Sunday, December 22, 2013

PENJELASAN LENGKAP HUKUM BERPARTISIPASI DALAM PEMILU (DEMOKRASI)

Ailon Pratama
Para ulama telah menegaskan dalam qawaa’id fiqhiyyah mereka bahwa penetapan hukum terhadap sesuatu itu adalah cabang dari pengetahuan akan gambarannya, maka pertama-tama harus mengetahui hakikat intikhab (pemilu) ini dan tugas parlemennya, supaya setelah itu mudah untuk mengetahui status hukum keikutsertaan di dalamnya. Kemudian bila hukum Allah telah jelas, maka tidak boleh bagi seorangpun setelah itu melampauinya atau melanggarnya atau berpaling darinya kepada pendapat-pendapat, anggapan baik – anggapan baik dan hawa nafsu manusia bagaimanapun mereka menghiasinya.

Sungguh Allah ta’ala telah berfirman:

إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ

“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah” (Al An’am: 57)

Dan ini adalah mencakup umum, sehingga tidak benar bila sebagian du’at menujukannya kepada pihak para penguasa terus mereka menggugurkannya pada diri dan dakwah mereka.

Sungguh Allah ta’ala berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا (٣٦)

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (Al Ahzab: 36)

Parlemen sebagaimana yang mereka namakan adalah Dewan-Dewan Legislatif bagi umat atau rakyat –sebagaimana yang mereka klaim– meskipun sebenarnya di dunia arab yang sengsara ini pada hari ini ia adalah dewan Legislatif bagi thaghut dan kaki tangannya atau kroni-kroninya, yang ikut serta bersama mereka di dalamnya beberapa orang anggota yang mewakili sebagian rakyat!! Dan bagaimanapun keadaan parlemen-parlemen itu, baik ia dalam bentuknya yang ideal –menurut para pembuatnya dan para budaknya– yang diterapkan di barat atau dalam bentuknya yang ketimur-timuran yang coreng moreng di negeri kita, maka tidak ada perselisihan bahwa tugas yang pokok dan yang inti dalam dewan-dewan ini seluruhnya adalah tasyri’ (pembuatan hukum dan undang-undang)…!!

Oleh sebab itu telah masyhur penamaannya dengan pembentukan namanya dari tugasnya yang paling nampak, di mana ia dinamakan Majelis Tasyri’iy (Dewan Legislatif atau lembaga pembuatan hukum dan undang-undang).[2] Ada dalam kitab “Ahkam Ad Dustur wal Ijraa-at Al Barlamaniyyah Fit Tathbiq”[3]saat ia berbicara khusus tentang Parlemen Yordania dan Mesir, ia berkata: Di pasal kedua di bawah judul (tugas-tugas parlemen): (Tasyri’ (pembuatan undang-undang hukum) adalah tugas utama parlemen) selesai hal: 149.

Dan Undang-Undang Dasar (UUD) sendiri telah menegaskan secara gamblang terhadap tugas pokok ini di antara sekian tugas-tugas cabang yang lain, terus UUD itu menentukan rambu-rambunya, landasan-landasan yang ia berdiri di atasnya dan garis-garis pokok yang ia menjalankan tugas lewat panduannya dan bertolak di atasnya. Dan teks-teks UUD ini saya hadirkan dengan kalimat-kalimatnya kepada pencari kebenaran agar ia menghapalnya dengan nomor-nomornya dan ia bisa menghancurkan dengannya kebatilan para pendebat yang membela-bela kekafiran yang nyata ini lagi melegalkan kemusyrikan yang terang ini.

Adapun hakikat tugas pokok Majelis (dewan/lembaga) ini maka sungguh pasal (25) UUD Yordania telah menegaskan terhadapnya: (Kekuasaan Legislatif berada di tangan Majelis rakyat dan Raja, dan Majelis Rakyat ini terdiri dari Dewan Kehormatan dan Dewan Perwakilan Rakyat)}.

Adapun sumber hukum ini dan cara yang dengannya majelis ini menjalankan kewenangannya, sebagai tugas pokok, maka ia telah ditentukan oleh pasal (24) UUD:

Ayat (1): (Rakyat adalah sumber segala kekuasaan).[4]
Ayat (2): (Rakyat menjalankan kekuasaannya berdasarkan ketentuan yang telah dijelaskan oleh Undang-Undang Dasar).
Pasal (80): Setiap orang dari anggota Dewan Kehormatan (DK) dan DPR sebelum memulai dalam tugasnya wajib menyatakan sumpah di hadapan majelisnya dengan sumpah yang berbunyi: (Saya bersumpah dengan nama Allah Yang Maha Agung untuk selalu setia kepada Raja dan tanah air serta patuh kepada Undang-Undang Dasar).
Dan pasal (84) ayat (2): (Segala keputusan dewan dari dua dewan tersebut diputuskan berdasarkan mayoritas suara para anggota yang hadir selain ketua kecuali bila UUD ini menegaskan terhadap sesuatu yang menyelisihi hal itu).
Pasal (91): (Perdana menteri menyodorkan setiap rancangan undang-undang kepada DPR yang memiliki hak menerima atau merevisi atau menolak rancangan itu, dan dalam semua keadaan rancangan tersebut dilimpahkan kepada DK, dan undang-undang apapun tidak diputuskan kecuali bila telah diakui oleh dua dewan itu serta disahkan oleh raja).
Pasal (95) ayat (1): (Boleh bagi sepuluh orang atau lebih dari anggota dewan, baik DK maupun DPR, untuk mengajukan undang-undang, dan setiap usulan dilimpahkan kepada panitia khusus di dewan untuk pengutaraan pendapat di dalamnya, kemudian bila dewan menerima usulan itu maka ia melimpahkannya kepada pemerintah untuk menuangkannya dalam teks rancangan undang-undang dan menyodorkannya kepada dewan).
Pasal (34) ayat (2): (Raja mengundang Majelis Rakyat untuk berkumpul, ia membukanya, menangguhkannya dan membubarkannya sesuai ketentuan UUD). Ayat (3): (Raja berhak membubarkan DPR).

Ini adalah undang-undang mereka, dan teks-teks ucapan mereka dari UUD-nya yang mana mereka menjadikannya sebagai pegangan, mereka mensucikannya dan mengagungkannya, menegaskan secara gamblang terhadap tugas pokok para anggota majelis ini, yaitu bahwa tugas tersebut adalah pembuatan hukum/UU dalam bingkai UUD dan sesuai dengan peraturan perundang-undangannya, serta berdasarkan rambu-rambu dan pokok-pokok dasarnya yang kafir lagi jahiliyyah.

