berhasil menggulingkan Fir’aun Mesir ketika itu, Husni “Laisa” Mubarak, kini penggantinya, Mursi dijuluki “Fir’aun Baru” Mesir. Julukan “Fir’aun Baru” Mesir disematkan ke Mursi setelah dirinya mengeluarkan dekrit yang memberinya kewenangan luar biasa dan membebaskan seluruh keputusannya dari tantangan hukum, Jum’at (23/11/2012).

Meski akhirnya dekrit telah dibatalkan oleh Mursi, Senin (10/12/2012), masa depan Mesir masih belum pasti apakah ke arah yang lebih baik sebelum revolusi atau sebaliknya. Aksi unjuk rasa masih terjadi di depan Istana Al-Ittihadiya atau Istana Heliopolis, Kairo, Senin kemarin. Massa yang digalang kubu oposisi menuntut Mursi menunda referendum konstitusi pada 15 Desember mendatang.

Bagaimanakah masa depan Mesir di tengah pertarungan sengit kubu Pro Presiden “Fir’aun Baru” Mursi versus lawannya dari kalangan sekuler liberal Mesir yang sama-sama “bermain” dengan aturan demokrasi? Apakah Mesir perlu revolusi tahap kedua yang lebih jelas memperjuangkan visi dan misinya, yakni menerapkan syariat Islam secara sempurna dalam bingkai negara Khilafah Islam? Bagaimana peluang Mujahidin dalam pertarungan ini?

Dekrit Yang Membuat Sakit

Awalnya adalah sebuah dekrit. Dekrit Presiden Mursi yang dikeluarkan pada hari Jum’at (23/11/2012) menyebutkan bahwa keputusan presiden tak bisa diganggu-gugat oleh institusi manapun, termasuk oleh lembaga peradilan.

Juru bicara kepresidenan, mengatakan “Keputusan presiden bertujuan untuk mengakhiri kebuntuan dan mendorong Mesir, negara dunia Arab yang paling padat penduduknya, lebih cepat pada jalur demokratis”, seperti dikutip Reuters, Jumat (23/11). Jadi jelas, dekrit ini untuk mendukung demokrasi dan keluar dari rahimnya (demokrasi) yang cacat sejak lahir.

Sontak, dekrit yang dianggap menyakitkan ini mendapat kritikan tajam, terutama dari lawan-lawan politik Mursi, terutama dari kubu liberal dan sekuler, juga dari kalangan Kristen Koptik.

El Baradei, salah seorang tokoh oposisi dan penerima hadiah Nobel untuk perdamaian, menyebut dekrit itu menempatkan Presiden Mursi di atas hukum.

“Mursi hari ini merenggut semua kekuasaan negara dan menunjuk dirinya sendiri sebagai Firaun baru Mesir. (Dekrit ini) adalah pukulan telak terhadap jalannya revolusi yang bisa membawa konsekuensi gawat,” tulisnya di situs jejaring Twitter.

Dekrit yang terbit Kamis itu melarang siapapun dan lembaga manapun menentang keputusan, dekrit, atau hukum mana pun yang dipilih Mursi.

Dekrit itu juga menyebut tak ada lembaga peradilan yang boleh membubarkan lembaga perwakilan, yang tengah menyusun konstitusi baru.

Juru bicara kepresidenan, Yasser Ali, dalam pengumuman di TV, mengatakan “Presiden dapat mengeluarkan keputusan atau upaya apapun untuk melindungi revolusi.”

“Deklarasi konstitusi, keputusan dan hukum yang diterbitkan presiden bersifat final dan tak dapat digugat,” lanjutnya.

Meski berita terbaru dari Mesir mengabarkan bahwa dekrit telah dicabut dan dibatalkan oleh Mursi, namun presiden terpilih dari Ikhwanul Muslimin pasca revolusi yang menjatuhkan Mubarak ini tetap bersikukuh untuk meneruskan referendum pada tanggal 15 Desember mendatang.

