Friday, March 15, 2013

DAULAH NABAWIYAH (NEGARA NABI) [bagian ke 2]


Penulis : Menteri Urusan Perang Daulah Islam Iraq, Syaikh Abu Hamzah Al-Muhajir (rahimahullah)

Kondisi Perekonomian Daulah Nabawiyah:
-----------------------------------------------
Di awal perkembangannya Daulah Nabawiyah tumbuh dalam keadaan fakir yang mematikan [12]. Kefakiran itu tidak pandang bulu, menimpa siapa saja baik anak kecil maupun orang tua. Dalam Shahih Bukhari, dari Ayyub, dari Muhammad, ia berkata, “Kami berada di hadapan Abu Hurairah yang memakai dua buah pakaian yang dicelup dengan lumpur merah terbuat dari pohon rami. Ia membuang ingus dari hidungnya. Ia berkata, “Bakh, bakh, Abu Hurairah membuang ingusnya di kain yang terbuat dari pohon rami? Sungguh Anda telah melihatku ketika jatuh tersungkur di depan mimbar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ke kamar Aisyah radhiyallahu 'anha terus pingsan. Ada orang datang menaruh kakinya di leherku dan melihat bahwa saya telah gila. Padahal saya tidak gila, saya hanya sedang kelaparan.”

Mereka para tamu mulia di masjid Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dimana seluruh sahabat melihat mereka jatuh tersungkur karena sakit saking laparnya, tidak punya apa-apa. Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata, sebagaimana dalam Shahih Bukhari, “Orang yang paling baik terhadap orang-orang miskin adalah Ja’far bin Abu Thalib. Ia sering mengunjungi kami dan memberikan makanan kepada kami apa saja yang ada di dalam rumahnya. Sampai ia pernah memberikan ‘ukkah (bejana kecil terbuat dari kulit biasanya untuk wadah mentega) yang sudah tidak ada apa-apanya, lalu kami menyobekinya kemudian kami menjilati apa yang tersisa.”

Wahai mujahid yang tenggelam dalam nikmat Allah, coba bayangkan rasa lapar yang mendorong sang dermawan, Ja’far bin Abu Thalib mengunjungi para tamu mulia, padahal ia tidak memiliki apa-apa selain wadah kulit berisi sisa-sisa mentega. Mereka memotong-motongnya untuk bisa menjilati apa yang tersisa dalam wadah tersebut!.

Perlu diketahui, tibanya Ja’far di Madinah bertepatan dengan penaklukan Khaibar serta masuk Islamnya Abu Hurairah, yaitu di tahun yang sama, tahun ketujuh dari hijrah Nabi. Hal itu menunjukkan bahwa kefakiran yang sangat memprihatinkan ini masih melanda Daulah Nabawiyah setelah 7 tahun sejak berdirinya dan sejak Allah menganugerahkan kepada kaum Muslimin harta ghanimah (rampasan perang) suku Khaibar.

Berkaitan dengan kondisi para tamu Islam dan bagimana rasa lapar yang mereka rasakan, sahabat yang agung ini mengkhabarkan bagaimana ia pernah duduk bersama para sahabat senior menanyakan tentang satu ayat dari kitab Allah, “Saya bertanya hanya supaya saya bisa merasa kenyang.” Sampai Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengundangnya ke rumah beliau. Ketika beliau mendapati ada susu di rumah beliau menghadiahkan kepadanya. Beliau bersabda, “Wahai Abu Hirr (Bapaknya Kucing)” Saya menyahut (Abu Hurairah), “Ya wahai Rasulullah.” Beliau, “Kembalilah ke ahli shuffah (orang-orang yang tinggal di masjid), undanglah mereka datang ke rumahku.” Abu Hurairah, “Ahli Shuffah adalah para tamu Islam. Mereka tidak punya keluarga, harta benda dan siap-siapa sebagai tempat berlindung. Jika ada harta sedekah datang kepadanya, langsung dikirimkan kepada mereka, beliau tidak mengambilnya sedikitpun. Jika ada orang memberi hadiah langsung dikirimkan kepada mereka, beliau mengambilnya sedikit, selebihnya untuk mereka. Hal itu membuat saya tidak enak. Saya berkata, “Apakah susu ini untuk ahli shuffah? Saya berhak meminum susu ini seteguk agar saya kuat. Ketika tiba beliau menyuruhku untuk memberikannya kepada mereka. Semoga saya dapat bagian dari susu ini. Padahal taat kepada Allah dan Rasul-Nya adalah keharusan. Maka saya pun memberikannya kepada mereka. (Al-Hadits) [13]

Lihatlah ini, farisul muslimin (satria penunggang kuda kaum Muslimin), suami putri Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Ali bin Abi Thalib, ia pernah bekerja pada seorang Yahudi demi memperoleh beberapa butir kurma untuk mengganjal rasa sakit karena lapar.

Dalam Sunan Tirmidzi, Ali bin Abi Thalib berkata, “Saya keluar dari rumah Rasulullah pada suatu hari di musim dingin. Saya membawa kulit yang sudah rusak. Saya menaruhnya di leherku. Saya ikat perutku dengan ikat pinggang dari daun kurma karena saya sangat kelaparan. Seandainya di rumah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ada makanan pasti saya memaknnya. Maka saya keluar mencari sesuatu. Ketika saya melewatu seorang Yahudi yang sedang sibuk dengan hartanya. Ia memberi air dengan menggunakan kerekan. Saya melihatnya dari celah dinding rumahnya. Ia bertanya, “Ada apa wahai orang Arab, apakah kamu mau bekerja untuk setiap satu timba satu upahnya sebutir kurma? Saya, “Ya, bukalah pintunya agar saya bisa masuk.” Si Yahudi membuka pintu. Ia memberiku timbanya. Setiap saya menarik atu timba ia memberiku sebutir kurma. Sampai ketika tanganku sudah penuh, saya kembalikan timbanya. Saya katakana, “Sudah, cukup.” Lalu saya memakan kurma-kurma tersebut kemudian saya kehausan lalu minum.

Saya akan sampaikan kepada Anda bagaimana rasa lapar yang dirasakan para sahabat yang sampai membuat mereka merasa sakit karenanya.

Dari Ibnu Abbas ra, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, pada suat hari beliau menjenguk seorang sahabat, beliau bertanya, “Apa yang kamu inginkan?” Ia menjawab, “Saya ingin sepotong roti tepung.” Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang punya sepotong roti tepung hendaknya ia mengirmkannya kepada saudaranya.” (Al-Hadits).

