Wednesday, April 24, 2013

"Inilah Aqidah Kami" Bagian : 3




V. Hari Akhir

Kami beriman terhadap fitnah kubur, dan terhadap nikmat kubur bagi orang-orang mukmin serta terhadap adzab kubur bagi orang yang berhak mendapatkannya, sebagaimana yang telah ada dalam hadits-hadits yang mutawatir dalam hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, dan kami tidak menoleh terhadap takwil-takwil ahli bid’ah. Dan dalam hal ini AllahSubhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Maka Allah memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka, sedangkan Fir’aun beserta kaumnya dikepung oleh azab yang sangat buruk” (Al Mukmin/Gafir: 46)

Dan dari Zaid Ibnu Tsabit dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Seandainya kalian tidak saling menguburkan tentu saya akan memohon kepada Allah untuk meperdengarkan kepada kalian dari adzab kubur apa yang saya dengar”, kemudian beliau menghadapkan wajahnya kepada kami dan berkata: “Mintalah perlindungan kepada Allah dari adzab kubur” (Hadits Shahih Muslim)

Dan dalam hadits Al Bara’ Ibnu ‘Adzib yang panjang yang di riwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud, bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallamberkata tentang orang mukmin bila ia telah menjawab pertanyaan dua malaikat di kuburnya: “….maka penyeru dari langit menyerukan bahwa benarlah hambaKu, maka hamparkanlah baginya dari surga dan berilah dia pakaian dari surga serta bukakanlah baginya pintu ke surga”, beliau berkata: “Maka datanglah kepada dia dari kenikmatannya dan keindahannya, dan dilapangkan baginya di kuburanya sejauh mata memandang”

Sedangkan fitnah kubur adalah pertanyaan Munkar dan Nakir terhadap si hamba di dalam kuburnya tentang: Rabbnya, diennya, dan nabinya, maka Allah meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh (Laa ilaaha illallaah)

Ya Allah, wahai pelindung Islam dan para pemeluknya, teguhkanlah kami dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan dunia dan akhirat…

Dan adapun orang kafir, maka dia mengatakan: “Haah… haah… saya tidak tahu” dan orang munafik serta orang yang ikut-ikutan (taqlid) dalam agamanya terhadap mayoritas mengatakan: “Saya tidak tahu, saya mendengar manusia mengatakan sesuatu, maka saya mengatakannya”.

Dan keadaan alam Barzakh adalah termasuk hal-hal yang ghaib yang bisa dirasakan oleh si mayit tidak oleh yang lainnya, dan ia itu tidak bisa diraba oleh indera dalam kehidupan dunia ini, oleh sebab itu iman terhadapnya termasuk hal yang membedakan orang yang beriman terhadap hal yang ghaib dari orang yang mendustakannya.

Dan kami beriman terhadap tanda-tanda hari kiamat yang telah Allah ta’ala kabarkan dalam kitabNya dan telah dikabarkan oleh NabiNya Shalallahu ‘alaihi wasallam dalam Sunnahnya, di antaranya seperti kemunculan Dajjal yang sebenarnya, tanpa menoleh kepada takwil-takwil ahli bid’ah, meskipun kami meyakini bahwa jenis fitnah Dajjal selalu ada disetiap zaman sampai datang Isa Ibnu Maryam as, Dan dia-lah yang akan membunuh Dajjal, dan kami beriman pula terhadap terbitnya matahari dari arah terbenamnya, dan kami beriman terhadap keluarnya hewan bumi dan hal-hal lainnya yang telah Allah ta’ala kabarkan atau telah dikabarkan oleh NabiNya Shalallahu ‘alaihi wasallam.

