Monday, April 29, 2013

Kematian Yang Kembali Menyadarkan Kita


Belia, muda, maupun tua tidak ada yang tahu, mereka pun bisa merasakan kematian. Setahun yang silam, kita barangkali melihat saudara kita dalam keadaan sehat bugar, ia pun masih muda dan kuat. Namun hari ini ternyata ia telah pergi meninggalkan kita. Kita pun tahu, kita tidak tahu kapan maut menjemput kita. Entah besok, entah lusa, entah kapan. Namun kematian sobat kita, itu sudah cukup sebagai pengingat, penyadar dari kelalaian kita. Bahwa kita pun akan sama dengannya, akan kembali pada Allah. Dunia akan kita tinggalkan di belakang. Dunia hanya sebagai lahan mencari bekal. Alam akhiratlah tempat akhir kita.

Sungguh kematian dari orang sekeliling kita banyak menyadarkan kita. Oleh karenanya, kita diperingatkan untuk banyak-banyak mengingat mati. Dan faedahnya amat banyak. Kami mengutarakan beberapa di antaranya kali ini.

Dianjurkan untuk mengingat mati dan mempersiapkan diri menghadap kematian …

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ

“Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan” (HR. An Nasai no. 1824, Tirmidzi no. 2307 dan Ibnu Majah no. 4258 dan Ahmad 2: 292. Hadits ini hasan shahih menurut Syaikh Al Albani).

Yang dimaksud adalah kematian. Kematian disebut haadzim (pemutus) karena ia menjadi pemutus kelezatan dunia.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ : كُنْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَجَاءَهُ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ قَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَفْضَلُ قَالَ : « أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا ». قَالَ فَأَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَكْيَسُ قَالَ : « أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا أُولَئِكَ الأَكْيَاسُ ».

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Aku pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu seorang Anshor mendatangi beliau, ia memberi salam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, mukmin manakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Yang paling baik akhlaknya.” “Lalu mukmin manakah yang paling cerdas?”, ia kembali bertanya. Beliau bersabda, “Yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik dalam mempersiapkan diri untuk alam berikutnya, itulah mereka yang paling cerdas.” (HR. Ibnu Majah no. 4259. Hasan kata Syaikh Al Albani).

Wahai diri ini yang lalai akan kematian, ingatlah faedah mengingat kematian …

[1] Mengingat kematian adalah termasuk ibadah tersendiri, dengan mengingatnya saja seseorang telah mendapatkan ganjaran karena inilah yang diperintahkan oleh suri tauladan kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[2] Mengingat kematian membantu kita dalam khusyu’ dalam shalat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اذكرِ الموتَ فى صلاتِك فإنَّ الرجلَ إذا ذكر الموتَ فى صلاتِهِ فَحَرِىٌّ أن يحسنَ صلاتَه وصلِّ صلاةَ رجلٍ لا يظن أنه يصلى صلاةً غيرَها وإياك وكلَّ أمرٍ يعتذرُ منه

“Ingatlah kematian dalam shalatmu karena jika seseorang mengingat mati dalam shalatnya, maka ia akan memperbagus shalatnya. Shalatlah seperti shalat orang yang tidak menyangka bahwa ia masih punya kesempatan melakukan shalat yang lainnya. Hati-hatilah dengan perkara yang kelak malah engkau meminta udzur (meralatnya) (karena tidak bisa memenuhinya).” (HR. Ad Dailami dalam musnad Al Firdaus. Hadits ini hasan sebagaimana kata Syaikh Al Albani)

[3] Mengingat kematian menjadikan seseorang semakin mempersiapkan diri untuk berjumpa dengan Allah. Karena barangsiapa mengetahui bahwa ia akan menjadi mayit kelak, ia pasti akan berjumpa dengan Allah. Jika tahu bahwa ia akan berjumpa Allah kelak padahal ia akan ditanya tentang amalnya didunia, maka ia pasti akan mempersiapkan jawaban.