Namun apabila rasa lapar menimpa anak kecil, demi Allah, sungguh itu sangat memilukan. Dalam Sunan Abu Daud, dari Ali bin Abi Thalib ra, suatu ketika ia masuk ke rumah menemui Fatimah, sedangkan Hasan dan Husain sedang menangis. Ali, “Apa yang membuat mereka berdua menangis?” Fatimah menjawab, “Rasa lapar.”

Dalam Sunan Tirmidzi, dari Rofi’ bin ‘Amr, ia berkata, “Saya pernah melempari kurma milik kaum Anshar. Mereka menangkapku dan membawaku kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau bertanya, “Wahai Rofi’, kenapa engkau melempari pohon kurma mereka?” Rofi’, “Saya menjawab, “Saya kelaparan wahai Rasulullah.”

Mengenai pakaian mereka dan apa yang menutup aurat-aurat mereka tidak lebih baik dari kondisi makanan mereka. Dalam Shahih Bukhari, ada seorang penanya bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang shalat memakai satu baju. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, “Memangnya siapa di antara kalian yang punya dua baju?”

Baju tersebut, terkadang pendek dan sempit, hampir tidak bisa menutupi aurat sahabat dalam shalatnya dan dalam masjid Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Dari Sahl bin Sa’dengan, ia berkata, “Para sahabat biasa shalat bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan mengikat sarung mereka di atas leher-leher mereka seperti anak-anak. Para wanita sahabat diperintahkan, “Jangan angkat kepala kalian sebelum kaum lelaki duduk dengan sempurna.”

Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan, “Ath-Thahawi mengatakan, “Orang-orang yang mengikat sarungnya ke lehernya memang tidak punya yang lain selain itu. Wallahu adalah’lam. Karena, kalau mereka punya pakaian lagi selain itu tentu mereka memakainya dalam shalat dan tidak perlu melarang kaum wanita mengangkat kepala sebelum kaum lelaki duduk dengan sempurna. Dan hukum-hukum mereka berbeda dalam shalat. Dan itu menyelisihi sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam berkaitan dengan imam shalat jamaah, “Janganlah kalian berbeda dengannya.” Dan berdasarkan sabda beliau, “Jika imam mengangkat kepala maka angkatlah.” Tidakkah kamu lihat bahwa ‘Amr bin Salamah ketika shalat mengimami kaumnya dan auratnya tersingkap, ia tidak memakai selain jubah pendek yang ia kenakan. Ketika ia dibelikan jubah panjang yang bisa menutupi auratnya dalam shalat ia berkata, “Saya tidak pernah merasa gembira karena sesuatupun segembiraku karena jubah panjang ini.” Kaum wanita dilarang mengangkat kepala karena dikhawatirkan akan melihat aurat kaum lelaki ketika bangun dari sujud.” Selesai perkataan Ibnu Baththal rahimahullah.

Apakah ada kefakiran yang lebih parah dari ini? Terkadang seseorang bisa sabar menanggung sakit karena lapar, namun ketika tidak mendapati pakaian yang bisa menutupi auratnya maka ini sangat memilukan dan menyedihkan. Dan ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya yang mulia kondisi ini dan mereka tidak bisa berbuat apa-apa, maka tidak diragukan lagi kondisinya sangat parah. Yang membuat seorang muwahhid menangis adalah bahwa kondisi kefakiran ini tanpa terkecuali juga menimpa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, makhluk Allah terbaik, termulia dan paling terhormat.

Dalam Shahih Muslim, dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu ia berkata, “Pada sauatu hari saya mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Saya mendapati beliau sedang duduk berbincang-bincang dengan para sahabatnya. Dan beliau mengikat perutnya dengan sebuah perban. Usamah berkata, “-Saya ragu-ragu- dengan sebuah batu.” Saya bertanya kepada beberapa sahabat, “Kenapa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengikat perutnya?” Mereka menjawab, “Karena lapar.”

Dalam riwayat lain, “Abu Thalhah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tiduran di masjid sambil membolak-balik badannya. Lalu ia mendatangi Ummu Sulaim lalu berkata, “Saya melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tiduran di masjid sambil membolak-balik badannya. Saya menduga beliau sedang merasa lapar.” Anas berkata, “Lalu Abu Thalhah masuk menemui ibuku, lalu bertanya, “Apakah ada sesuatu?” Ibuku, “Ya saya punya beberapa potong roti dan beberapa butir kurma.” Tiba-tiba Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendatangi kami sendirian maka kami membuat beliau merasa kenyang. Dan jika ada orang lain datang maka makanannya kurang.” (Al-Hadits).

Perhatikanlah wahai orang yang mengeluhkan kekurangan dan kesempitan hidup, bagaimana Nabimu shallallahu 'alaihi wa sallam merasakan kelaparan yang sangat sampai terlihat dari raut wajah beliau. Bahkan sampai membolak-balik badannya karena kelaparan yang sangat. Sampai Anas bertanya kepada beberapa sahabat, apa gerangan yang sedang menimpa beliau sampai seperti itu. Mereka pun menjawab, karena kelaparan. Tidak ada seorang pun yang memiliki sesuatu untuk diberikan kepada beliau shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan ketika ada itupun hanya beberapa potong roti yang tidak pantas bagi seorang tamu mulia semisal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam melalui malam-malamnya dengan menahan rasa lapar tanpa memakan apapun. Semoga shalawat dan salam Rabbku selalu tercurahkan kepada beliau.

Dari ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam biasa melalui malam-malamnya secara berturut-turut dengan menahan rasa lapar dan keluraganya tidak mendapati apapun untuk makan malam mereka. Roti yang paling sering mereka makan adalah roti dari tepung. Ya, dan keluarganya. Wahai para wanita yang tidak taat kepada para suami kalian karena menuntut keluasan rizki, terutama para mujahidin di jalan Allah, lihatlah mereka istri-istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para putri dari orang-orang termulia, mereka semua menahan rasa lapar.

Dalam Shahih Muslim, Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata, “Demi Dzat yang jiwa Abu Hurairah ada di tangan-Nya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah selama tiga hari berturut-turut tidak bisa mengenyangkan keluarganya walau hanya dengan sepotong roti dari gandum sampai beliau meninggalkan dunia.” Bahkan beliau shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah mengenyangkan keluarganya dengan roti dari tepung. Sebagaimana dalam Shahih Bukhari, Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam meninggalkan dunia sementara beliau tidak pernah kenyang dari hanya sepotong roti tepung.”