Dan kami beriman terhadap kebangkitan setelah kematian, balasan amal dan hari kiamat ‘Ardl (pemaparan amalan), hisab, pembacaan lembaran-lembaran amalan dan mizan (timbangan). Allah ta’ala berfirman:

“Kemudian, sungguh kamu akan dibangkitkan (dari kuburmu) pada hari kiamat” (Al Mukminuun: 16)

Maka manusia berdiri menghadap Tuhan Semesta Alam dalam keadaan tidak beralas kaki, telanjang lagi belum dikhitan. Allah ta’ala berfirman:

“Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati, sesungguhnya Kami-lah yang akan melaksanakannya” (Al Anbiya: 104)

Dan firmanNya ta’ala:

“Dan Kami akan memadang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tidak seorangpun dirugkan walau sedikitpun, sekalipun hanya sebesar biji sawi pasti Kami akan mendatangkannya (pahala). Dan cukuplah Kami yang membuat perhitungan” (Al Anbiya: 47)

Dan kami beriman terhadap telaga Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam di Mahsyar, dan bahwa airnya lebih putih daripada susu dan lebih manis daripada madu, dan bejana-bejananya sejumlah bintang-bintang di langit, panjangnya 1 bulan dan lebarnya 1 bulan, barangsiapa meminum sekali saja darinya, maka dia tidak akan haus sesudahnya selama-lamanya.

Ya Allah, wahai pelindiung Islam dan para pemeluknya, janganlah halangi kami darinya…

Dan bahwa golongan-golongan dari umat Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam akan diusir darinya dan dihalangi dari mendatanginya di hari yang mana matahari didekatkan dari atas kepala-kepala manusia sehingga keringat manusia sesuai dengan kadar amalan-amalan mereka, maka di antara mereka ada orang yang keringatnya sampai mata kakinya, dan di antara mereka ada yang sampai pada lututnya, dan di antara mereka ada yang sampai pada pinggangnya, serta di antara mereka ada yang tenggelam dalam keringatnya.

Dan di antara orang-orang yang diusir dan dihalangi dari telaga itu adalah kaki tangan para penguasa (muslim) yang dzalim, yang masuk menemui mereka dan membenarkan kebohongan mereka serta membantu mereka di atas kezalimannya. Dan begitu juga diusir darinya orang yang merubah atau membuat bid’ah atau mengada-adakan yang baru dalam ajaran Allah, dan di hari itu Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata : “Enyahlah… enyahlah bagi orang yang mengadakan pengrubahan setelahku !!”

Dan kami beriman terhadap Shirath yang dipasang di atas jurang Jahannam dan ia adalah jembatan antara surga dan nereka, manusia melewati di atasnya sesuai dengan kadar amal-amal mereka, maka di antara mereka ada orang yang melewatinya dengan sekejap mata, di antara mereka melewatinya bagaikan kilat, di antara mereka ada yang melewatinya bagaikan angin, dan di antara mereka ada yang melewatinya bagaikan kuda pacu, di antara mereka ada yang melewatinya bagaikan lari unta, di antara mereka ada yang lari, di antara mereka ada yang berjalan, di antara mereka ada yang merangkak, dan di antara mereka yang terkena sambar dan dilemparkan ke neraka Jahannam, karena sesungguhnya di atas jembatan itu ada bandringan-bandringan yang menyambar manusia sesuai dengan amalannya, dan barangsiapa bisa melewati shirat maka dia masuk surga dan selamat.

Ya Allah, wahai pelindung Islam dan para pemeluknya, selamatkanlah kami dari neraka…

Bila mereka telah melewati shirath, maka mereka berhenti di jembatan antara surga dan neraka, kemudian sebagian mereka mengqishash sebagian yang lain lalu bila mereka telah dibersihkan dan disucikan, maka mereka di izinkan masuk surga.

Orang yang pertama kali meminta agar pintu surga dibukakan adalah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan umat yang pertama kali masuk surga adalah umat beliau.

Kami beriman terhadap surga dan neraka, dan bahwa keduanya adalah makhluk yang tidak fana (lenyap), kecuali dimaksudkan fananya neraka orang-orang yang bertauhid dan bahwa Allah telah menciptakan bagi keduanya para penghuni, barangsiapa yang Dia kehendaki dari mereka maka masuk surga dengan karuniaNya, dan barangsiapa yang Dia kehendaki dari mereka maka masuk neraka dengan keadilanNya. Surga adalah Darun Na’im(Negeri kenikamatan) yang telah Allah ta’ala siapkan bagi orang-orang yang beriman di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Berkuasa, didalamnya terdapat berbagai macam nikmat abadi yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia, Allah ta’ala berfirman:

“Maka tidak seorangpun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka (yaitu) bermacam-macam nikmat) yang menyenangkan hati sebagai balasan terhadap apa yang mereka kerjakan” (As Sajdah: 17)