Bahkan Mursi (61) yang menjabat sejak 30 Juni lalu membuat sebuah keputusan baru yakni dengan memberikan kekuasaan (power) dan kewenangan kepada militer untuk menangkap warga sipil atau siapa saja yang diduga menyulut kerusuhan menjelang referendum.

Putusan terbaru Mursi ini sontak ditolak oleh kubu anti Mursi dari kalangan sekuler liberal. Pihak sekuler liberal yang menjadi oposisi Mursi ini menolak keputusan tersebut, dan tetap menuntut Mursi agar membatalkan dekrit dan menunda referendum.

Amr Moussa, tokoh oposisi yang juga mantan Menteri Luar Negeri Mesir menyatakan kepada BBC bahwa penolakan mereka bukan dimaksudkan untuk menjatuhkan presiden, tetapi kami menginginkan konstitusi yang lebih baik, ujarnya.

Mursi Versus Sekuler Liberal, Di Bawah Payung Demokrasi

Meski terlihat saling bertentangan, namun terdapat persamaan antara kedua kubu yang saat ini saling bertikai, yakni kubu Mursi versus kubu sekuler liberal, yakni keduanya tetap menginginkan negara Mesir yang demokratis. Satunya memperjuangkan demokrasi ala sekuler liberal, dan satunya lagi demokrasi ala Islam (baca : ala Mursi)

Kubu Muhammad Mursi, presiden terpilih, tentu saja didukung secara penuh oleh Partai Kebebasan dan Keadilan alias Ikhwanul Muslimin, sebuah gerakan Islam yang sudah malang melintang dalam dunia dakwah yang kini memprioritaskan perjuangannya melalui jalan parlemen dan demokrasi.

Selain Ikhwanul Muslimin, atau yang kerap disingkat dengan IM, pendukung kubu Mursi adalah Partai Nour, yang merupakan sayap politik gerakan Salafi.

Pendukung Mursi berikutnya di kubu pro konstitusi baru Mesir dan referendum adalah Partai Pengembangan dan Pembangunan yang merupakan sayap politik gerakan Jama’ah Islamiyah.

Perlu difahami, Jama’ah Islamiyah ini berbeda dengan Jihad Islam (JI) Mesir yang berafiliasi kepada Al Qaeda dan berideologi Salafi Jihadi. Meski dahulu berasal dari “rahim” yang sama, Jama’ah Islamiyah saat ini sudah berubah jauh dan telah mengalami metamorfosis dan ujian jatuh bangun yang panjang. Wallahu’alam bis showab!

Sementara itu, kubu penentang Mursi, dari kalangan sekuler liberal yang berjumlah lebih sedikit dan berasal dari kalangan kelas menengah di perkotaan. Mereka adalah pendukung mantan presiden Gamal Abdul Nasser, dan Anwar Sadat.

Mereka menganggap Mursi dan kelompoknya sebagai kalangan Islamis yang membahayakan ideologi sekuler liberal mereka sehingga menolak usulan konstitusi baru Mesir yang akan di referendum dan menganggapnya sebagai sebuah pasungan terhadap kebebasan dan demokrasi.

Untuk menentang hal itu, mereka menggerakkan massa menuju istana presiden di Distrik Heliopolis, Kairo. Mereka juga mempertimbangkan melakukan pembangkangan sipil jika Presiden Mursi maju terus dengan rencana referendum untuk meminta persetujuan rakyat atas rancangan konstitusi itu.

Mereka juga telah melakukan pertemuan diantara para tokoh pemimpin kubu oposisi di kantor Partai Wafd, Jum’at (30/11/2012) malam, memutuskan mendukung hak rakyat melakukan segala bentuk aksi damai, termasuk mogok kerja dan pembangkangan sipil.