Termasuk yang menyayat hati dan jiwa tidak kuat membayangkannya apabila engkau tahu bahwa Nabimu shallallahu 'alaihi wa sallam sangat kepayahan karena menahan rasa lapar sampai memaksanya untuk menyambut undangan seorang Yahudi demi makanan yang buruk, bahkan sampai menggadaikan baju besinya kepada si Yahudi agar bisa mendapatkan tepung untuk dibuat makanan untuk keluarganya.

Dalam Shahih Bukhari, Anas radhiyallahu 'anhu berkata, “Saya berjalan menuju rumah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan membawa roti tepung dan mentega basi [14]. Baju besi beliau pernah digadaikan kepada seorang Yahudi ditukar dengan 20 sha’ makanan yang diambil untuk keluarganya. Saya pernah mendengar, pada suatu hari, beliau bersabda, “Keluarga Muhammad tidak pernah menyimpan walau hanya satu sha’ kurma atau satu sha’ tepung.” Padahal waktu itu beliau memiliki 9 istri.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, ketika mencantumkan sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, “Keluarga Muhammad tidak pernah menyimpan walau hanya satu sha’ kurma atau satu sha’ tepung.” mengatakan, “Beliau tidak mengatakan

karena putus asa atau mengeluh –aku berlindung kepada Allah dari perkataan semacam itu- tetapi karena meminta maaf mengenai kedatangan beliau menyambut undangan si Yahudi dan karena baju besi beliau digadaikan kepadanya.” Selesai perkataan Ibnu Hajar rahimahullah.

Ya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyambut undangan si Yahudi karena rasa lapar demi mendapatkan roti tepung dan mentega basi. Bahkan sampai menggadaikan senjatanya, sesuatu yang paling berharga bagi seorang muslim, kepada si Yahudi karena kebutuhan yang sangat mendesak. Dimana, kondisi terbaik seorang Yahudi, minimal hartanya bercampur antara yang halal dan haram. Allah Ta’ala berfirman,

(سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ )
“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram.” [QS. Al-Maidah (5): 42].

Seandainya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menemukan seorang muslim yang bisa dihutangi pasti beliau lakukan. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Para Ulama berkata, “Hikmah dari apa yang dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam bermuamalah dengan seorang Yahudi, bisa jadi untuk menerangkan kebolehannya, atau karena pada waktu itu para sahabat memang tidak punya makanan lebih, atau beliau khawatir mereka tidak mau mengambil harga atau ganti, makanya beliau tidak ingin menyulitkan mereka.” Selesai perkataan Al-Hafizh rahimahullah.

Saya kakatakan, sangat mustahil Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menggadaikan senjatanya kepada musuhnya, meskipun ia terikat perjanjian kecuali karena kebutuhan yang sangat mendesak yang tidak mungkin dipenuhi dari selain cara ini. Wallahu Ta’ala A’lam.

Cukuplah untuk engkau ketahui, sebagaimana dalam Sahih Bukhari, bahwa beliau shallallahu 'alaihi wa sallam meninggal dunia, sementara baju besinya tergadaikan pada seorang Yahudi demi mendapatkan 30 sha’ tepung yang diambil untuk dibuat makanan untuk keluarganya. Dalam riwayat lain, beliau mengambilnya sebagai rezeki untuk keluarganya. Dalam riwayat Ahmad, “Beliau tidak menemukan sesuatu yang bisa digunakan untuk menebus baju besinya sampai wafat.”


Ringkasan Keterangan Mengenai Kondisi Daulah Nabawiyah
-------------------------------------------------------------------
Begitulah keadaan Daulah Nabawiyah sejak awal pertumbuhannya sampai beliau shallallahu 'alaihi wa sallam wafat. Rasa lapar yang menimpa semua orang sampai pada batas, orang yang tidak mengenal bagaimana rasanya kelaparan tidak bisa memahami bahayanya. Namun meskipun demikian, kami tidak pernah mendengar meski hanya sekali, seorang muslim, atau munafik yang mencela Daulah beliau shallallahu 'alaihi wa sallam dengan mengatakan bahwa beliau shallallahu 'alaihi wa sallam saja tidak mendapatkan makanan yang bisa untuk memberi makan dirinya sendiri dan para sahabat belia, maka bagaimana ia menyusahkan dirinya dan menegakkan sebuah daulah yang tidak memiliki pilar-pilar penegak suatu daulah, bahkan walau hanya pilar penegak daulah yang paling sederhana, yakni makanan dan minuman.

Kondisi Militer Daulah Nabawiyah
-------------------------------------
Dalam Bidang Persiapan Militer, bagaimana keadaan Pasukan di bawah komando Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam? Apakah juga mengalami kesusahan yang sama ataukah untuk kepentingan militer ada kelebihan dibanding kehidupan sipil?
Dalam Shahih Bukhari-Muslim, dari Jabir bin Abdullah ra, ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus pasukan ke pantai dan menunjuk sebagai amirnya adalah Abu Ubaidah Ibnu Al-Jarrah. Mereka berjumlah 300 orang dan saya termasuk di dalamnya. Kami pun berangkat. Sampai ketika sampai separuh perjalanan, kami kehabisan bekal. Lalu Abu Ubaidah memerintahkan mengumpulkan semua bekal-bekal yang masih tersisa. Beliau memberi kami bekal kurma. Ia memberi makan kami dengannya sedikit demi sedikit sampai habis. Sampai kami tidak makan kecuali sebutir kurma. Saya katakan: apa gunanya sebutir kurma? Ia menjawab, “Kami merasakan kehilangan kurma ketika habis ludes.” Dalam riwayat lain, “Kami berangkat dengan jumlah pasukan 300 orang memikul perbekalan kami di pundak kami.” Dalam riwayat Muslim, “Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam membekali kami satu geriba kurma. Beliau tidak menemukan bekal untuk kami selain itu. Abu Ubaidah memberi kami sebutir-sebutir. Jabir: Saya berkata, “Apa yang kalian bisa perbuat dengan hanya sebutir kurma? Abu Ubaidah, “Kami menyedotnya sebagaimana bayi menyedot. Kemudian kami minum air. Itu bisa mencukupi kami sehari semalam. Kami menjatuhkan dedaunan dengan memukulkan tongkat kami ke pohon kemudian kami basahi dengan air terus kami memakannya.” Dalam riwayat Bukhari, “Kami ditimpa kelaparan yang parah. Sampai kami memakan dedaunan. Makanya pasukan itu diberi nama pasukan dedaunan (jaisy Al-Khabath).”