[4] Mengingat kematian akan membuat seseorang memperbaiki hidupnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أكثروا ذكر هَاذِمِ اللَّذَّاتِ فإنه ما ذكره أحد فى ضيق من العيش إلا وسعه عليه ولا فى سعة إلا ضيقه عليه

“Perbanyaklah banyak mengingat pemutus kelezatan (yaitu kematian) karena jika seseorang mengingatnya saat kehidupannya sempit, maka ia akan merasa lapang dan jika seseorang mengingatnya saat kehiupannya lapang, maka ia tidak akan tertipu dengan dunia (sehingga lalai akan akhirat).” (HR. Ibnu Hibban dan Al Baihaqi, dinyatakan hasan oleh Syaikh Al Albani).

[5] Mengingat kematian membuat kita tidak berlaku zholim. Allah Ta’ala berfirman,

أَلَا يَظُنُّ أُولَئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ

“Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan.” (QS. Al Muthoffifin: 4). Ayat ini dimaksudkan untuk orang-orang yang berlaku zholim dengan berbuat curang ketika menakar. Seandainya mereka tahu bahwa besok ada hari berbangkit dan akan dihisab satu per satu, tentu mereka tidak akan berbuat zholim seperti itu.

Nasehat ulama ….

Abu Darda’ berkata, “Jika mengingat mati, maka anggaplah dirimu akan seperti orang-orang yang telah meninggalkanmu”

Yang menakjubkan pula dari Ar Rabi’ bin Khutsaim …

Ia pernah menggali kubur di rumahnya. Jika dirinya dalam kotor (penuh dosa), ia bergegas memasuki lubang tersebut, berbaring dan berdiam di sana. Lalu ia membaca firman Allah Ta’ala,

رَبِّ ارْجِعُونِ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ

“(Ketika datang kematian pada seseorang, lalu ia berkata): Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan.” (QS. Al Mu’minuun: 99-100). Ia pun terus mengulanginya dan ia berkata pada dirinya, “Wahai Rabi’, mungkinkah engkau kembali (jika telah mati)! Beramallah …”

Ketahuilah saudaraku, bahwa tauhid yang bersih merupakan kunci untuk meraih ampunan. Namun, hal ini tidaklah sesederhana dan semudah yang dibayangkan oleh kebanyakan orang.

Meninggal di atas tauhid yang bersih merupakan syarat mendapatkan ampunan dosa. Dalam hal ini terdapat perincian sebagai berikut:

[1] Orang yang meninggal dalam keadaan melakukan syirik besar atau tidak bertaubat darinya maka dia pasti masuk neraka.

[2] Orang yang meninggal dalam keadaan bersih dari syirik besar namun masih terkotori dengan syirik kecil sementara kebaikan-kebaikannya ternyata lebih berat daripada timbangan keburukannya maka dia pasti masuk surga.

[3] Orang yang meninggal dalam keadaan bersih dari syirik besar namun masih memiliki syirik kecil sedangkan keburukan/dosanya justru lebih berat dalam timbangan maka orang itu berhak masuk neraka namun tidak kekal di sana (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 44)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Allah ta’ala berfirman, “Wahai anak Adam! Seandainya kamu datang kepada-Ku dengan membawa dosa hampir sepenuh isi bumi lalu kamu menemui-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun, niscaya Aku pun akan mendatangimu dengan ampunan sebesar itu pula.” (HR. Tirmidzi, dan dia menghasankannya)

Hadits yang agung ini menunjukkan bahwa tauhid merupakan syarat untuk bisa meraih ampunan Allah ta’ala. Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata mengomentari hal ini, “Ini adalah syarat yang berat untuk bisa mendapatkan janji itu yaitu curahan ampunan. Syaratnya adalah harus bersih dari kesyirikan, banyak maupun sedikit. Sementara tidak ada yang bisa selamat/bersih darinya kecuali orang yang diselamatkan oleh Allah ta’ala. Itulah hati yang selamat sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ta’ala (yang artinya), “Pada hari ketika tidak lagi bermanfaat harta dan keturunan kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. asy-Syu’ara: 88-89).” (Fath al-Majid bi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 53-54)

Namun -sebagaimana sudah disinggung di atas- keutamaan ini hanya akan bisa diperoleh bagi orang yang bersih tauhidnya. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