Mohamed ElBaradei, salah seorang tokoh oposisi menyatakan akan terus berada di Alun-alun Tahrir bersama para demonstran. Dia menawarkan solusi untuk mengatasi krisis yang terdiri dari empat butir. Pertama, kembali ke era sebelum dekrit presiden dan segera menggelar dialog nasional. Kedua, mencapai kesepakatan terkait langkah-langkah untuk menghadapi persoalan pada semua lini kehidupan di Mesir. Ketiga, membentuk kembali Dewan Konstituante dan menyusun konstitusi yang menjamin semua hak rakyat Mesir. Keempat, segera mengambil langkah untuk mengakhiri polarisasi dalam masyarakat Mesir saat ini.

ElBaradei menuduh apa yang dilakukan Presiden Mursi dan Dewan Konstituante sekarang adalah sebuah kudeta terhadap prinsip-prinsip demokrasi. Padahal, dari pihak Mursi apa yang dilakukan selama ini juga dalam rangka memperkuat demokrasi di Mesir, membangun perekonomian Mesir secara cepat pasca revolusi.

Kesamaan tujuan untuk mengokohkan demokrasi antara kubu Mursi dan penentangnya terungkap sebagaimana yang disampaikan oleh Juru bicara kepresidenan kepada Reuters, Jum’at (23/11/2012).

“Keputusan presiden bertujuan untuk mengakhiri kebuntuan dan mendorong Mesir, negara dunia Arab yang paling padat penduduknya, lebih cepat pada jalur demokratis.”

Jadi pertentangan dan konflik antara pro Mursi dan penentang Mursi hanya dalam masalah yang tidak esensial, yakni masalah dekrit yang dikeluarkan oleh Mursi dan akhirnya dibatalkan dan dicabut.

Masalah yang mungkin masih menjadi ganjalan dan akan terus memanas adalah masalah rancangan konstitusi yang telah disahkan oleh Dewan Konstituante, Jum’at (30/11/2012) yang kemudian akan dilakukan referendum, meminta pendapat rakyat apakah setuju atau tidak untuk kemudian menjadi undang-undang dasar baru di Mesir, pada tanggal 15 Desember 2012.

Namun secara ideologi, kedua kubu ini, baik pro Mursi atau penentangnya pada hakikatnya sama-sama setuju, mendukung penguatan demokrasi di Mesir dan “bermain” dengan aturan main demokrasi.

Konstitusi Baru Mesir, Islami?

Ironis, banyak pihak yang tergesa-gesa menganggap konstitusi baru Mesir yang diusulkan Mursi dan yang kemudian akan dijadikan undang-undang dasar baru di Mesir bersifat Islami, alias bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Sangkaan dan dugaan itu bisa jadi muncul karena kesan bahwa Mursi adalah berasal dari partai Ikhwanul Muslimin, dan didukung oleh dua partai atau gerakan Islam lainnya, yakni Partai Nour, dari Salafi dan Jama’ah Islamiyah dari kalangan jihadis.

Kubu Mursi memang kemudian disebut dan dikenal sebagai kelompok Islamis, melawan kubu atau kelompok sekuler liberal. Namun hal ini tentu saja tidak serta merta menjadikan usulan atau rancangan konstitusi baru Mesir itu Islami, melainkan harus dilihat dahulu apakah usulan konstitusi baru Mesir itu bersumber dan bersesuaian dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan yang ditunjuk oleh keduanya.

Memang, keinginan agar konstitusi baru Mesir bersumberkan syariat Islam atau hukum Islam mencuat, terutama oleh partai-partai Islam yang ada di parlemen, seperti Partai Nour dari Salafi, dan Partai Pengembangan dan Pembangunan dari Jama’ah Islamiyah. Namun tentu saja keinginan tersebut harus dibuktikan, mengingat faktanya berbicara lain, yakni sesuatu yang mustahil, alias jauh panggang dari api jika syariat Islam yang kaafah (sempurna) bisa lahir dari sebuah kesepakatan politik di arena dewan rakyat yang bersistemkan demokrasi.

Lihat saja situasi terbaru dan yang akan terus memanas di Mesir, pasca usulan konstitusi baru Mesir (yang dianggap Islami) yang segera saja ditolak oleh kubu oposisi. Parahnya, karena bermain di arena atau menggunakan sistem demokrasi, maka Mursi atas tuntutan dan tekanan publik dan kelompok oposisi akhirnya mencabut dekrit, meski tetap ngotot akan melakukan referendum.