Hadits ini mengandung faidah yang banyak, namun yang memungkinkan saya sebutkan pada kesempatan ini ada 3:

PERTAMA, perkataan Jabir ra, “Beliau membekali kami satu geriba kurma. Beliau tidak menemukan bekal untuk kami selain itu.” Dan perkataannya, “Kami memikul perbekalan kami di pundak kami lalu bekal kami habis.” Lihatlah ini Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, manusia paling penyayang terhadap sesama dan paling antusias untuk memberikan manfaat dan menghindarkan gangguan dari mereka; paling paham dunia perang; beliau mengirim pasukan dalam cuaca padang pasir yang panas dan berat. Para sahabat memikul perbekalan di pundak-pundak mereka. Mereka tidak membawa makanan yang bisa menyampaikannya ke tujuan mereka. Mereka akan memerangi musuh yang siap perang. Tidak diragukan lagi bahwa beliau shallallahu 'alaihi wa sallam sudah tahu berapa lama perang akan berlangsung, susahnya perjalanan dan bekal yang dibutuhkan dan mencukupi seorang tentara baik. Pengetahuan itu baik berasal dari ilmu beliau sendiri atau dengan bertanya kepada pakarnya dari kalangan para sahabat, terutama dari amir pasukan. Kita mengetahui hal itu dari perkataan Jabir ra, “Beliau membekali kami satu geriba kurma. Beliau tidak menemukan bekal untuk kami selain itu.”

Pertanyaannya: Apakah boleh sebuah pasukan dikirim padahal keadaannya seperti itu? Apakah Anda mencela keadaan semacam ini sebagaimana mencela Daulah Islamiyah dan kekuatan militernya?

Kami katakan, sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah berupaya dengan optimal melakukan sebab dan bekerja keras dalam mencapai tujuan. Kemudian baru bertawakal kepada Allah Dzat yang di tangan-Nya perbendaharaan langit dan bumi. Barang siapa bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Ketidaksempurnaan dalam melakukan sebab bukan udzur dan penghalang dari memburu musuh. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal niscaya Allah akan memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana Allah memberi rezeki kepada burung yang pergi di waktu pagi dalam keadaan lapar dan pulang dalam keadaan kenyang.”

Dan dalam hadits di atas terkandung semangat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk berjihad di jalan Allah dan memburu musuh terutama di waktu-waktu lemah. Dan perbuatan beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bukan termasuk menyia-nyiakan tentara –mustahil itu-, juga bukan termasuk menjatuhkan diri dalam kebinasaan sebagaimana klaim sebagian mereka sekarang ini, bahwa setiap kali berangkat untuk suatu operasi yang sebab-sebabnya belum sempurna dan beres ia langsung mengklaim bahwa operasi itu adalah suatu kebinasaan.

Dalam perbuatan beliau shallallahu 'alaihi wa sallam terkandung faidah rabbaniyah nabawiyah yang agung dan bernilai besar, yang itu pengaruhnya dan urgensinya dapat diketahui oleh siapa saja yang mempraktekkan jihad sebagai sebuah ibadah, yakni bahwa segala urusan tidak akan berjalan kecuali dengan mengoptimalkan usaha dalam mencari sebabnya. Jika seorang mujahid meninggalkan sebab atau teledor dalam melakukannya maka nasib dan bagiannya adalah kegagalan dan lewatnya sesuatu yang dicari. Barang siapa yang bersungguh-sungguh dalam mencari sebab dan tidak menyia-nyiakan kesempatan kemudian bertawakkal kepada Allah maka hasilnya adalah kebahagiaan di dunia dan akhirat.

(وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ )
“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” [QS. Al-Maidah (5): 23].

Allah Ta’ala berfirman,
( وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ )
“Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu.” [QS. Maryam (19): 25].

Seandainya Maryam diam saja, apa yang bisa diperbuat wanita lemah terhadap pohon kurma itu? Maka pohon kurma itu tidak akan menjatuhkan buah kurma yang matang kepadanya.

Demikian juga seandainya para sahabat atau salah seorang mereka tidak mau memakan buah kurma, apa yang mungkin bisa kamu lakukan? Ia tidak akan bertahan hidup, mati di tengah perjalanan.

Al-Muhallab rahimahullah berkata, “Kurma ini memberikan manfaat kepada mereka berkat barakah Nabi dan berkat barakah jihad bersama beliau. Allah memberkahi kurma mereka untuk mengatasi kelaparan supaya tidak menjadi sesuatu yang di luar kebiasaan dan tidak keluar dari hal yang normal, sesuai dengan hikmah kebijaksanaan-Nya. Meskipun Allah Maha Kuasa untuk mencipatakan makanan untuk mereka dan kuasa menjadikan batu menjadi roti.”

Dalam hadits itu terkandung bagaimana kualitas mendengar dan ketaatan para sahabat baik dalam keadaan susah dan mudah, selalu berbaik sangka, dan zuhud dengan perhiasan dunia. Maka mereka berangkat dengan memikul perbekalannya di pundak mereka. Juga, ketinggian kesabaran dan kerasnya kehidupan yang sudah menjadi kebiasaan mereka sebagai anugerah dari Allah kepada mereka. Sehingga menjadikan mereka bisa melalui berbagai ujian dan musibah serta fitnah bencana dengan sabar.

Hadits itu menceritakan kepada kita bagaimana antusiasme para sahabat radhiyallahu 'anhum terhadap jihad di jalan Allah dan memburu harta benda milik orang-orang kafir dimanapun berada. Walaupun mereka teledor dari sebab itu, berbagai bahaya mengepung mereka dan ketakutan serta kelaparan membayangi mereka.