Maka setelah ini tidak seorangpun berhak mempelintir hakikat parlemen ini, atau mensifati dengan hawa nafsu dan pikirannya dasar-dasar dan pokok-pokok yang mana para anggota parlemen itu menjalankan tugas pokok keLegislatifan mereka menurut rambu-rambunya. Dan bagaimana upaya sebagian para pengklaim dakwah untuk mempelintir hal itu, mentakwilnya dan menamainya dengan nama yang lain, maka tetap saja mereka dengan hal itu tidak akan bisa mengeluarkannya dari hakikat yang sebenarnya, karena yang dianggap acuan adalah hakikat dan isi bukan istilah dan nama. Dan yang pertama kali mempermainkan nama untuk mengkaburkan hakikat suatu hal adalah iblis, tatkala dia menamakan pohon keterpurukan dengan nama pohon kekekalan, sehingga setiap orang yang mengkaburkan al haq dengan al bathil dengan cara mempermainkan nama, maka panutan dia dalam hal itu adalah iblis yang dilaknat. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa sejumlah orang dari umatnya akan meminum khamr seraya menamakannya dengan nama yang lain, maka apakah tindakan itu merubah hal tersebut dari hakikat sebenarnya, dan dari hukumnya yang syar’iy??

Bila hal ini telah dipahami, maka inilah hukum Allah ta’ala perihal masalah tadi berikut dalil-dalilnya yang syar’iy lagi mu’tabar dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena kami tidak berhakim saat ada pertentangan kecuali kepada Allah dan Rasul-Nya… Allah ta’ala berfirman:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا (٥٩)

“Kemudian bila kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (An Nisa: 59)

Dan selama ucapan kami ini dikuatkan dengan dalil-dalil syar’iy, maka wajib atas kamu, bila kamu beriman, untuk menerimanya dan tunduk kepadanya bukan sebagai pengagungan dan ketundukkan kepada ucapan kami akan tetapi kepada firman Allah yang kami berdalil dengannya dan kepada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan apa yang kamu dapatkan dalam ucapan kami ini atau yang lainnya bersandarkan kepada selain Kitabullah atau As Sunnah, maka tolaklah dan kamu jangan peduli.

[1] Adapun hakikat tugas pokok yang telah dijelaskan oleh pasal (25) dari UUD mereka di mana ia menyandarkan kekuasaan Legislatif (pembuatan hukum) yang mutlak –tanpa batasan apapun– kepada MPR dan rajanya, maka inilah kekafiran yang nyata dan kemusyrikan yang jelas yang mana Allah ta’ala telah mengutus seluruh Rasul-Nya untuk mengingkarinya, menghancurkannya dan menghati-hatikan darinya, serta untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan-kegelapannya dan dari kotoran-kotorannya kepada cahaya tauhid dan syari’atnya yang suci. Allah ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ (٦٥)

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi” (Az Zumar: 65)

Sedangkan ia adalah kerusakan terbesar dalam kehidupan ini dan dosa terbesar yang dengannya Allah didurhakai, oleh sebab itu Dia ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا (٤٨)

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehedaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (An Nisa: 48)

Dan Dia ta’ala berfirman:

وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا بَعِيدًا

“Barang siap mempersekutukan sesuatu dengan (Allah), maka sungguh ia telah tersesat sejauh-jauhnya” (An Nisa: 116).

Dan Firman-Nya ta’ala:

إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah akan mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun” (Al Maidah: 72).

Dan Firman-Nya:

فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الأوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ (٣٠) حُنَفَاءَ لِلَّهِ غَيْرَ مُشْرِكِينَ بِهِ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيحُ فِي مَكَانٍ سَحِيقٍ (٣١)

“Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta, dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh” (Al Hajj: 30-31)

Dan di antara yang seyogyanya diketahui oleh orang muslim adalah bahwa mayoritas kaum musyrikin sepanjang zaman tidaklah menyekutukan Allah dalam Rububiyah-Nya, dalam arti mereka itu tidaklah mengklaim bahwa di sana ada yang menciptakan, yang memberi rizki, yang mengatur alam ini selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, akan tetapi kemusyrikan mereka yang karena sebabnya mereka membunuhi para Rasul, menyakitinya, dan memusuhinya adalah karena mereka menjadikan bagi Allah tandingan-tandingan dan sekutu-sekutu yang mereka persamakan dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala bukan dalam penciptaan, pemberian rizki dan pengaturan alam, akan tetapi dalam ibadah, ketaatan, pembuatan hukum, serta penghalalan dan pengharaman.

Oleh sebab itu Allah ta’ala berfirman seraya mengingkari terhadap orang-orang semacam mereka:

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah” (At Taubah: 31)

Padahal sudah maklum bahwa mereka tidaklah mengklaim bahwa orang-orang alim dan rahib-rahib itu telah menciptakan mereka atau bahwa mereka itu memberikan rizki kepada mereka, akan tetapi bentuk penjadian mereka sebagai tuhan itu adalah dengan mengibadati mereka, sebagaimana firman-Nya ta’ala setelah itu dalam ayat itu sendiri:

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لا إِلَهَ إِلا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” (At Taubah: 31)

Dan sudah maklum bahwa mereka itu tidaklah mengibadati para rahib dan alim ulama, dengan makna bahwa mereka itu shalat atau shaum kepada mereka, dan andaikata para rahib dan alim ulama meminta hal itu dari mereka dengan keterusterangan ini tentulah mereka tidak akan melakukannya, akan tetapi peribadatan kepada mereka itu adalah dengan bentuk ketaatan mereka dalam hal hukum serta tahlil dan tahrim. Dan inilah kemusyrikan mereka yang Allah tuturkan dalam ayat tadi.