Esensi sebenarnya bukan dalam masalah “perang” kekuatan untuk menggolkan konstitusi baru atau menggagalkannya, tetapi pada masalah isi konstitusi tersebut apakah betul Islami, betul sesuai dengan syariat Islam? Apalagi konstitusi baru Mesir tersebut lahir dari rahim demokrasi yang sudah cacat sejak lahir jika ditimbang dengan syariat Islam. Hal ini karena demokrasi adalah sebuah millah alias agama yang berseberangan dengan Islam. Oleh karena itu, kaum Muslimin haram mengambil, menjalankan, apalagi kemudian memperjuangkan dan mempertahankan demokrasi.

Di bawah aturan demokrasi, anggota parlemen dari sekuler liberal dan juga dari Kristen akan dianggap memiliki suara dan hak yang sama untuk mengajukan pendapat, dan jika menemui jalan buntu, maka biasanya voting dilakukan. Ini adalah jiwa dari sistem haram demokrasi, yakni kedaulatan berada di tangan rakyat, yang diwakili oleh parlemen. Tentu saja aturan ini bertentangan secara tegas dengan sistem Islam dimana hukum-hukum Allah, yang dikenal

dengan nama syariat Islam adalah aturan tertinggi di mana semua rakyat, bahkan pemimpin negara harus tunduk kepadanya. Tidak perlu ada dekrit, dan tidak perlu ada referendum!

Sementara itu, kelompok oposisi Mesir habis-habisan mengecam isi draft konstitusi baru Mesir dan menganggapnya tidak menghargai HAM dan hak-hak perempuan. Salah satu tokohnya, Muhammad Adel mengatakan :

“Ini adalah undang-undang milik Ikhwanul, Salafiyah dan militer bukan milik rakyat Mesir.”

Dalam sebuah sistem demokrasi, maka sidang-sidang parlemen adalah tempat untuk memperdebatkan apakah hukum-hukum Islam layak diterapkan atau tidak layak. Ironisnya, semangat penerapan atau mengusulkan syariat Islam terkadang tidak lagi berangkat dari kewajiban perintah Allah SWT., melainkan karena kepentingan-kepentingan politik dan pesanan dari negara-negara yang bekepentingan.

Contoh kasus hal ini terjadi saat para pemimpin Salafi menuduh Ikhwanul Muslimin telah menyerah pada kelompok liberal dan terlalu lunak dalam penerapan Syariah. Sementara Ikhwanul Muslimin bersama dengan kekuatan politik lain yang ambil bagian dalam penulisan draft konstitusi mengaku menyepakati penggunaan istilah “prinsip-prinsip Syariah” sebagai referensi hukum yang akan mengatur negara. “Posisi kami sangat jelas, Ikhwanul Muslimin dan Partai Kebebasan dan Keadilan tidak bermain politik kali ini, periode ini sangat penting untuk menjadikan Islam sebagai dasar” kata juru bicara Ikhwanul, Waleed al-Haddad. “Kami menolak tuduhan dari kelompok Salafi ini, karena kita semua sepakat dengan Islam,” tambah al-Haddad. Banyak warga Mesir percaya, Salafi didanai dan didukung negara asing, termasuk Arab Saudi dan Qatar, untuk melayani kepentingan kedua negara tersebut di Mesir. “Kita semua tahu, bahwa Salafi secara luas didanai oleh Arab Saudi dan Qatar,” kata seorang warga Mesir. Sementara itu, pemimpin partai Ikhwanul Muslim lain yang juga mantan kandidat presiden Abdel Moneim Abul Fotouh juga menolak draft baru konstitusi Mesir tersebut. Serikat Hakim Mesir juga menolak draft tersebut dan mengatakan bahwa isi dari konstitusi baru itu bertentangan dengan independensi peradilan negara dan meletakkannya di bawah kewenangan Presiden Muhammad Mursi.