Dan adapun neraka maka ia adalah Darul Adzab (Negeri Siksaan) yang telah Allah siapkan pada dasarnya untuk orang-orang kafir, Allah ta’ala berfirman:

“Katakanlah (Muhammad) kepada orang-orang kafir: “Kamu akan dikalahkan dan digiring ke dalam neraka Jahannam. Dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal ” (Ali Imran: 12)

Dan ia dimasuki oleh kaum muslimin yang maksiat, akan tetapi ia bukan negeri mereka yang dipersiapkan untuk mereka, oleh sebab itu bila mereka memasukinya, mereka tidak kekal didalamnya, akan tetapi disiksa dengan kadar dosa-dosa mereka, kemudian tempat akhir mereka adalah ke surga yang merupakan negeri orang-orang yang beriman.

Kami beriman terhadap syafa’at yang Allah ta’ala izinkan MuhammadShalallahu ‘alaihi wasallam untuk melakukannya, dimana beliau di hari kiamat memiliki 3 syafa’at: Pertama : Syafa’at beliau untuk penduduk Masyhar (Mauqif) agar Allah memutuskan di antara mereka setelah para nabi yaitu Adam, Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa ‘Alaihimus salam tidak sanggup untuk memikul syafa’at itu, sampai akhirnya kepada Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam.

Kedua : Syafa’at beliau untuk ahli surga untuk memasukinya, dan kedua syafa’at ini khusus bagi beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam[6][.

Dan yang ketiga : Syafa’at beliau bagi orang yang berhak masuk neraka dari kalangan muwahhidin agar dikeluarkan darinya atau agar tidak dimasukan ke dalamnya. Dan macam ini bagi beliau dan bagi para nabi, shiddiqin, para syuhada, dan yang lainnya yang mendapat izin dari Allah, maka beliau memberikan syafa’at bagi orang yang sudah masuk agar di keluarkan darinya.

Dan Allah telah mengeluarkan dari neraka orang-orang tanpa syafa’at dengan karunia dan rahmatNya Subhanahu Wa Ta’ala. Dan di surga masih ada tempat kosong, maka Allah menciptakan orang-orang untuknya kemudian dia memasukannya ke surga. Dan iman kepada syafa’at ini adalah ciri khusus yang dengannya kami menyelisihi Khawarij yang menganggap kekal para pelaku dosa besar dalam neraka, dan kami beriman bahwa orang-orang mukmin akan melihat Tuhan mereka di hari kiamat dan di surga sebagaimana firmanNya:

“Wajah orang-orang mukmin pada hari itu berseri-seri, memandang Tuhan-nya” (Al Qiyamah: 22-23)

Dan juga sebagaimana dalam hadits-hadits mutawatir dari RasulullahShalallahu 'alaihi wasallam bahwa orang-orang mukmin akan melihat Tuhan mereka di hari kiamat sebagaimana mereka melihat bulan purnama seraya tidak tersamar dalam melihatNya, dan kami tidaklah menyamakan Tuhan kami dengan sesuatupun dari makhlukNya, akan tetapi penyerupaan disini adalah penyerupaan penglihatan dengan penglihatan dari sisi kejelasan dan kebenaran serta tanpa kesamaran, bukan penyerupaan yang dilihat dengan yang dilihat, barangsiapa tidak memiliki bashirah dan keimanan dalam hal ini, maka sesungguhnya dia amat pantas untuk tidak mendapatkan nikmat ini di hari penambahan nikmat, namun demikian Allah berfirman:

“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala penglihatan itu” (Al An’am: 103),

Dan kami hanyalah menetapkan apa yang telah ditetapkan oleh nabiNya Shalallahu 'alaihi wasallam berupa penglihatan orang-orang mukmin terhadapNya Subhanahu Wa Ta’ala, sedangkan An Nadhru (memandang) dan Ar Ru’yah (melihat) adalah sesuatu yang lain dengan Idrak(pencapaian), maka berhentilah di batasan-batasan Allah dan janganlah memasukan ke dalam nash-nash wahyu apa yang tidak dikandung di dalamnya, dan jangan menolak sesuatu darinya atau menggugurkannya… nanti kamu tergelincir dalam kesesatan.