Oleh sebab itu Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab berdalil dengan ayat ini dalam kitab At Tauhid Al ladzi Hawa Haqullah’Alal ‘Abid dalam bab (Barangsiapa mentaati ulama dan umara dalam menghalalkan apa yang telah Allah haramkan atau mengharamkan apa yang Allah telah halalkan, maka dia telah menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah), dan beliau menuturkan dalam tafsir ayat itu hadits ‘Adiy Ibnu Hatim Ath Tha’iy, bahwa ia menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala beliau sedang membaca ayat ini, maka ‘Adiy berkata: “Mereka itu tidak mengibadatinya wahai Rasulullah…”(sebagai dugaan darinya bahwa ibadah itu hanya sebatas shalat, sujud, shaum dan yang serupa dengan itu), maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Bukankah mereka itu menghalalkan bagi mereka suatu yang haram dan mengharamkan terhadap mereka suatu yang halal?”[5] Maka ‘Adiy berkata: “Ya” Beliau berkata: “Maka itulah peribadatan kepada mereka…”)}[6] dan telah sah penafsiran semacam ini terhadap ayat itu dari Huzaifah radliallahu ‘anhu dan yang lainnya. Maka ini adalah dalil yang tegas terhadap kekafiran orang yang menyandarkan kepada dirinya atau kepada orang lain kekuasaan (kewenangan) mutlak untuk membuat hukum dan perundang-undangan. Dan setiap orang yang menerima dien muhdats (sistim yang dibuat-buat) ini, dan orang yang bermufakat bersama para pembuat hukum itu serta bersepakat bersama mereka di atasnya, maka status dia adalah sama dengan status hukum mereka.

Dan dalil yang lain yang menunjukkan terhadap hal itu secara gamblang adalah firman Allah ta’ala:

وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ

“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya, sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawanya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya tentulah kamu menjadi orang-orang yang musyrik” (Al An’am: 121)

Maka perhatikan bagaimana Allah ta’ala memvonis terhadap ketaatan dalam hukum (buatan) bahwa ia adalah kerusakan terbesar dalam kehidupan, di mana Dia mencapnya sebagai kemusyrikan serta Dia vonis orang-orangnya sebagai kaum musyrikin meskipun mereka itu tidak menyembah patung atau shalat kepadanya.

Al Hakim dan yang lainnya meriwayatkan dengan isnad yang shahih dari Ibnu ‘Abbas[7] bahwa ayat ini turun perihal sejumlah orang dari kaum muslimin yang mana kaum musyrikin mendebat mereka dalam suatu masalah dari sekian masalah-masalah hukum, kaum musyrikin berkata: “Seekor kambing mati, siapa yang membunuhnya?” Maka kaum muslimin menjawab: “Allah-lah yang membunuhnya”. Maka kaum musyrikin berkata: “Apa yang Allah bunuh atau apa yang Allah sembelih dengan pisau emas adalah haram, sedangkan yang kalian sembelih dengan pisau besi adalah halal?”.

Maka Allah ta’ala menurunkan ayat-ayat sampai firman-Nya ta’ala:

وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ

“dan jika kamu menuruti mereka sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik” (Al An’am: 121)

Ini adalah vonis Ilahiy yang tidak didatangi kebatilan baik dari depan maupun belakang, dan ia itu bukan ijtihad seorang alim yang ada kemungkinan salah dan benar, akan tetapi ia adalah nash samawiy yang tegas lagi muhkam bahwa orang yang mengikuti dan mentaati selain Allah ta’ala dalam hukum, walau dalam satu masalah saja, adalah dia itu musyrik kepada Allah ta’ala lagi telah menjadikan yang ditaati itu sebagai rabb (tuhan) meskipun tidak sujud atau shalat atau shaum kepadanya, maka bagaimana dengan orang yang mentaati atau melimpahkan kepada dirinya atau kepada orang lain kekuasaan pembuatan hukum dan perundang-undangan seluruhnya secara mutlak??

Dan seperti itu juga firman Allah ta’ala:

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ

“Apakah mereka memiliki sembahan-sembahan yang menetapkan bagi mereka dari ajaran ini apa yang Allah tidak izinkan” (Asy Syura: 21)

Dan firman-Nya ta’ala:

وَلا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا

“Dan dia tidak menyertakan seorangpun dalam hukum-Nya” (Al Kahfi: 26)

Dan dalam qira-ah Ibnu ‘Amir yang tergolong qira-ah sab’ah: (Dan jangan kamu sertakan (sekutukan) seorangpun dalam hukum-Nya) dengan bentuk larangan.

Nash-nash syar’iy dalam masalah ini adalah banyak dan qath’iy yang tidak memberikan peluang bagi orang yang menyelisihi untuk berputar-putar dan berbelit-belit. Dan seandainya tidak khawatir terlalu memperpanjang yang tidak sesuai dengan lembaran ini, tentulah kami akan menuturkan kepada anda dalil yang lebih banyak, namun dalam apa yang telah kami uraikan disini ada hujjah dan kadar cukup bagi orang yang menginginkan hidayah, karena yang penting adalah bukanlah banyaknya dalil, akan tetapi keshahihannya dan keshahihan berdalil dengannya, sedangkan pencari al haq cukup baginya dari Allah satu perintah atau satu ayat saja, adapun orang yang Allah ingin kesesatannya, maka andai kamu mendatangkan kepada dia dalil-dalil dan bukti-bukti sepenuh bumi ini maka tetap saja dia tidak akan beranjak.

[2] Adapun sumber pembuatan hukum yang dilakukan oleh MPR dan thaghutnya, serta tata cara yang lewat panduannya mereka menjalankan tugasnya sebagai pembuat hukum/UU/UUD atau yang lainnya, maka sesungguhnya kaum musyrikin (penyembah) UUD tidaklah membiarkannya begitu saja tanpa batasan, namun justeru mereka telah mengaitkannya dengan UUD dan butir-butirnya sebagaimana yang telah lalu di pasal (24) yang menjelaskan bahwa semua kekuasaan yang tiga yaitu Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif hanyalah melaksanakan kekuasaannya menurut ketentuan yang digariskan UUD. Jadi pasal ini menjelaskan dengan tegas bahwa anggota Legislatif di parlemen-parlemen ini hanyalah menjalankan pekerjaan dan tugasnya yang kafir itu menurut panduan poin-poin UUD tidak selain itu.