Bisa jadi ada yang mengatakan, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam belum tahu bahwa nasib pasukannya akan berakhir dengan hasil sepertin ini! Saya katakan: Para ulama berbeda pendapat berkaitan dengan perang ini. Ada yang menyebutkan bahwa beliau shallallahu 'alaihi wa sallam ada bersama mereka. Namun yang pendapat rajih (paling kuat) bahwa beliau mengirim mereka. Dan seperti yang terjadi di perang Khabth juga terjadi pada perang Dzatu Ar-Riqaa’ bahkan lebih dahsyat, bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Abu Musa radhiyallahu 'anhu mengatakan, “Kami berangkat bersama Nabin shallallahu 'alaihi wa sallam dalam suatu pasukan. Jumlah kami ada 6 orang. Kami mengendarai seekor onta secara bergantian. Telapak-telapak kaki kami banyak yang berlubang, termasuk kedua telapak kakiku. Kuku-kukuku sampai tanggal. Kami membalut kaki kami dengan kain. Lalu perang itu diberi nama perang Dzatu Ar-Riqaa’ karena pada perang itu kami sampai membalut kaki-kaki kami dengan kain.”

Sesuatu yang sangat penting dalam faidah ini adalah bahwa apa yang menimpa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat berupa kelaparan dan anggota badan terluka, itu terjadi pada jihad ofensif. Karena mereka berangkat memburu harta orang-orang kafir. Maka bagaimana dengan jihad defensif wahai para hamba Allah? Mempertahankan dien, nyawa dan kehormatan. Para ulama telah menyebutkan, bahwa untuk jihad defensif ini tidak disyaratkan syarat apapun. Sebagaimana tidak bermanfaat udzur-udzur yang lemah atau berbagai argumen dusta. Hanya Allah-lah yang memberikan petunjuk kepada semuanya kepada apa yang Ia cintai dan ridhai.

KEDUA, perkataan Jabir ra, “Lalu Abu Ubaidah memerintahkan mengumpulkan semua bekal-bekal yang masih tersisa. Beliau memberi kami bekal kurma.” Maksudnya bahwa amir pasukan, Abu Ubaidah radhiyallahu 'anhu mengumpulkan perbekalan khusus para sahabat dan membaginya dengan rata. Padahal sebagian sahabat boleh mendapatkan lebih banyak dari sebagian yang lain. Kebutuhannya terhadap bekal itu sangat mendesak dan berpegang teguh dengan hartanya bisa jadi menjadi sebab keselamatannya.

Ibnu Baththal menukilkan perkataan Al-Muhallab rahimahullah, “Sultan (penguasa) berhak memerintahkan rakyatnya untuk membantu orang lain dan memaksa untuk melakukannya. Membagi rata perbekalan mereka agar mereka bisa bertahan hidup. Dalam hadits itu terkandung faidah bahwa imam (pemimpin) berhak membantu rakyatnya dalam masalah makanan pokok ketika mukim (tidak safar) baik dengan membayar harganya atau tanpa membayar harganya, sebagaimana ia juga berwenang melakukannya di waktu safar (bepergian). Selesai perkataan Al-Muhallab rahimahullah.

Perbuatan Abu Ubaidah ini karena mengikuti perbuatan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Salamah radhiyallahu 'anha mengatakan, “Perbekalan pasukan semakin berkurang dan mereka sangat kekurangan. Mereka mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menyembelih unta mereka. Beliau pun mengizinkan mereka untuk menyembelihnya.” Dalam hadits itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Serukan kepada orang-orang untuk membawa kelebihan perbekalan mereka.” Selembar kulit dihamparkan sebagai tempat menampungnya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri, berdoa dan memohon kepada Allah agar perbekalan tersebut diberi keberkahan.

Suwaid bin An-Nu’man berangkat bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada perang Khaibar sampai ketika rombongan telah tiba di Ash-Shuhba, tempat dekat Khaibar, beliau shalat Ashar. Kemudian beliau memerintahkan untuk mengumpulkan perbekalan. Namun yang terkumpul hanya tepun gandum. Lalu tepung itu diberi air. (Al-Hadits).

Dalam hadits-hadits yang terdahulu menjadi penegas mengenai kondisi pasukan Nabi dan minimnya pendanaannya. Mereka lebih menyukai bagi pemimpin untuk berbuat baik kepada orang-orang meski hanya dengan kata-kata yang baik sampai mereka memberikan semua milik mereka dengan penuh kerelaan hati dalam waktu-waktu terjepit atau menjanjikan harganya di waktu longgar. Kalau tidak seperti itu maka ia berhak untuk mengganti milik mereka jika memang sangat mendesak sebagaimana perkataan Al-Muhallab rahimahullah terdahulu. Terutama bahwa hadits Jabir dan dua hadits sebelumnya hanya mencantumkan perintah untuk berbuat dan perkataannya tidak mengandung pengaruh sedikitpun mengenai harga. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah memuji perbuatan ini baik pada waktu mukim maupun bepergian. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam Shahih Bukhari dan Muslim, “Apabila orang-orang Asy’ariyyiin kehabisan makanan pada waktu perang atau makanan keluarga mereka di Madinah mulai berkurang, mereka mengumpulkan semua milik mereka dalam satu kain. Kemudian mereka membagi-bagikannya dalam satu wadah dengan ukuran yang sama. Mereka adalah bagian dariku dan aku adalah bagian dari mereka.”

Dari keterangan di atas nampak jelas kejahatan orang yang berjiwa rendah dan bertabiat buruk. Ia sengaja mengambil harta Allah padahal ia masih punya kelebihan perbekalan pada saat saudara-saudara dan keluarganya sangat membutuhkan terutama keluarga para tawanan dan syuhada. Ia tidak mendermakan kelebihan hartanya dan membagikannya kepada saudara-saudaranya yang membutuhkan. Juga tidak meninggalkan apapun bagi mereka untuk hanya sekadar bertahan hidup. Malah justru menggunakan berbagai tipu muslihat demi mendapatkan harta yang sangat dibutuhkan saudara-saudaranya tersebut. Semua itu karena pengaruh lemahnya keyakinan dan ia ingin meninggalkan rezeki untuk keluarganya sepeninggalnya agar mereka tidak mengalami tragedi sebagaimana yang ia temui pada selain mereka. Celakalah jiwa yang rendah!

Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma berkata, “Suatu kali saya keluar bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Sampai ketika tiba di beberapa tembok kaum Anshar, beliau memunguti kurma dan memakannya. Beliau berkata kepadaku, “Wahai Ibnu Umar kenapa kamu tidak ikut makan?” Saya, “Wahai Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam saya tidak berminat makan.” Beliau, “Tapi saya berminat memakannya. Pagi ini adalah hari yang keempat saya tidak menemukan dan makan makanan apapun. Seandainya saya mau saya tentu sudah berdoa kepada Rabbku sehingga Dia akan memberiku semisal apa yang diberikan kepada Raja Kisra dan Qaishar. Bagaimana denganmu jika kamu menetap di suatu kaum yang mereka menyembunyikan rezeki mereka selama setahun dan keyakinan mereka lemah.”