Dan di antara pengaruh-pengaruh iman terhadap hal itu :

Beramal dengan sungguh-sungguh untuk mencapai apa yang telah AllahSubhanahu Wa Ta’ala siapkan bagi orang-orang mukmin dan untuk mencapai keselamatan dari apa yang Allah ancamkan terhadap para ahli maksiat dan orang-orang kafir.

Dan tidak mengeluh karena materi dunia yang tidak didapatkan oleh orang mukmin atau apa yang ia dapatkan berupa penindasan, ujian ,dan mushibah karena keimanannya, dakwahnya, dan jihadnya, dengan ia mengharap gantinya di akhirat dan kenikmatannya dan pahalanya serta buah-buah hasil yang banyak lainnya. Iman kepada hal itu bukanlah sebagaimana yang dikira oleh banyak orang berupa hal-hal yang bersifat pengetahuan dan keilmuan saja, akan tetapi ia adalah iman dan pembenaran serta pengakuan yang mendorong untuk beramal.

VI. Q a d a r

Kami beriman terhadap Qadar (ketentuan Allah) yang baik dan yang buruk, dan bahwa Allah telah menciptakan seluruh makhluk, dan Dia menentukan bagi mereka ketentuan-ketentuan dan menetapkan bagi mereka ajal. Dan Dia mengetahui apa yang mereka lakukan sebelum menciptakan mereka, dimana Dia mengetahui apa yang terjadi dan apa yang telah terjadi serta apa yang tidak terjadi seandainya ia terjadi bagaimana keadaannya.

Dia telah menunjukan kepada mereka 2 jalan, kemudian Dia Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan mereka untuk mentaatiNya dan melarang mereka dari maksiat terhadapNya, dan segala sesuatu berjalan dengan ketentuan Allah dan kehendakNya. KehendakNya ini pasti terlaksana, tidak ada kehendak bagi makhluk kecuali apa yang Dia kehendaki bagi mereka. Apa yang Dia kehendaki bagi mereka pasti terjadi, Dia memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, Dia melindungi dan menyelamatkannya sebagai bentuk karunia dariNya. Dan Dia menyesatkan orang yang di kehendakiNya dan Dia mencelakakan serta menelantarkan sebagai bentuk keadilan dariNya, dan semua hamba ini berada dalam kehendakNya antara karuniaNya dan keadilanNya. Tidak ada yang bisa menolak ketentuanNya dan tidak ada yang dapat menolak ketetapanNya serta tidak ada yang kuasa terhadap urusanNya.

Hamba tidak memiliki suatu yang wajib atasnya
Dan tidak ada upaya yang sia-sia di sisiNya
Dan bila mereka disiksa maka dengan keadilanNya
Atau mereka mendapat nikmat maka dengan karuniaNya
Sedang Dia-lah Yang Maha Besar lagi Maha Luas (karuniaNya)

Sebagaimana sesungguhnya musabbabat (hal-hal yang disebabkan) termasuk ketentuan Allah yang sudah selesai darinya, maka begitu juga sebab-sebab termasuk ketentuan Allah yang sudah selesai darinya.

Iman terhadap qadar ini memiliki 2 tingkatan, dan setiap tingkatan mengandung dua hal:

Tingkat pertama: Iman bahwa Allah telah mengetahui apa yang akan dilakukan oleh makhlukNya sehingga ilmuNya ini telah mendahului pada setiap hal yang akan terjadi pada ciptaanNya, kamudian Dia menetapkan ukuran-ukuran hal itu dengan serapi-rapinya.

“Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar dzarrah (atom) di bumi ataupun di langit, tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (lauh mahfudz)” (Yunus: 61)].

Dan firmanNya ta’ala:

“Dan dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya” (Al Furqan: 2)

Dan firmanNya ta’ala:

“Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku” (Al Ahzab: 38)

Kemudian Dia menulis hal itu dalam lauh mahfudz, dan mencantumkannya tentang ketentuan-ketentuan ciptaanNya.