Pembuatan hukum/UU dilakukan oleh kaum musyrikin itu sesuai Dustur (UUD) meskipun ia adalah hukum Islam!! Sebagaimana yang diklaim atau dinamakan oleh sebagian orang-orang yang sesat.[8] Dan seandainya pencari al haq merujuk resume pertemuan-pertemuan parlemen,[9] tentu ia akan mendapatkan di dalamnya dalil-dalil terhadap ucapan kami ini secara tegas lagi gamblang. Umpamanya bila sebagian anggota dewan yang berjenggot[10] mengajukan usulan undang-undang pelarangan atau pengharaman khamr –atau katakan– pelarangan meminumnya di tempat-tempat tertentu, maka ia sebelum mengutarakan usulan (rancangan) itu harus menyebutkan dalil-dalil dan teks-teks (butir-butir) undang-undang –yang dianggap dikalangan mereka– yang mana peraturan yang diusulkan ini berdiri dan berpijak di atasnya.

Dan engkau sudah mengetahui bahwa teks-teks yang mana Dewan Legislatif dan yang lainnya menjalankan tugas-tugas lewat panduannya adalah butiran UUD, oleh sebab itu andai kata pengusulan UU pelarangan khamr itu umpamanya didalili oleh orang yang mengajukannya dengan puluhan atau bahkan ratusan ayat qur’an dan hadits Nabi, tentu mereka tidak akan menghiraukan hal itu, dan tentulah rancangan ini tidak sah secara UUD dan hukum sampai disebutkan sebelum itu dalam rancangan butir-butir undang-undang yang berlaku di kalangan mereka yang menjadi pijakan ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut dalam proyek hukum yang diusulkan ini, yaitu landasan UUD nya!!!

Atau sebagaimana yang biasa mereka sebut “keabsahannya!”[11] karena ayat-ayat dan hadits tersebut –bagi mereka– tidak memiliki nilai hukum selagi tidak ditopang oleh teks butiran UUD. Di mana teks-teks butiran UUD itulah yang mengendalikan dan bukan nash-nash Al Qur’an, bahkan justeru nash-nash Al Qur’an adalah yang dikendalikan selalu ditengah mereka oleh UUD. Maka enyahlah dan enyahlah (mereka itu)….

Dan syarat ini adalah tahapan paling awal dan paling bawah dari tahapan-tahapan pembuatan hukum/UU bagi mereka kemudian bila usulan yang menyertakan ayat-ayat dan hadits-hadits ini bisa menembus tahapan ini, maka di sana masih banyak tahapan-tahapan yang lain, di mana ia di dalamnya bisa dirubah atau dipalingkan atau dilembekkan atau ditambali atau digugurkan atau ditolak. Itu dikarenakan di sana ada syarat-syarat kekafiran yang mengendalikan tugas anggota Legislatif, di antaranya:

Yang mengajukan usulan itu minimal sepuluh anggota wakil rakyat.
Usulan rancangan UU yang diminta untuk dibuat itu harus sejalan dengan ketentuan UUD lagi tidak bertentangan dengan butir-butirnya.
Tidak bertentangan dengan HAM yang dijamin oleh UUD…!!
Dan dalam pembuatan UU yang diusulkan harus mengacu pada hukum-hukum yang berlaku di negeri itu.

Serta syarat-syarat lainnya yang telah ditentukan oleh poin-poin UUD dan UU mereka lainnya.[12] Kemudian bila syarat-syarat kekafiran ini sudah terpenuhi maka boleh menurut mereka memasuki tahapan pertama proses pembuatan hukum, di mana DPR melimpahkannya kepada panitia khusus untuknya agar dikaji dan diberikan pendapat di dalamnya!! Antara anggota yang setuju dan yang menentang atau yang merevisi!/yang menambali… kemudian bila DPR memandang menerima usulan tersebut maka ia melimpahkannya kepada pemerintah sebagaimana dalam pasal (95) UUD untuk dibuatkan dalam bentuk RUU dan menyerahkannya kepada dewan yang akan mendiskusikannya pasal demi pasal, dan mempelajarinya serta memberikan suara terhadapnya baik itu penerimaan atau penolakan atau penambalan. Kemudian bila RUU ini disetujui oleh hawa nafsu mayoritas wakil rakyat yang hadir dan memperoleh suara mayoritas mereka -sebagaimana dalam pasal (84)- maka ia tidak menjadi UU sampai dilimpahkan kepada Dewan Kehormatan atau Majeais Syuyukh sebagaimana namanya di negara lain. Kemudian ia menerapkan terhadapnya kaidah-kaidah yang tadi, di mana ia dilimpahkan kepada Pansus untuk diberikan pendapat di dalamnya, dan setelah itu bila Pansus menyetujuinya setelah diskusi ada argumen, maka ia disodorkan kepada dewan kehormatan yang tanpa kecuali mereka itu adalah orang-orang dekat raja dan kroni-kroninya…

Karena pasal (36) UUD Yordania telah menegaskan bahwa (Raja menunjuk anggota-anggota Dewan Kehormatan dan menunjuk Ketua Dewan Kehormatan di antara mereka) sebagaimana pasal (4) UUD Yordania juga menegaskan bahwa (Dalam keanggotaan Dewan Kehormatan disyaratkan berasal dari salah satu jabatan-jabatan berikut:

Para perdana menteri dan para menteri yang masih aktif dan yang sudah berhenti dan orang yang pernah menjabat sebagai Dubes, menteri, pejabat sementara, ketua DPR, ketua dan hakim MA dan Pengadilan Tinggi biasa dan agama, serta para Purnawirawan setingkat Kepala staff ke atas) bila RUU itu disetujui hawa nafsu mayoritas mereka itu maka ia tidak menjadi undang-undang yang harus diterapkan sampaikan disahkan oleh Thaghut (raja), dan ini semuanya nampak dalam pasal (91) UUD yang menegaskan bahwa (Perdana Menteri menyodorkan setiap proyek RUU kepada DPR yang memilki hak menerima atau merevisi atau menolak rancangan itu, dan dalam semua keadaan proyek rancangan itu disodorkan kepada Dewan Kehormatan dan UU apapun tidak digulirkan kecuali bila disetujui oleh kedua Dewan itu dan disahkan oleh raja).

Dan tentunya si raja memiliki hak menolak UU itu dan tidak mengesahkannya sebagaimana ditegaskan oleh pasal (93) UUD, bahkan dia berhak membubarkan DPR seluruhnya dari akarnya sebagaimana telah lalu dalam pasal (34).

Maka kekafiran dan kemusyrikan yang nyata macam apa yang lebih tinggi dari ini…??? Bukankah ini adalah pengedapanan hawa nafsu dan UU serta hukum manusia terhadap hukum Allah penguasa langit dan bumi…???