KETIGA, mengenai sebab terjadinya perang –meskipun pembahasan ini saya sengaja akhirkan-. Yaitu perkataan Jabir ra, “Kita akan mengejar kafilah dagang (al-‘iir) Quraisy.” Al-‘Iir adalah rombongan unta yang membawa makanan dan lainnya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Saya diberi lima hal dimana orang-orang sebelumku tidak pernah diberi semacam itu: saya ditolong dengan ketakutan (yang dihembuskan kepada musuhku) sejarak perjalanan satu bulan, bumi dijadikan sebagai masjid dan alat bersuci, dimanapun umatku menjumpai waktu shalat maka shalatlah, dan harta ghanimah dihalalkan untukku namun tidak dihalalkan kepada seorang pun sebelumku.” As-Sa’diy rahimahullah berkata, “Hal itu disebabkan karena kemuliaan beliau di mata Rabbnya dan karena kemuliaan umatnya, keutamaan dan kesempurnaan keikhlasan mereka maka Allah menghalalkan harta ghanimah untuk mereka dan tidak mengurangi pahala jihad mereka sedikitpun.”

Siapa saja yang mencermati peperangan dan pertempuran Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sebelum perang Badar akan terheran-heran bahwa semua peperangan dan pertempuran sebelum perang Badar dalam rangka mengejar kafilah dagang. Harta ghanimah berasal dari harta orang-orang kafir. Ia merupakan pendapatan termulia dan paling baik secara mutlak. Allah menjadikannya sebagai sumber makanan pokok Nabi kita dan keluarganya. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Saya diutus menjelang hari kiamat dengan pedang sampai hanya Allah semata yang disembah, tiada sekutu bagi-Nya. Rezekiku terdapat di bawah bayangan tombakku. Orang yang menyelisihi perintahku akan ditimpa kehinaan dan kerendahan.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah dan Imam Bukhari rahimahullah menyebutkannya sebagai penguat.

Allah mengharamkan harta sedekah kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam karena ia adalah makanan orang-orang lemah dan miskin. Ia ibarat kotoran manusia. Kedudukan beliau sebagai Nabi mengharuskan sumber pendapatan dan makanan pokok keluarganya berasal dari profesi orang-orang yang punya tekad kuat dan orang-orang kuat, para penyandang pedang dan senjata, berupa harta fai dan ghanimah. Allah Ta’ala berfirman,

{مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ }
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan.” [QS. Al-Hasyr (59): 7].

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bukan seorang petani, tukang besi dan bukan pula tukang kayu. Namun Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah seorang mujahid di jalan Allah. Beliau makan dari hasil pedangnya. Beliau bersabda, “Rezekiku dijadikan di bawah bayangan tombakku.” Dalam Fathul Bari, Al-Hafizh berkata, “Hadits ini menunjukkan keutamaan tombak, halalnya harta ghanimah bagi umat ini dan rezeki Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ada dalam ghanimah bukan pada mata pencaharian selainnya. Oleh karena itu sebagian ulama mengatakan, harta ghanimah adalah rezeki yang paling utama.”

Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Sebab-sebab yang tempat mencari rezeki ada 6 macam: yang paling tinggi nilainya adalah profesi Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam; beliau bersabda, “Rezekiku terdapat di bawah bayangan tombakku. Orang yang menyelisihi perintahku akan ditimpa kehinaan dan kerendahan.” Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan ia men-shahihkannya. Allah menjadikan rezeki Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam ada dalam profesi beliau karena keutamaannya dan menjadikan profesi tersebut sebagai profesi paling utama.”

Allah Tabaroka wa Ta’ala menganjurkan para hamba-Nya kaum mukminin mujahidin untuk mencari rezeki dari harta ghanimah karena ia rezeki yang palin halal. Allah Ta’ala berfirman,

{ فَكُلُوا مِمَّا غَنِمْتُمْ حَلاَلاً طَيِّباً وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ }
“Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS. Al-Anfal (8): 69].

{وَعَدَكُمُ اللَّهُ مَغَانِمَ كَثِيرَةً تَأْخُذُونَهَا}
“Allah menjanjikan kepada kamu harta rampasan yang banyak yang dapat kamu ambil.” [QS. Al-Fath (48): 20].

{وَأَوْرَثَكُمْ أَرْضَهُمْ وَدِيَارَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ وَأَرْضًا لَمْ تَطَئُوهَا وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيراً}
“Dan Dia mewariskan kepada kamu tanah-tanah, rumah-rumah dan harta benda mereka, dan (begitu pula) tanah yang belum kamu injak. Dan adalah Allah Maha Kuasa terhadap segala sesuatu.” [QS. Al-Ahzab (33): 27].

Karena itu beliau shallallahu 'alaihi wa sallam berangkat sendiri mengejar rombongan dagang –yakni untuk mendapatkan ghanimah-. Ikut bersama beliau para sahabat senior baik yang kaya maupun yang miskin. Tidak ada yang lebih jelas menunjukkan agungnya pekerjaan ini –yakni memburu harta orang-orang kafir- selain ketika Allah menjadikan para sahabat yang ikut perang Badar sebagai orang Islam yang palin banyak pahalanya. Pada asalnya mereka pergi untuk memburu kafilah dagang orang-orang musyrik. Allah Ta’ala berfirman,

{وَتَوَدُّونَ أَنَّ غَيْرَ ذَاتِ الشَّوْكَةِ تَكُونُ لَكُمْ }
“Sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekekuatan senjatalah yang untukmu.” [QS. Al-Anfal (8): 7].

Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda berkaitan dengan kafilah dagang Abu Sufyan, sebagaimana tercantum dalam Shahih Muslim, “Sesungguhnya kita punya buruan. Barang siapa yang punya hewan tunggangan maka naikilah dan ikutlah bersama kami.” Ka’b bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mencela satupun sahabat yang absen dari perang Badar karena pada asalnya perang itu hanya mau mengincar kafilah dagang Quraisy. Quraisy pun berangkat meminta pertolongan bagi kafilah dagang mereka. Mereka bertemu bukan pada waktu yang diprediksikan, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla. Demi Allah, sesungguhnya perang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam paling mulia menurut manusia adalah perang Badar.”