Dari Ubadah Ibnu Ash Shamit radhiallahu ‘anhu berkata: “Hai anakku, sesungguhnya engkau tidak akan mendapatkan hakikat keimanan sehingga engkau mengetahui, bahwa apa yang ditetapkan akan menimpamu tidak akan meleset darimu, dan apa yang ditentukan meleset darimu tidak akan menimpamu, saya telah mendengar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “sesungguhnya pertama kali Allah menciptakan pena, Dia berfirman kepadanya : “Tulislah”, pena berkata : “Tuhanku, apa yang aku tulis?”, Dia berfirman: “Tulislah ketentuan-ketentuan segala sesuatu sampai hari kiamat”. Hai anakkku, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang mati atas selain hal ini, maka ia bukan termasuk bagianku”[7] Allah Subhanahu Wa Ta’alaberfirman:

“Tidaklah engkau tahu bahwa Allah mengaetahui apa yang di langit dan di bumi ? Sungguh, yang demikian itu sudah terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfudz). Sesungguhnya yang demikian itu sangat mudah bagi Allah”(Al Hajj: 70)

Takdir ini ada dalam banyak tempat secara global, dan dalam tempat-tempat lain secara terperinci, sungguh Dia telah mencatat dalam Al Lauh Al Mahfudz apa yang Dia kehendaki, dan bahwa Dio telah menciptakan janin sebelum meniupkan ruh di dalamnya, Dia mengutus kepada malaikat lalu memerintahkannya untuk mencatat empat ketentuan : rizkinya, ajalnya, amalannya, serta nasib baik dan buruk.

Seandainya makhluk seluruhnya berkumpul terhadap sesuatu yang telah Allah tentukan ia terjadi supaya mereka menjadikannya tidak terjadi tentulah mereka tidak kuasa terhadapnya, dan seandainya mereka seluruhnya kumpul terhadap sesuatu yang Allah tidak tetapkan terjadi agar mereka menjadikannya terjadi tentulah mereka tidak kuasa terhadapnya. Pena telah kering dengan apa yang akan terjadi sampai hari kiamat. Dan apa yang ditetapkan tidak menimpa hambaNya tentu tidak akan menimpanya, dan apa yang ditentukan menimpanya maka tidak mungkin meleset darinya.

Tingkatan kedua: iman tehadap masyi-ah (kehendak) Allah yang pasti terlaksana dan kudrahNya yang mencakup luas dan bahwa apa yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki tidak mungkin terjadi, dan bahwa tidak ada satu gerakanpun atau sikap diam yang ada dilangit dan dibumi melainkan dengan kehendak Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan di dalam kerajaan-kerajaanNya tidak ada yang terjadi kecuali apa yang Dia inginkan

Namun demikian, sungguh Allah telah memerintahkan hamba-hambaNya untuk mentaatiNya dan mentaati RasulNya Shalallahu ‘alaihi wasallam serta melarang mereka dari maksiat terhadapNya, dan Dia Subhanahu Wa Ta’alamencintai orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat baik serta orang-orang yang berbuat adil, serta Dia ridha teradap orang-orang yang beriman dan beramal shalih, dan tidak mencintai orang-orang kafir, dan tidak ridha terhadap orang-orang fasik. Dia tidak memerintahkan perbuatan keji, dan Dia tidak ridha dengan kekafiran bagi hamba-hambaNya serta tidak mencintai kerusakan.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala memiliki dua masyi’ah, dan keduanya adalah penciptaan Allah dan perintahNya serta qudrahNya dan syari’atNya sebagaimana firmanNya:

“Ingatlah, menciptakan dan memerintah-kan hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah Tuhan Semesta Alam” (Al A’raf : 54)]

1. Masy’iah Syar’iyyah, yaitu perintahNya yang bersifat syar’iy yang kadang Allah didurhakai dan diselisihi di dalamnya.

2. Dan Masyi’ah Qadariyyah, maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi Sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi Sunnah Allah itu, sehingga perintah Allah yang bersifat Qauniy Qadariy tidak mungkin didurhakai.

Yang itu adalah Sunnah yang bersifat syar’iy dan perintah, dan yang ini adalah SunnahNya yang bersifat ketetapan dan ketentuan (Qadha Qadar).