Sementara itu, dari pihak Ikhwanul Muslimin dengan sekuat tenaga berupaya meyakinkan publik, terutama kalangan rakyat Mesir yang memang hanya ingin hidup di bawah naungan syariat Islam, bahwa mereka betul-betul serius memperjuangkan syariat Islam agar diterapkan di Mesir.

Hal ini sebagaimana penegasan Mufti Ikhwanul Muslimin, Dr. Abdurrahman Al Barr dalam konferensi yang diselenggarakan oleh Departeman Dakwah Ikhwanul Muslimin untuk para dai dan imam di provinsi Qaliubiya, Senin (12/11/2012).

Dr. Al Barr pada kesempatan tersebut menekankan bahwa syariat jauh lebih luas dari sekedar materi ataupun prinsip dan hukum saja. Konstitusi yang akan datang ini, tambahnya, tidak akan bertentangan dengan syariat Islam. Ia juga berisi hak-hak dan kebebasan yang semuanya itu berdasarkan nilai-nilai Islam.

Tentu saja, bahasa-bahasa “bersayap” khas politikus, apalagi asal IM seperti ini harus dibuktikan, karena cenderung manipulatif dan disampaikan untuk kepentingan sesaat, agar rakyat tanpa reserve menerima usulan konstitusi baru Mesir tersebut dan menganggapnya sudah Islami. Wallahu’alam!

Sebelumnya, ribuan rakyat Mesir menggelar aksi sejuta umat di Kairo, Jumat (9/11/2012) lalu. Mereka berkonsentrasi di Tahrir Square menuntut penegakan syariat Islam. Ironisnya, Partai An Nour dari Salafi dan Partai Kebebasan dan Keadilan dari Ikhwanul Muslimin yang menduduki kursi mayoritas di parlemen Mesir mengatakan bahwa mereka tidak ambil bagian dalam aksi tersebut. Jadi, siapa yang sebenarnya menghendaki penerapan syariat Islam secara sempurna di Mesir?

Konstitusi Baru Mesir Tidak Islami!

Sebenarnya tidak ada yang istimewa dalam draft rancangan konstitusi baru Mesir, apalagi secara berlebihan jika kemudian disebut-sebut bahwa Konstitusi baru Mesir Berdasarkan Syariat Islam. Pernyataan ini jelas jauh panggang dari api. Mimpi!

Dalam Pasal 2 Konstitusi yang baru, dikatakan bahwa syariah Islam sebagai sumber hukum tertinggi di dalam konstitusi Mesir. Namun tentu saja hal ini bukan jaminan, masih memerlukan bukti kongkrit penerapan di lapangan, dalam seluruh aspek kehidupan di Mesir.

Artinya, apakah konstitusi baru Mesir tersebut betul-betul akan menerapkan syariat Islam secara utuh, dari dasarnya, hingga aplikasinya, termasuk penerapan hukum-hukum hudud terhadap para pelanggar syariat Islam, seperti hukum potong tangan bagi para pencuri, hukum rajam bagi para pezinah, dan lainnya.

Sayangnya, hal tersebut tidak mencuat dan dicantumkan dalam draft usulan konstitusi baru Mesir tersebut. Apalagi draftnya saja sudah menjadi polemik, lalu diselesaikan melalui jalur demokrasi, tentu lebih ngawur lagi dan semakin menjauhkan keinginan menerapkan syariat Islam secara sempurna di Mesir.

Dalam draft konstitusi baru Mesir ini juga ada aturan yang menetapkan masa jabatan presiden (yang dianggap Islami) yang hanya dapat menjabat dua kali (periode), kemudian dianggap sebagai sebuah perubahan sejarah bagi sistem pemerintahan Mesir.