Bukankah ini pengedapanan aturan para pembuat hukum yang hina lagi kafir terhadap aturan Sang Pembuat hukum yang Esa yang telah mensyariatkan untuk kita dari ajaran ini apa yang telah dia wasiatkan kepada Nuh dan para Nabi sesudahnya??

Dan penentangan terhadap Allah serta pembangkangan terhadap syariatnya macam apa yang lebih tinggi dari ini??

Dan pelecehan serta perolok-olokan terhadap ayat-ayat Allah macam apa yang lebih tinggi dari ini…??

Kemudian bersama kekafiran yang nyata dan kemusyrikan yang tegas ini, sebagian kaum Jahmiyyah dan Murji’ah malah mengklaim bahwa mereka tadi tidaklah mengutamakan hukum thaghut terhadap hukum Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. Dan sebagian pendeta mereka malah tidak merasa malu dari mangqiyaskan kaum musyrikin Legislatif itu dan ajaran kafirnya ini dengan hakim yang bertauhid lagi memutuskan dengan ajaran Allah dalam payung Negara Islam bila dia maksiat terus dia aniaya dalam kasus tertentu karena hawa nafsu atau suap, maka kaum Jahmiyyah dan Murji’ah itu mengklaim bahwa para anggota Legislatif (pembuat hukum) yang hina itu!! adalah sama seperti hakim ini lagi tidak ada bedanya, mereka tidak kafir kecuali bila mereka mengedapankan aturan-aturan mereka terhadap aturan Allah dan mengklaim bahwa ia adalah lebih utama dan lebih layak untuk diberlakukan…!! Atau mereka mengingkari hukum Allah dan ajarannya dengan pengingkaran hati…!!!

Kita di sini berpaling dulu dari qiyas yang rusak ini yang mana dia mengqiyaskan para anggota Legislatif yang kafir itu terhadap para pemimpin (muslim) yang zalim atau para hakim (muslim) yang maksiat, karena kami telah membantahnya dan membongkar kerusakannya di tempat lain.[13]

Dan di sini kami bertanya-tanya: Bila apa yang lalu yaitu pengguguran nash-nash syariat serta ketidakgunaan ayat-ayat Al Kitab dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali lewat jalur butiran UUD, terus setelah itu penyerahannya dihadapan mahluk-mahluk yang hina untuk didiskusikan… baik penerimaan ataupun perubahan ataupun penggantian ataupun pemalingan atau pencorengan[14] atau penolakkan, bila ini semua bukan pengedepanan UU dan hawa nafsu mereka terhadap nash-nash syariat, dan bila hal itu tidak dianggap pengendalian yang nyata dan penguasaan yang terbuka bagi UU dan hawa nafsu mereka terhadap ayat-ayat Qur’aniyyah dan hadits-hadits Nabawiyyah maka bagaimana sebenarnya bentuk pengedepanan dan pengutamaan itu…?? dan kapan terjadi….??

Sesungguhnya Allah ta’ala telah mengingkari terhadap para pembuat hukum terdahulu sikap mereka menyetarakan tandingan-tandingan mereka, sekutu-sekutu mereka dan sembahan-sembahan mereka dengan Allah Rabbul ‘Alamin, di mana Dia mengabarkan tentang kaum musyrikin bahwa mereka mengatakan di saat penyesalan:

تَاللَّهِ إِنْ كُنَّا لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ (٩٧)إِذْ نُسَوِّيكُمْ بِرَبِّ الْعَالَمِينَ (٩٨)

“Demi Allah: sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, karena itu kita mempersamakan kamu dengan Tuhan semesta alam” (Asy Syu’ara: 97-98)

Dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah…” (Al Baqarah: 165)

Dan Dia ta’ala berfirman:

فَلا تَضْرِبُوا لِلَّهِ الأمْثَالَ

“Maka janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah” (An Nahl: 74)

Ini perihal orang yang menyetarakan arbab dan sekutu-sekutunya, atau ia menyerupakan dan menyamakan mereka dengan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa! Maka bagaimana dengan orang yang menjadikan dari dirinya atau dari arbabnya yang beraneka ragam dan sekutu-sekutunya yang membuat hukum sebagai tuhan-tuhan yang mengendalikan dan yang berbuat sesuka hati terhadap syariat Allah lagi menguji kelayakan perintah-perintah-Nya, hudud-Nya, ajaran-Nya dan ayat-ayat-Nya???

Seandainya saja mereka tidak menjadikan syariat Allah mengikuti UU mereka lagi tidak berlaku dan tidak menjadi hukum kecuali dengan UU itu dan lewat pengakuan teks-teksnya… dan mereka menjadikan pengembalian dalam proyek UU mereka dan istidlal dalam rancangannya kepada syariat Allah secara langsung…!! Tentulah hal itu cukup sebagai pengendalian dan permainan terhadap syariat Allah, dan cukup itu sebagai kekafiran yang nyata dan kemusyrikan yang terang, maka bagaimana sedangkan masalahnya lebih keji dan lebih mengerikan dari itu, sebagaimana yang telah engkau lihat? Di mana mereka menyerahkan syariat Allah untuk dimintakan suara dan diperdebatkan,[15] dan mereka memasukkannya dalam tahapan-tahapan pembuatan hukum mereka dengan cara yang telah engkau ketahui. Maka laknat Allah terhadap orang-orang zalim.

Kemudian sebagian orang-orang yang tergila-gila oleh majelis-majelis ini berpura-pura buta dari kekafiran yang nyata dan kemusyrikan yang jelas yang telah lalu, dan mereka berupaya keras untuk melegalkannya dengan pemfokusan dan penekanan selalu terhadap tugas lain yang secara dungu mereka merasa bangga denganya, untuk memalingkan pandangan dari tugas kekafiran mereka yang paling utama.

Di mana mereka mengklaim bahwa tugas mereka adalah mengawasi pemerintah, dan sebagian mereka tidak merasa malu dari menyebut tugas yang diklaim ini sebagai hisbah sebagai peniruan dan penyerupaannya dengan al ma’ruf wan nahyu ‘anil munkar yang merupakan perintah Allah ta’ala kepada para hamba-Nya di dalam kitab-Nya…!!

Dan kami selalu bertanya kepada mereka… dan sebelum segala sesuatu… bagaimana kalian menjalankan tugas yang diklaim ini???

