Monday, August 6, 2012

Kekeliruan Madzhab Anak Adam Yang Pertama (Bagian 2)



Apa perbedaan antara perkataan ahlul ahwaa (pengikut hawa nafsu) zaman dahulu bahwa akal bersifat yakin (pasti) sedangkan nash (wahyu) bersifat zhanni (hipotesa) atau dugaan. Hal ini sebagaimana perkataan Jaudat Sa’id, penganut Madzhab Anak Adam Yang Pertama, “Yang menjadi sumber rujukan bukanlah Al Kitab, akan tetapi kejadian-kejadian alam dan sejarah itu sendiri.



Syekh Abu Qotadah Al Fhilistin dalam bukunya Al Jihad wal Ijtihad menjelaskan kekeliruan-kekeliruan dan kesesatan dari Madzhab Anak Adam Yang Pertama ini. Berikut penjelasan beliau.

Di antara hujjah-hujjah yang dijadikan dalil oleh aliran bid’ah ini adalah firman Allah SWT melalui lisan anak Adam :

“Dan sungguh jika kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, maka aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam. Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuhku) dan dosamu sendiri, sehingga kamu akan menjadi salah seorang diantara penghuni neraka, dan yang demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang zhalim.” (QS Al Maidah (5) : 28-29)

Mereka berhujjah dengan ayat ini bahwa Madzhab fitrah pada diri manusia adalah tidak menghalangi orang yang hendak menyakitinya, bahkan dia menahan tangannya untuk tidak membalasnya, tindakan yang akan mendorong musuh penyerang membuang senjatanya ke samping dan menyerahkan keputusan kepada akal, kemudian ia akan membangkitkan kebaikan-kebaikan yang tersembunyi di dalam dirinya, yang akan mendorongnya untuk menyesali dan tidak bertindak keras pada musuhnya. Dan itu semua akan menjadikan hasil akhir yang baik adalah untuk yang hak dan yang benar, dan dialah Islam menurut keyakinan para penganut aliran ini.

Berhujjahnya mereka dengan ayat-ayat Al-Qur’an bisa dibantah dari beberapa jalan, dan semuanya saling tolak-menolak dengan kekuatan (dalil) itu sendiri dan dalam pembuktiannya. Akan tetapi yang aneh dalam aliran pemikiran ini adalah dasar-dasar yang mereka gunakan dalam berhubungan dengan Al Kitab dan As Sunnah. Ummat telah sepakat bahwa hukum syar’i sumber pengambilannya adalah Al Kitab dan As Sunnah, sedangkan sumber hukum ini turun dengan bahasa Arab, jadi dasar-dasar penafsiran terhadap sumber hukum ini dan kaedah-kaedah untuk memahaminya kembali kepada kaedah-kaedah dan ushul bayaan Arab. Tak ada disana kaedah-kaedah yang dijadikan sandaran dalam penafsiran Al-Qur’an kecuali kaedah-kaedah bahasa Arab.

Macam-Macam Bentuk Bayaan

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Syekh Abu Qotadah telah menjelaskan kekeliruan aliran Madhzab Anak Adam Yang Pertama, terutama dari cara mereka memahami Al Kitab dan As Sunnah.

Beliau melanjutkan, tidak ada yang meragukan pentingnya kaedah-kaedah bahasa Arab di dalam Islam, kecuali hal baru yang dibuat oleh Abu Hamid Al Ghazzali yang memasukkan kaedah-kaedah ilmu manthiq ke dalam ushuul al istinbaath (dasar-dasar pengeluaran dalil dari sumbernya). Para ulama Ahlus Sunnah telah mencelanya, dan mencela perkataan tersebut atas pembuatnya. Yang paling keras pengingkarannya terhadap ilmu kalam adalah Imam Abu ‘Amru bin Ash Shallah Asy Syafi’i rahimahullah.

Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata dalam kitabnya “Ar Risalah” bahwa bayaan adalah nama yang mencakup beberapa makna yang bercabang-cabang. Paling minimal dalam makna-makna yang berhimpun dan bercabang-cabang itu ialah bahwa ia merupakan sebuah bayaan/penjelasan bagi orang yang diajak bicara dari orang-orang yang mana Al-Qur’an turun dengan bahasanya, ia hampir sama (makna bayaannya) bagi orang yang diajak bicara tersebut, meski sebagian lebih kuat penekanan bayaannya daripada yang lain, dan ia berlainan bagi orang yang tidak tahu bahasa Arab.

Kemudian Imam Asy Syafi’i rhm mulai menjelaskan macam-macam bentuk bayaan dalam wahyu, beliau membaginya dalam beberapa kategori:

Pertama, apa yang dijelaskan oleh wahyu kepada mereka dalam bentuk nash, dan ia tidak membutuhkan (penjelasan) yang lain.

Kedua, apa yang dikokohkan wajibnya dengan kitab-Nya (makna dikokohkan di sini adalah generalisir pokoknya) sedangkan As Sunnah menjelaskan perinciannya, yakni bentuknya.

Ketiga, apa yang dibawa oleh As Sunnah dan dijelaskannya, sementara tidak ada nash muhkam/kuat yang datang membawanya di dalam Al-Kitab.

Keempat, apa yang diwajibkan Allah atas hambaNya untuk melakukan ijtihad dalam mencarinya, dan Allah menguji keta’atan mereka dalam ijtihad.

Kemudian beliau menjelaskan macam-macam bentuk bayaan itu satu demi satu, kemudian menyimpulkan dalil-dalil syar’i daripadanya, yakni Al-Kitab, As Sunnah, Ijma, dan Qiyas.

Syekh Abu Qotadah melanjutkan, ayat-ayat yang mengkhabarkan tentang kisah dua putra Adan dan posisinya di dalam syariat Islam memiliki dua sisi pandang, satu sisi yang bersesuaian dengannya dan satu ssi yang lain berbeda darinya.

Adapun dalam hubungannya dengan sisi yang bersesuaian dengannya, maka telah diketahui dengan pasti datangnya, tapi boleh jadi ada yang menanyakan : “Apa gunanya Al-Qur’an menuturkan sisi dari kisah dan kejadian ini, kalau ia tidak menghendaki ummat Islam untuk mengikuti dan meneladaninya?”

Syekh Abu Qotadah menandaskan bahwa di dalam ayat ini terdapat pengukuhan yang besar bahwa syariat Islam yang dibawa oleh Nabi SAW adalah syariat yang sempurna, dan syariat yang paling berhak untuk diikuti, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

“Maka demi Allah, sekiranya Musa masih hidup, maka tidak boleh tidak dia harus mengikuti aku”

Wallahu’alam bis showab!

M Fachry


sumber: http://www.al-mustaqbal.net/al-mustaqbal-today/292-kekeliruan-madzhab-anak-adam-yang-pertama-bagian-2.html

No comments:

Post a Comment