Apakah setelah itu seorang mujahid muwahhid akan mengatakan bahwa ia tidak ingin terbunuh di saat berusaha mendapatkan harta ghanimah, setelah tahu bahwa Nabinya dan para sahabat senior, dahulu, juga menginginkan itu; dan orang-orang munafik sangat antusias untuk mendapatkan harta ghanimah tanpa melalui perang?

Allah Ta’ala berfirman,
{سَيَقُولُ الْمُخَلَّفُونَ إِذَا انطَلَقْتُمْ إِلَى مَغَانِمَ لِتَأْخُذُوهَا ذَرُونَا نَتَّبِعْكُمْ }
“Orang-orang Badwi yang tertinggal itu akan berkata apabila kamu berangkat untuk mengambil barang rampasan: "Biarkanlah kami, niscaya kami mengikuti kamu".” [QS. Al-Fath (48): 15].

As-Sa’diy rahimahullah berkata, “Ketika menyebutkan orang-orang yang absen perang dan mencela mereka, Allah Ta’ala menyebutkan bahwa sangsi di dunia buat mereka adalah ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat bertolak untuk mendapatkan harta ghanimah tanpa melalui perang mereka meminta kepada beliau untuk ikut.” Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Allah menjamin bagi siapa saja yang berjihad di jalan Allah dimana ia tidak berangkat kecuali memang hanya untuk berjihad di jalan-Nya dan membenarkan kalimat (hukum)-Nya, Dia menjamin akan memasukannya ke surga atau memulangkannya ke tempat tinggalnya dengan mendapat pahala atau harta ghanimah.” [15]

Dalam Shahih Bukhari dan Muslim, beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Kebaikan (pahala jihad dan harta ghanimah) terikat di ubun-ubun kuda sampai hari kiamat.” Pahala dan ghanimah sebagai badal (pengganti) kebaikan; yang maksudnya adalah pahala jihad di akhirat dan harta ghanimah di dunia. Wahai mujahid, bersegeralah menuju pekerjaan terbaik (berjihad).

Al-Khaththabi rahimahullah berkata, “Harta yang didapat dengan kuda -maksudnya dengan berjihad- termasuk harta yang terbaik dan terbagus." Al-Kirmaniy berkata, "Makna hadits ini adalah bahwa seorang mujahid kemungkinan pertama ia akan mati syahid, kemungkinan kedua ia akan mendapatkan pahala atau ghanimah, dan kemungkinan ketiga bisa mendapatkan dua-duanya."

Faidah penting lainnya dari sisi militer, perlu engkau ketahui, bahwa pasukan mulai berangkat memburu harta orang-orang musyrik dan memotong jalur-jalur bantuannya. Hal itu bertujuan melemahkan kekuatan mereka dan mengepung pangkalan militer mereka.

Tidak mungkin bagi kekuatan manapun bisa mengamankan semua keperluan pasukannya melaui udara, meskipun AS memiliki armada udara yang besar dan memiliki pesawat-pesawat raksasa. Hanya saja mereka masih bersandar kepada jalur-jalur darat 70 % yang ia perlukan.

Allah Ta’ala telah memerintahkan kita mengepung pangkalan-pangkalan orang-orang kafir dan mendorong kita untuk memasang ranjau-ranjau sebagai cara terbaik untuk memutus jalur-jalur bantuan untuk mereka. Dia berfirman,

{ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ }
“Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian.” [QS. At-Taubah (9): 5].

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Janganlah kalian puas dengan sekadar menjumpai mereka tetapi burulah mereka dengan mengepung benteng-benteng pertahanan mereka dan intailah di jalan-jalan dan gang-gang mereka sampai mereka merasakan dunia yang luas ini terasa sempit.”

Allah Ta’ala berfirman,
{وَلا تَهِنُوا فِي ابْتِغَاءِ الْقَوْمِ }
“Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu).” [QS. An-Nisa (4): 104].

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Janganlah kalian merasa lemah dalam mengejar musuh kalian, tapi seriuslah dan sungguh-sungguhlah dalam mengejar mereka. Dan perangilah mereka serta intailah ditempat pengintaian.”

Wahai para mujahidin muwahhidin, jadikanlah Abu Bashir sebagai suri tauladan yang baik bagi kalian. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengembalikannya kepada orang-orang musyrik demi menepati perjanjian yang sudah disepakati antara beliau dengan orang-orang musyrik.

Meskipun demikian kekuatannya tidak melemah dan juga tidak putus asa atas kepemimpinan beliau. Bahkan ia berpikir bagaimana agar ia bisa keluar dari fitnah perjanjian itu. Ia tidak menunggu-nunggu sampai kesempatan itu hilang meskipun perjalanan yang panjang menghadang dan perbekalan yang serba terbatas. Ia membuat tipu daya hingga bisa membunuh salah seorang yang membawanya dengan gembira. Ia datang untuk kedua kalinya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Beliau memandangnya seraya bersabda, “Ia akan menyulut peperangan seandainya ada orang lain bergabung bersamanya, atau ada beberapa orang bergabung bersamanya.” Beliau memuji dan menyifatinya sebagai pemberani dalam perang dan ia termasuk tokohnya.

Sebagaimana perkataan Al-Khaththabi rahimahullah, “Ia memberikan kesempatan kepada orang-orang mustadha’fin (tertindas) yang pinya tekad kuat semacamnya untuk bergabung bersamanya. Ia pun pergi sendirian sebagai buronan dan orang yang terusir. Tidak punya teman dan tanah untuk menampung cita-cita orang-orang yang dengan mereka negara bisa tegak. Ia mulai membangun pangkalan militer jauh dari Madinah, di dekat pantai. Jumlah pasukannya bertambah sangat cepat.