Apakah kalian menjalankannya di atas manhaj para Nabi, cara mereka, tuntunan mereka dan sunnah mereka serta sebagaimana firman Allah ta’ala:

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (١٠٨)

“Katakanlah: Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik” (Yusuf: 108)

Sehingga sah dan paslah penamaan kalian terhadapnya dengan hisbah dan al amru bil ma’ruf, ataukah kalian menjalankan tugas itu menurut cara kaum musyrikin dan sesuai metode orang-orang kafir serta mengikuti panduan UUD dan tata tertib majelis syirik ini??

Dan sudah barang tentu sesungguhnya metode kafir yang akhir inilah yang merupakan cara yang mereka komitmeni. Di mana UUD-lah yang menjamin bagi mereka hak qununiy ini!! Dan UUD pulalah yang menjadikan tugas ini sebagai bagian dari tugas-tugas mereka, dan ia-lah yang telah membatasi bagi mereka tata caranya, dan oleh sebab itu mereka menjalankan tugas ini di dalam bingkainya serta mereka berdalih dengan poin-poinnya yang menjamin hak ini bagi mereka saat mereka mengajukan interpelasi kepada sebagian pejabat atau menteri, sebagaimana pasal (96) UUD Yordania yang menegaskan: (Bahwa setiap anggota dari para anggota DK dan DPR memiliki hak untuk mengajukan pertanyaan dan interpelasi kepada menteri-menteri seputar permasalahan apa saja sesuai dengan ketentuan yang dijelaskan dalam ketentuan intern dewan yang mana si anggota itu berasal darinya, dan interpelasi apa saja tidak didiskusikan sebelum berlalunya delapan hari sejak sampainya kepada menteri…)

Oleh sebab itu engkau melihat para anggota dewan itu baik mereka berjenggot ataupun tidak, biasanya tidak mengingkari terhadap pemerintah atau melakukan apa yang mereka namakan sebagai muhasabah terhadap pemerintah itu, kecuali melalui bingkai teks-teks UUD, dan mereka tidak merujuk saat melakukan pengingkaran terhadap pemerintah kecuali kepada UUD, dan bila kadang mereka menuturkan firman Allah atau sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam maka sesungguhnya mereka itu –sebagaimana yang sudah lalu– menjadikannya di belakang mengikuti teks-teks UUD, karena UUD-lah yang memberikan kepada ayat-ayat dan hadits-hadits itu sifat keabsahan hukum, atau pengharusan atau nilai undang-undang di kalangan kaum musyrikin itu.

Dan contoh-contoh terhadap hal ini adalah sangat banyak… cukup bagi orang yang ingin yakin darinya dia mendengarkan diskusi-diskusi para anggota dewan di pertemuan-pertemuan mereka atau merujuk kepada notulen-notulen berbagai pertemuan parlemen, agar ia mendengar dengan kedua telinganya dan melihat dengan kedua matanya langsung contoh-contoh yang gamblang terhadap kekafiran mereka ini… nyata lagi jelas.

Sering kali kami mendengar ucapan banyak wakil rakyat yang berjenggot… (Sesungguhnya tindakan ini atau itu yang dilakukan pemerintah adalah menyalahi ketentuan UUD yang mana pemerintah telah bersumpah untuk menghormati dan komitmen terhadapnya… dan kami mengingatkan pemerintah dengan sumpahnya ini…!!).[16]

Dan begitu juga ucapan mereka: (Sesungguhnya UU atau perjanjian itu atau proyek fulan ini tidak memiliki landasan UUD dan menyelisihi ketentuan UUD…) dan hal semacam ini banyak sekali dalam ucapan mereka… dan hampir sering berulang dalam setiap pertemuan.

Mereka itu tidak memerintahkan sesuatu yang ma’ruf atau mengingkari suatu yang mungkar, atau memerintahkan yang munkar dan mengingkari yang haq kecuali lewat jalur UUD, karena UUD itu adalah dien mereka yang mereka anut dan kitab mereka yang mereka agungkan serta mereka bersumpah untuk menghormatinya sebelum memangku jabatan mereka sebagaimana dalam pasal (80) dari UUD itu sendiri. Dan bila beberapa nash syariat diutarakan oleh lisan-lisan sebagian orang-orang yang berjenggot atau anggota dewan lainnya maka sesungguhnya ia itu –sebagaimana yang telah kamu ketahui– adalah datang mengikuti UUD bukan yang diikuti!! Dan dikendalikan bukan mengendalikan!! Maka enyahlah bagi kehinaan ini dan enyahlah bagi para pengusungnya yang nista.

Dan keagungan itu milik Allah dan Rasul-Nya serta kaum mukminin yang bila mereka memerintahkan suatu yang ma’ruf atau melarang suatu yang munkar atau mengajak kepada (ajaran) Allah, maka mereka berada di atas tuntunan Nabi mereka shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berdalil dengan dalil-dalil syar’iy yang darinya mereka mendapatkan kekuasaan al amru bil ma’ruf wan nahyu ‘anil munkar, dan mereka komitmen dengan batasan-batasannya dan ketentuan-ketentuannya yang melimpahkan tugas hisbah kepada umat.

الَّذِينَ يُبَلِّغُونَ رِسَالاتِ اللَّهِ وَيَخْشَوْنَهُ وَلا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلا اللَّهَ

“Yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seseorangpun selain kepada Allah” (Al Ahzab: 39)

Dan mereka tidak mensyaratkan kekebalan UUD atau perlindungan thaghut dalam rangka melaksanakan tugas ini, sebagaimana halnya para anggota Legislatif yang musyrik itu…! Namun kaum mukminin itu justeru kafir terhadap hal itu dan berlepas diri darinya serta mereka menegakkan dakwah dan al amru bil ma’ruf wan nahyu ‘anil munkar seraya mengharapkan balasan dan penindasan yang menimpa mereka di sisi Allah saja, tidak pada thaghut atau UUD yang memberikan kepada orang-orangnya kekebalan palsu yang hina yang saat darurat dilanggar dan dirobek oleh polisi yang berpangkat rendah, di mana dia menampar anggota dewan sampai tersungkur sebagaimana yang terjadi di banyak negeri, agar si anggota dewan itu berlindung dengan UUDnya dan berhakim kepada undang-undangnya seraya menuntut haknya yang telah dijaminkan baginya oleh UUD.