Perbuatan-perbuatan hamba adalah ciptaan Allah dan perbuatan hamba-hamba itu sehingga si hamba adalah pelaku yang sebenarnya, sedangkan Allah adalah Sang Pencipta perbuatan-perbuatan mereka, dan hamba itu adalah orang mukmin atau kafir, orang baik atau jahat, serta orang yang shalat dan shaum. Dan hamba itu memiliki qudrah terhadap perbuatan-perbuatan mereka dan memiliki iradah (keinginan), sedangkan AllahSubhanahu Wa Ta’ala adalah pencipta mereka dan pencipta qudrah dan iradah mereka. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”(Ash Shaffat: 96)

Dan firmanNya ta’ala:

“(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang menghendaki menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan Seluruh Alam” (At Takwir: 28-29)

Dan tingkatan ini di dustakan oleh mayoritas Qadariyyah dan telah ghuluw di dalamnya segolongan orang-orang yang menetapkannya sampai mereka meniadakan dari si hamba qudrah dan pilihan-pilihannya, dan mereka mengeluarkan dari perbuatan-perbuatan Allah dan hukum-hukumNya, hikmah-hikmah, dan maslahat-maslahatnya.

Sedangkan kami adalah pertengahan antara Jabriyaah dan Qadariyyah, di mana perbuatan-perbuatan dan kehendak kita adalah makhluk sedangkan manusia adalah pelaku sebenarnya terhadap perbuatan-perbuatan itu, dan bisa memilih dan dia memiliki iradah dan masy’iyyah.

Inilah global apa yang dibutuhkan dalam masalah ini oleh orang yang hatinya telah Allah beri cahaya dari kalangan wali-wali Allah ta’ala.

Asal qadar adalah rahasia Allah dalam penciptaannya, dan Dia melarang mereka dari membicarakan secara mendalam tentangnya, maka Dia berfirman dalam kitabNya:

“Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang dikerjakan, tetapi merekalah yang akan ditanya” (Al Anbiya: 23)

Barangsiapa bertanya : “Kenapa Allah melakukan…” maka dia telah menolak putusan Kitab Allah, sedangkan siapa yang menolak putusan kitabNya maka dia telah kafir, rugi, dan kecewa, dan itu di karenakan ilmu ini ada 2 macam:

1. Ilmu yang Allah ta’ala turunkan di tengah makhluknya, maka ia adalah hal yang ada.

2. Dan ilmu yang Allah tutupi dari mereka, maka ia tidak ada.

Maka mengingkari ilmu yang ada adalah kekafiran dan mengakui ilmu yang tidak ada adalah kekafiran, sedangkan iman tidak akan terbukti ada kecuali dengan menerima ilmu yang ada dan meninggalkan ilmu yang tidak ada, serta mengembalikan hal itu kepada yang mengetahuinya, yaitu Allah Yang Maha Pengampun lagi Penyayang.

Di antara pengaruh dan buah-buah iman kepada qadar ini adalah sebagai berikut :

- Orang mukmin bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sebenarnya, maka ia tidak menjadikan sebab-sebab sebagai arbaab dan tidak bersandar terhadapnya, akan tetapi ia memurnikan ketawakkalannya kepada Allah saja, karena segala sesuatu itu terjadi dengan ketentuanNyaSubhanahu Wa Ta’ala.

- Dan di antaranya ketenangan hati orang mukmin dan ketidakmengeluhannya, atau menyayangkan terhadap apa yang menimpanya dari ketentuan-ketentuan Allah ta’ala, maka ia tidak putus asa karena lenyapnya sesuatu yang dicintai atau terjadinya sesuatu yang dibenci, karena semua itu dengan takdir Allah ta’ala, dan apa yang Allah tentukan menimpanya tidak mungkin meleset darinya, dan apa yang Allah tentukan meleset darinya tidak mungkin menimpanya.

______________


[6] Dan beliau memiliki syafa’at yang ketiga yang juga khusus, yaitu meringankan adzab dari pamannya Abu Thalib sebagaiman dalah hadits shahih.

[7] HR. Ahmad dan Abu Dawud, sedangkan lafadz milik Abu Dawud


Bagian 1 :
http://www.facebook.com/photo.php?fbid=439403312819634
http://m.facebook.com/photo.php?fbid=439403312819634

Bagian 2 :
http://www.facebook.com/photo.php?fbid=439875349439097
http://m.facebook.com/photo.php?fbid=439875349439097


BERSAMBUNG........

No comments:

Post a Comment