Di mana Islami-nya draft konstitusi baru Mesir ini jika yang diatur adalah masa jabatan presiden? Bukankah dalam Islam hanya dikenal istilah Khalifah atau Amirul Mu’minin untuk

jabatan seorang kepala negara? Apalagi dalam Islam jabatan seorang kepala negara (Khalifah atau Amirul Mu’minin) jelas tidak dibatasi dalam bilangan tahun, melainkan dengan syarat-syarat yang membatalkan jabatannya sesuai syariat Islam, seperti murtad, dan lainnya. Dalam masalah yang paling pokok dan dasar saja, yakni tentang kepala negara, konstitusi ini sudah tidak bersumberkan kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Bagaimana dengan yang lainnya?

Jadi jelaslah sudah bahwa konstitusi baru Mesir tidak Islami dan bukan bersumber dari syariat Islam, dari Al-Qur’an dan As Sunnah, melainkan dari hawa nafsu orang-orang partai yang ada di parlemen Mesir, khususnya Ikhwanul Muslimin, yang mengatasnamakan Islam dan kemudian melabelinya dengan syariat Islam. Ironis!

Dimana Posisi Mujahidin?

Jangan lupa, Mesir adalah sejarah panjang perjalanan dan perjuangan jihad dari dahulu hingga kini. Beragam gerakan dakwah dan jihad bermula dan berasal dari bumi Kinanah ini. Bahkan Mesir juga diprediksi sebagai wilayah kebangkitan Islam di masa datang, mengingat posisinya yang strategis, khususnya untuk masuk ke wilayah Palestina.

Syekh Abu Bakar Naajiy dalam bukunya Al-Khawanah (Para Pengkhianat) mengungkapkan bahwa Mesir beserta aparat keamanannya termasuk salah satu rezim thoghut di muka bumi yang memiliki pengalaman panjang, karena mewarisi rezim thoghut Fir’aun yang berulang kali disebut dalam Al-Qur’an agar orang-orang sesudahnya mewaspadainya. Rezim Mesir merupakan sebuah permisalan bagi wujud manhaj setan yang ideal dengan segenap unsur-unsurnya, dari mulai tukang sihirnya, para dukunnya, penjaranya, siksaannya, makarnya dan tipu dayanya.

Dalam peta konflik dan krisis Mesir terkini, ada beberapa gerakan jihad yang konsisten menolak jalan demokrasi, mengkritik Mursi, dan menawarkan dakwah dan jihad sebagai satu-satunya solusi untuk masa depan Mesir yang lebih baik. Mereka inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan Salafi Jihadi, dan biasanya berafiliasi dengan gerakan jihad terbesar dan tercanggih abad ini, Al Qaeda.

Salah satunya adalah Ansar Al-Sharia Mesir, di bawah komando Syekh Ahmad Ashous, hafizahullah. Baru-baru ini beliau menegaskan sikapnya bahwa hanya dengan dakwah dan jihad sajalah problem di Mesir dapat diselesaikan.

Syekh Ahmad juga mengkritik Mursi yang tidak memberlakukan syariat Islam, dan lebih memilih proses demokrasi. Syekh Ahmad sangat mengecam proses demokrasi yang haram.

Syekh Ahmad yang juga diindikasikan dekat dengan Al Qaeda ini menyerukan kebangkitan dan kekhalifahan, serta mendukung seluruh gerakan Mujahidin di setiap negeri kaum Muslimin, termasuk Mesir tentunya.

Tokoh Mujahidin lainnya dalam peta politik Mesir dewasa ini adalah Syekh Muhammad al Zawahiri hafidzahullah, saudara kandung Syekh Ayman, Hafizahullah. Beliau adalah salah satu dari beberapa pendukung Al Qaeda yang menyerukan Ikhwanul Muslimin untuk menyisihkan segala bentuk hukum selain syariah. Beliau saat ini memimpin Jihad Islam (JI)

Mesir. Selama wawancara dengan Kairo Al Masry al Youm, Syekh Muhammad al Zawahiri ditanya tindakan apa yang dia inginkan dari Presiden Mesir Muhammad Mursi. “Saya menuntut [Mursi] dan semua umat Islam untuk berpegang teguh dengan syahadat mereka, untuk menjadi Muslim yang saleh, mengetahui bahwa mereka akan dimintai pertanggung jawaban, berusaha untuk menghindari hal-hal yang terlarang di dalam Islam dan menerapkan syariat Islam,” jawab beliau. Syariah “memiliki solusi untuk semua masalah kita,” tegasnya.