“…Seandainya ada seorang yang bertauhid dan sama sekali tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatupun berjumpa dengan Allah dengan membawa dosa hampir seisi bumi, maka Allah pun akan menemuinya dengan ampunan sepenuh itu pula. Namun hal itu tidak akan bisa diperoleh bagi orang yang cacat tauhidnya. Karena sesungguhnya tauhid yang murni yaitu yang tidak tercemari oleh kesyirikan apapun maka ia tidak akan menyisakan lagi dosa. Karena ketauhidan semacam itu telah memadukan antara kecintaan kepada Allah, pemuliaan dan pengagungan kepada-Nya serta rasa takut dan harap kepada-Nya semata, yang hal itu menyebabkan tercucinya dosa-dosa, meskipun dosanya hampir memenuhi isi bumi. Najis yang datang sekedar menodai, sedangkan faktor yang menolaknya sangat kuat.” (Dinukil dari Fath al-Majid bi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 54-55)

Hadits di atas juga mengandung keterangan bahwa kandungan makna la ilaha illallah yang bisa lebih berat timbangannya daripada semua makhluk dan semua dosa. Kandungan maknanya yaitu wajib meninggalkan syirik dalam jumlah banyak maupun sedikit. Hal itu pasti membuahkan ketauhidan yang sempurna. Tidak mungkin bisa bersih dari syirik kecuali bagi orang yang benar-benar merealisasikan tauhidnya serta mewujudkan konsekuensi dari kalimat ikhlas (syahadat) yang berupa ilmu, keyakinan, kejujuran, keikhlasan, rasa cinta, menerima, tunduk patuh dan lain sebagainya yang menjadi konsekuensi kalimat yang agung itu (lihat Qurrat al-’Uyun al-Muwahhidin, hal. 22).

Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mengucapkannya -la ilaha illallah- dengan penuh keikhlasan dan kejujuran maka dia tidak akan terus-menerus berkubang dalam kemaksiatan-kemaksiatan. Karena keimanan dan keikhlasannya yang sempurna menghalangi dirinya dari terus-menerus berkubang dalam maksiat. Oleh sebab itu dia akan bisa masuk surga sejak awal bersama dengan rombongan orang-orang yang langsung masuk surga.” (Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 21)

Hadits di atas juga menunjukkan bahwa tauhid tidak cukup di lisan. Namun tauhid juga menuntut seorang hamba untuk menunaikan kewajiban serta meninggalkan kemaksiatan. Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullah menerangkan bahwa barangsiapa yang mempersaksikannya -kalimat tauhid- namun dia mencemarinya dengan perbuatan dosa dan kemaksiatan, atau dia sekedar mengucapkannya dengan lisan sementara hati atau amalannya berbuat syirik seperti halnya orang-orang munafik maka orang semacam ini ucapan syahadatnya tidak bermanfaat. Akan tetapi yang semestinya dia lakukan adalah mengucapkannya kemudian meyakininya dengan kuat, melaksanakan perintah-perintah dan meninggalkan larangan-larangan serta mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 20).

Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullah juga berkata, “Barangsiapa yang meninggalkan kewajiban atau melakukan perkara yang dilarang maka itu berarti dia telah berani menawarkan dirinya untuk menerima hukuman Allah ta’ala meskipun dia mengucapkan kalimat ini dan meyakininya. Apabila dia melakukan sesuatu yang membatalkan keislamannya maka berubahlah dia menjadi orang yang murtad dan kafir. Syahadat ini tidak lagi bermanfaat untuknya. Oleh sebab itu kalimat ini harus diwujudkan dalam kenyataan dan mengamalkan konsekuensi-konsekuensinya, kalau tidak demikian maka dia berada dalam bahaya besar seandainya dia tidak kunjung bertaubat.” (Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 26).

Nas’alullahat taufiq was salamah…

Sumber bacaan: Ahkamul Janaiz Fiqhu Tajhizul Mayyit, Kholid Hannuw, terbitan Dar Al ‘Alamiyah, cetakan pertama, 1432 H, hal. 9-13

(KabarDuniaIslam/dbs)

No comments:

Post a Comment