Adapun da’iyyah yang bertauhid maka dia tidak berlindung kecuali kepada pelindungnya dan penolongnya yang telah mewajibkan dia dan memberikannya kemuliaan untuk memikul dakwah ini, dan dia tidak berlindung kepada selain-Nya saat mendapat ujian seraya mentauladani orang yang telah mendahuluinya di atas jalan ini dari kalangan para Nabi, syuhada dan shalihin seraya dia mengingat bagaimana mereka digergaji dan disalib di atas kayu sampai mereka meninggal demi tingginya dien ini dan mereka tidak bergeming sama sekali dan dia tidak melupakan firman-Nya ta’ala:

وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأمُورِ

“Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan BERSABARLAH terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah” (Luqman: 17) dan ayat-ayat yang agung lainnya. Maka dia mengorbankan jiwa dan umurnya untuk nushrah dien dan syariatnya seraya tidak mengharapkan dengan hal itu kecuali Wajah Sang Pelindungnya. Oleh sebab itu engkau melihatnya kokoh dengan dakwah ini walaupun dia dalam kondisi tertindas…[17] Allah tinggikan penyebutan namanya dengan dakwah ini dan memuliakannya di dunia dan di akhirat, karena sesungguhnya urusannya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh salaf “Tidak seorangpun bela dakwah (tauhid) ini melainkan ia mendapatkan bagian dari firman Allah ta’ala:

وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ (٤)

“Dan kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu” (Al Insyirah: 4)

Maka inilah jalan kaum muwahhidin dan (parlemen) itu adalah jalan kaum musyrikin, dan alangkah jauhnya perbedaan antara dua kelompok, dua barisan dan dua jalan itu…

Walaupun perbedaan yang sangat jauh ini (masih saja) sebagian kalangan yang buta mata hatinya dari gerombolan kelelawar kemusyrikan berupaya membaurkan ini dengan itu, dengan cara mengkaburkan al haq dengan al bathil dan tauhid dengan kemusyrikan, di mana mereka menyebut pekerjaan mereka yang telah engkau ketahui keadaannya di parlemen-parlemen ini dan mereka menamakannya secara dusta sebagai hisbah dalam rangka penyerupaan dan peniruan dari mereka bagi pekerjaan kekafiran mereka yang lalu terhadap al amru bil ma’ruf wan nahyu ‘anil munkar yang syar’iy.

Dan telah nampak dan jelas bagimu dalam uraian yang lalu bahwa ini tergolong bentuk penqiyasan syirik terhadap Islam, dan ini sejenis dengan penamaan mereka terhadap demokrasi sebagai syura’ dalam rangka melegalkannya, sehingga mereka dengan sikapnya itu adalah lebih buruk dari orang-orang yang meminum khamr dan menamakannya dengan nama lain sebagai bentuk penipuan dan pengkaburan.

Dan tidak ragu bahwa perbedaan antara demokrasi dengan syura adalah sangat jelas, dan perselisihan antara keduanya sangat jauh seperti antara bumi dengan langit, dan antara Kufur dengan Islam serta antara syirik dengan tauhid. Dan dengan kecampuradukan yang di buat-buat oleh mereka itu bukanlah tergolong kejahilan yang bisa diudzur pelakunya, karena para pencari ilmu yang junior saja mengetahui perbedaan antara demokrasi dengan syura[18] dan antara syirik dengan tauhid, akan tetapi pura-pura bodoh dan mempermainkan agama Allah, juga tadlis (manipulasi) dan talbis (pengkaburan yang di sengaja), serta pencampur adukan al haq dengan al bathil, dan sebelum ini semuanya (adalah hilang rasa malu)… sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa di antara yang di dapatkan manusia dari ucapan kenabian pertama adalah: (Bila kamu tidak malu maka lakukanlah apa yang kamu sukai)!! Ya, demi Allah sesungguhnya ia adalah hilangnya rasa malu, sebelum kebodohan, kesesatan, talbis dan tadlis. Karena orang yang menyelam dalam lautan kemusyrikan yang nyata dan kekafiran yang jelas yang tadi, terus dia berani menyandarkannya dan menuduhkannya kepada Nabiyyullah Yusuf saat dia menqiyaskan keikutsertaannya dalam kebatilan yang nyata ini terhadap jabatan logistik negeri (Mesir) yang di pegang oleh Nabi yang mulia putera orang yang mulia, maka orang yang berani terhadap qiyas yang rusak semacam ini demi menambali kebatilannya dan demi melegalkan kemusyrikan yang dia lakukan adalah telah menanggalkan rasa malu dari dirinya sebelum dia menelanjangi diri dari tauhid, Islam dan iman.[19]

Dan sebelum saya beranjak kepada bagian lain dari pertanyaan, saya katakan: mesti saudara muwahhid telah mengetahui dari uraian yang lalu perihal tugas pembuatan undang-undang yang dilakukan parlemen bahwa tugas ini disamping keberadaannya sebagai tugas yang kafir lagi musyrik, ia (juga) dilaksanakan lewat panduan UUD dan butir-butirnya dan dikendalikan oleh jumlah mayoritas yang telah Allah ta’ala firmankan tentangnya:

وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ (١٠٣)

“Dan tidaklah mayoritas manusia itu beriman walaupun kamu menginginkannya” (Yusuf: 103)

Dan firman-Nya:

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah” (Al An’am: 116)

Saya katakan, mesti saudara muwahhid telah mengetahui bahwa perealisasian sesuatu yang tidak diinginkan si thaghut lewat jalur parlemen-parlemen ini –baik yang diinginkan itu Islam atau kekafiran– pada hakikatnya itu adalah tidak mungkin dan tidak bisa direalisasikan karena jalan ini disamping ia itu adalah bathil secara syariat maka ia juga bathil dan tertutup secara akal… karena engkau sudah mengetahui bahwa pembuatan hukum di kalangan mereka tidak terlaksana kecuali lewat jalur UUD.

Dan usulan hukum apa saja tidak boleh menyelisihi ketentuan yang mereka tetapkan dan mereka bukukan dalam dasar-dasar mereka, undang-undang mereka dan tata tertib mereka.

Dan juga ia tahu harus disetujui oleh suara mayoritas, kemudian bila proyek rancangan itu berhasil menembus dewan kehormatan, dan meraih suara mayoritas mereka –dan ini jarang sekali bila tidak diridlai thaghut– maka mustahil ia melewati dewan kehormatan, karena sungguh engkau sudah mengetahui bahwa para anggota dewan kehormatan itu adalah orang-orang yang ditunjuk dan dipilih thaghut itu sendiri, dan bahwa mereka itu termasuk kroni-kroninya dan budak-budaknya yang setia.