Untuk mengetahui lebih jelas lagi posisi dan kekuatan Salafi Jihadi di Mesir, kita bisa melihatnya pada dokumentasi demonstrasi di Kedubes AS di Kairo, yang dirilis oleh Al Faroq Media.

Dalam rilisan tersebut, nampak kekuatan pendukung Salafi Jihadi di Mesir, yang terdiri dari beberapa elemen Salafi Jihadi, dan keseluruhannya turun saat demonstrasi melawan hegemoni barat dan mengusung ide mengembalikan Khilafah. Bendera-bendera Daulah Islam Iraq mewarnai demonstrasi tersebut, menjadi simbol kesatuan visi dan misi mereka.

“Kami menyerukan demonstrasi damai bersama-bersama ikut di dalamnya faksi Islam yang berbeda termasuk Jihad Islam Mesir (JIM) dan gerakan Hazem Abu Ismael,” Syekh Muhammad Az-Zawahiri menjelaskan, seperti diberitakan CNN. Selain Syekh Muhammad Al Zawahiri, ada juga Syekh ‘Adel Shehato. Beliau juga seorang pejabat senior di gerakan Jihad Islam Mesir, juga Syekh Rifai Ahmed Musa Taha, dan Syekh Tawfiq Al ‘Afani. Nampaknya Jihad Islam Mesir semakin eksis dan mengkristal dengan afiliasi yang kuat kepada Al Qaeda, menolak demokrasi Mesir ala Mursi dan Ikhwanul Muslimin, dan menuntut penegakan syariat Islam dengan keKhilafahan.

Revolusi Baru Untuk Mesir

Syekh Ayman, terlahir dari rahim Ikhwanul Muslimin, namun kemudian beliau meninggalkan Ikhwanul Muslimin dan menganut serta menyebarkan ideologi Salafi Jihadi melalui Al Qaeda yang kini beliau pimpin. Banyak nasihat-nasihat beliau untuk gerakan Islam yang membesarkan beliau, Ikhwanul Muslimin, mulai dari yang halus hingga keras dan tegas.

Syekh Ayman bahkan secara khusus telah menulis sebuah buku yang berjudul Al-Hishad Al-Murr, Al-Ikhwan Al-Muslimun Fi Sittina Amman, (Panen Kepahitan : Kilas Balik Ikhwanul Muslimin Selama 60 Tahun) yang menjelaskan bahwa Al Ikhwan Al Muslimin (IM) adalah penganut manhaj demokrasi dan mereka telah ikut serta di dalam lembaga-lembaga berhalanya yang membuat hukum yang tidak Allah izinkan.

Syekh Ayman menyatakan, “Kami bertanya, manakah yang lebih berbahaya bagi jihad, pemerintah kafir yang membayar (di Mesir dan yang lainnya) wartawan untuk menyerang jihad atau pemerintah menggunakan “Jama’ah al-Ikhwan” untuk itu?

Tidak diragukan lagi, bahwa menggunakan al-ikhwan untuk menyerang jihad jauh lebih

berbahaya, karena ia menghalangi jalan Allah atas nama da’wah kepada Allah, sehingga dengan argumen itu akan bisa menipu kaum Muslimin yang lemah imannya dan sedikit ilmunya.

Tidakkah kau lihat wahai saudara Muslim, bahwa Thaghut –apabila telah dikuasai oleh kekuasaanya dan khawatir kekuasaannya akan jatuh karena aktifitas Jama’ah Jihad– ia mengangkat anggota al-Ikhwan sebagai menteri, untuk membuat pencampuradukan bagi masyarakat atas nama Islam, dan memukul jihad atas nama Islam?

Syekh Ayman juga mengatakan, “Institusi-institusi pemerintahan di kalangan ummat Islam masih terus membuat makar terhadap Islam dan para pemeluknya. Pemikiran mereka yang paling mutakhir adalah –bahwa mereka telah memaksa penghancuran barisan umat Islam, dan memalingkan mereka dari kewajiban syar’i yang termasuk wajib ’ain, yaitu jihad melawan orang kafir dan murtad, terutama pemerintah yang menguasai negeri kaum Muslimin. Untuk mencapai rencana penghancuran ini mereka mengikutkan berbagai sarana, yang terpenting adalah mendorong seruan-seruan yang dibungkus dengan cover yang indah menarik, dan pada hakekatnya menyebabkan dua hal;

Pertama; Meruntuhkan rukun aqidah yang paling penting, yaitu rukun tunduk kepada hakimiyah Allah SWT., dengan mengikut kepada pokok hukum jahiliyah demokrasi dalam perundang-undangan dengan dalih tunduk kepada hak sesama manusia dalam hal yang mereka boleh memilih karena mereka pandang bukan termasuk urusan tasyri’ dan aqidah.

Kedua; Memposisikan jihad yang fardlu ‘ain vis-à-vis pemerintah murtad yang memerintah negeri Islam tersebut, bahkan memusuhi dan besikap buruk terhadap orang-orang yang menyeru kepada jihad itu, mencaci maki mereka dan menyeru agar pemerintah mengadili mereka, sedangkan imam thaghut itu berlepas tangan.

Dahsyat bukan? Apalagi kini Al Ikhwan Al Muslimin yang dikomentari oleh Syekh Ayman tersebut saat ini sedang berkuasa dan memegang tampuk pemerintahan di Mesir. Maka seperti apa dampaknya dan apa saja yang bisa mereka perbuat ?

Syekh Ayman melanjutkan dalam bukunya tersebut, di antara jama’ah yang menyerukan dua hal ini untuk memecah belah barisan umat Islam adalah jama’ah al-Ikhwan al-Muslimun –khususnya pada tahun-tahun terakhir ini– dimana ia berusaha untuk mencabut kekerasan dan mengumumkan sikap taat terhadap syar’iyyah undang-undang dasar, syar’iyyah undang-undang jahiliyah, syar’iyyah pengingkaran terhadap hak Allah dalam menentukan tasyri’ bagi hamba-Nya. Sesungguhnya jama’ah ini memetik hasil semangat para aktifis Muslim untuk bergabung dengan shafnya, bahkan untuk memasukkannya ke dalam peti esnya, dan untuk mangalihkan arah semangat Islam dari jihad melawan thaghut kepada mu’tamar dan pemilihan umum.

Laa haula wa laa quwwata illa billah!

Akhirnya, khusus untuk Mesir, Syekh Ayman, Hafizahullah, orang nomer satu di Al Qaeda yang juga asli Mesir, telah menyerukan kepada seluruh rakyat Mesir untuk memulai kembali revolusi guna mendesak diberlakukannya syariat Islam di sana.

Syekh Ayman juga menyebut pemerintahan baru Mesir di bawah kepemimpinan presiden dari Ikhwanul Muslimin, korup. Dikatakan juga oleh Syekh Ayman, perang tengah berlangsung di Mesir antara minoritas sekuler dan para Muslim yang menginginkan penerapan syariat Islam.

Syekh Ayman juga mengatakan “Revolusi di Mesir harus berlanjut dan umat Muslim harus berkorban sampai mencapai apa yang diinginkan.”

Jadi, masa depan Mesir kini kembali berada di tangan umat Muslim Mesir, apakah lebih memilih konstitusi baru Mesir bermanhaj demokrasi ala Mursi, atau memilih penerapan syariat Islam secara sempurna dengan jalan dakwah dan jihad hingga tegak Khilafah yang akan menjalankannya. Wallahu’alam bis showab!

Allahu Akbar!

(Daulah Khilafah Islamiyyah/al-mustaqbal.org)
 

No comments:

Post a Comment