Kemudian setelah ini semuanya, undang-undang itu tidak tuntas kecuali dengan pengesahan raja, dan suatu yang tidak disahkan dia maka mereka tidak bisa berbuat apa-apa.

Sebagaimana yang telah engkau ketahui bahwa parlemen itu dari awal sampai akhir seluruhnya berada di tangan thaghut, dialah yang membukanya, membubarkannya, dan menggugurkannya dengan satu goresan pena. Semua itu telah jelas dan nampak di hadapanmu dari UU mereka sendiri. Jadi jalan ini di samping ia itu jalan yang syirik lagi kafir, ia –sebagai jalan untuk merubah– adalah jalan yang tidak menyampaikan kepada tujuan bahkan ia adalah jalan yang buntu yang tertutup lagi terkunci. Ini berkaitan dengan perubahan dari akar yang diimpikan oleh sebagian orang-orang dungu lewat jalan parlemen-parlemen ini.

Dan ia juga tepat sekali terhadap perubahan parsial, di mana tidak mungkin merealisasikan apa saja kecuali bila thaghut menyukai dan meridlainya…!!

Dan begitu juga keadaannya perihal apa yang mereka sebut sebagai muhasabah (hisbah), sungguh engkau telah mengetahui bahwa ia tidak dijalankan kecuali menurut panduan UUD.

Dan bila kamu ingin menambah kejelasan di dalamnya, maka silahkan rujuk kitab Ahkam Ad Dustur Wal Ijraa-at Al Barlamaniyyah Fit Tathbiq dalam bahasan “Istijwaabaat”, dan lihat syarat-syarat yang ada dalam UU yang mengendalikan dan membatasi hal itu, yang di antaranya:

Interpelasi itu tidak menyalahi ketentuan UUD
Dewan berhak menjauhkan interpelasi yang tidak sejalan dengan kepentingan umum.

Dan syarat-syarat lainnya yang disebutkan oleh penulis kitab itu dan ia menuturkan contoh-contoh terhadapnya dalil-dalil dari UU mereka dan tata tertib intern dewan-dewan mereka, serta yang lainnya, dan ia adalah syarat-syarat yang menjadikan interpelasi-interpelasi itu tidak berarti bahkan sia-sia.

Pada uraian yang lalu saya telah panjang lebar untuk memperkenalkan dan membuka pandangan orang yang mencari al haq terhadap keadaan jalan yang syirik yang hina lagi tertutup ini. Agar di atasnya ia mudah membantah dan membongkar syubhat-syubhat para pendebat yang membela-belanya lagi melegalkan masuk di dalamnya.

Bila telah jelas apa yang diuraikan tadi, dan engkau telah mengetahui hakikat parlemen-parlemen kafir ini dan hakikat tugasnya serta tata cara para arbab itu dalam menjalankannya, dan engkau telah mengetahui hukum Allah tentang tugas ini, yaitu bahwa ia adalah kemusyrikan yang nyata dan kekafiran yang jelas yang menggugurkan tauhid, karena ia dibangun di atas sikap berhakim kepada thaghut yang padahal Allah telah memerintahkan kita untuk kafir kepadanya dan menjauhinya sebelum ada perintah yang lain, dan dikarenakan penyandaran hukum itu adalah ibadah yang mana wajib mentauhidkan Allah dengannya, dan barangsiapa menyandarkannya kepada selain hukum Allah ta’ala atau memalingkan kepada selain-Nya subhanahu wa ta’ala maka ia itu telah menjadikan selain-Nya itu sebagai rabb (tuhan pengatur) yang ia sekutukan bersama Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam pembuatan hukum.

Bila engkau telah mengetahui ini semuanya, maka mudah atasmu setelah ini semuanya mengetahui hukum ikut serta di dalamnya, baik itu pencalonan diri, maupun pemberian suara.

Hakikat orang yang mencalonkan diri di dalamnya adalah ia itu thaghut yang berupaya mensyarikati Allah ta’ala dalam pembuatan hukum. Dan inilah tugas utama dan pokok yang mana ia berupaya keras untuk mendapatkannya dalam pemilu: yaitu pembuatan hukum yang mutlak lewat panduan UUD. Jadi ia dengan makna lain adalah meminta dari rakyat agar mereka menyerahkan kepadanya sulthah tasyri’ (kekuasaan pembuatan hukum/UU) dan memalingkan kepadanya ibadah ini, terus mereka memilihnya agar ia membuatkan hukum bagi mereka menurut ketentuan UUD.

Dan inilah yang dilakukan setiap thaghut bersama kaumnya, dan ini juga yang biasa dilakukan para dukun, ulama (suu’), dan para rahib, dan apakah Fir’aun saat mengatakan:

فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ الأعْلَى (٢٤)

“Akulah tuhan kalian yang tertinggi” (An Nazi’at: 24) menginginkan lebih dari ini….? Sesungguhnya dia tidak mengaku dialah sang pencipta. Karena di sana banyak yang dilahirkan sebelum dia, dan mereka itu ada lagi diciptakan sebelum Fir’aun dilahirkan. Dan ini adalah kebenaran yang tidak diragukan oleh Fir’aun dan orang selain dia, akan tetapi yang diinginkannya hanyalah ketaatan dan penerimaan yang total serta disandarkan kepadanya hukum dan kewenangan pembuatannya secara total, di mana dia memerintahkan dan melarang serta mengharamkan dan menghalalkan menurut hawa nafsunya dan ajarannya yang bathil, oleh sebab itu para ulama mendefinisikan thaghut dengan ucapan mereka: (Ia adalah setiap yang dilampaui batasnya oleh si hamba baik itu yang diibadati maupun yang diikuti ataupun yang ditaati, sehingga thaghut setiap kaum adalah orang yang mana mereka berhakim kepadanya selain Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Sedangkan sudah diketahui bahwa vonis bagi thaghut dalam ajaran Allah adalah kafir seperti kekafiran Fir’aun, ‘Amr Ibnu Luhay Al Khuza’iy[20] [21], Ka’ab Ibnu Asyraf, ulama Yahudi dan Nasrani serta —

No comments:

Post a Comment