Dalam Shahih Bukhari disebutkan, “Abu Jandal mengikuti jejak Abu Bashir sehingga ia bergabung dengannya. Setelah itu, setiap ada orang yang lari dari Quraisy pasti ia langsung bergabung dengan Abu Bashir sampai terkumpul sebuah kelompok. Demi Allah, setiap mereka mendengar rombongan dagang Quraisy lewat menuju Syam mereka selalu menghadangnya, membunuh mereka dan mengambil harta dagangan mereka. Quraisy mengirim utusan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam meminta atas nama Allah dan hubngan kekerabatan. Utusan itu mengatakan, “Siapa saja yang mendatangi beliau maka ia dijamin aman. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun mengirim utusan kepada mereka. Lalu Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya,

( وَهُوَ الَّذِي كَفَّ أَيْدِيَهُمْ عَنْكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ عَنْهُمْ بِبَطْنِ مَكَّةَ مِنْ بَعْدِ أَنْ أَظْفَرَكُمْ عَلَيْهِمْ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرًا (24) هُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَالْهَدْيَ مَعْكُوفًا أَنْ يَبْلُغَ مَحِلَّهُ وَلَوْلَا رِجَالٌ مُؤْمِنُونَ وَنِسَاءٌ مُؤْمِنَاتٌ لَمْ تَعْلَمُوهُمْ أَنْ تَطَئُوهُمْ فَتُصِيبَكُمْ مِنْهُمْ مَعَرَّةٌ بِغَيْرِ عِلْمٍ لِيُدْخِلَ اللَّهُ فِي رَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ لَوْ تَزَيَّلُوا لَعَذَّبْنَا الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا (25) إِذْ جَعَلَ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي قُلُوبِهِمُ الْحَمِيَّةَ حَمِيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ)
“Dan Dia-lah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) kamu dan (menahan) tangan kamu dari (membinasakan) mereka di tengah kota Mekah sesudah Allah memenangkan kamu atas mereka, dan adalah Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. Merekalah orang-orang yang kafir yang menghalangi kamu dari (masuk) Masjidil Haram dan menghalangi hewan korban sampai ke tempat (penyembelihan)nya. Dan kalau tidaklah karena laki-laki yang mukmin dan perempuan-perempuan yang mukmin yang tiada kamu ketahui, bahwa kamu akan membunuh mereka yang menyebabkan kamu ditimpa kesusahan tanpa pengetahuanmu (tentulah Allah tidak akan menahan tanganmu dari membinasakan mereka). Supaya Allah memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Sekiranya mereka tidak bercampur-baur, tentulah Kami akan mengazab orang-orang yag kafir di antara mereka dengan azab yang pedih. Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah.” [QS. Al-Fath (48): 24-26].

Perhatikanlah, bagaimana sekelompok orang-orang yang punya tekad kuat dan cita-cita tinggi bisa menghancurkan kesombongan Quraisy. Sekelompok orang tersebut bisa membuat Quraisy mencari wasiulah dalam mengembalikan syarat yang dikira olehnya dan oleh kaum Muslimin sebagai bentuk kehinaan dan kenistaan dalam dien. Cukup bagi engkau mengetahui akhir sang Singa pantai; kisahnya yang membuat bahagia sekaligus menangis.

Dalam Fathul Bari, Al-Hafizh mengatakan, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menulis kepada Abu Bashir. Ketika surat beliau sampai Abu Bashir pas meninggal dunia. Ketika meninggal surat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ada di tangannya. Ia dikubur oleh Abu Jandal yang kemudian menggantikan posisinya.”

Faidah penting lainnya, terutama bagi kita di Daulah Islamiyah yang baru tumbuh berkembang, hendaknya engkau ketahui wahai mujahid bahwa ia adalah sumber pendanaan pasukan yang paling penting. Daulah Islamiyah manapun yang baru tumbuh sepenjang sejarah pasti mayoritas perbendaharaan harta yang dimiliki berasal dari ghanimah dan fai. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Harta negara yang asalnya ada dalam Kitab dan Sunnah ada tiga jenis: ghanimah, shadaqah (zakat) dan fai.”

Wahai wali Allah, berharaplah pahala kepada Allah. Jadikan selalu dalam benakmu bahwa engkau akan mendapat ghanimah dari orang-orang kafir dan murtad untuk memberi makan para tawanan dan syuhada. Ghanimah untuk mendanai mujahid lain yang tidak bisa mendapatkan ghanimah. Ghanimah untuk membeli senjata untuk berperang di jalan Allah. Jangan sekali-sekali engkau pergi berjihad semata-mata untuk mendapatkan ghanimah. Ikhlaskanlah niat dan jagalah keikhlasan niat.

---------------
foot note:

[12] Pembahasan ini sebagai bantahan kepada orang yang mengingkari ikhwan kita para mujahidin mengenai deklarasi Daulah Islam Iraq dengan mengatakan bahwa daulah wajib memenuhi kebutuhan makanan, minuman, pengajaran, dan kedokteran. Mereka menganggap semua kebutuhan tersebut merupakan pilar-pilar Daulah Islam Iraq dimana tanpa pilar-pilar tersebut maka Daulah Islam Iraq tidak layak berdiri.
Kondisi kaum muslimin pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam serupa dengan kondisi kaum muslimin pada sekarang ini di Daulah Islam Iraq. Bahkan di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kondisinya lebih memprihatinkan lagi. Namun bermodalkan tekad, keteguhan dan keyakinan akan datangnya jalan keluar dari Allah akhirnya pertolongan dan jalan keluar pun datang dari Allah

[13] HR. Bukhari dan lainnya. Lanjutan teks hadits selengkapnya adalah: "Saya pun mendatangi dan mengajak mereka. Mereka pun datang lantas minta izin masuk. Rasulullah pun mengizinkan mereka masuk. Satu per satu mereka menempati posisi duduk di rumah beliau. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Wahai Abu Hirr." Saya menyahut, "Ada apa wahai Rasulullah?" Beliau, "Ambillah ini berikan kepada mereka." Saya pun mengambil segelas susu dari beliau. Saya berikan kepada seorang dari mereka. Ia meminumnya sampai hilang dahaganya. Ia mengembalikan gelas tadi kepadaku. Aku memberikan lagi kepada yang lainnya. Ia minum sampai hilang dahaganya. Kemudian mengembalikannya kepadaku lagi. Sampai ketika gilirannya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mereka semua telah terpenuhi dahaganya. Beliau pun mengambil gelas tersebut dan melihat ke arahku sambil tersenyum. Lalu beliau bersabda, "Wahai Abu Hirr." Saya menyahut, "Ada apa wahai Rasulullah?" Gilirannya tinggal saya dan kamu. "Engkau benar wahai Rasulullah" jawabku. Beliau bersabda, "Duduk dan minumlah." "Saya pun duduk dan minum." Terus saja beliau berkata, "Minumlah." Sampai saya berkata, "Tidak. Demi Dzat yang mengutus enkau dengan kebenaran, saya sudah kenyang." "Kalau begitu bawa ke sini sisanya." "Saya pun memberikannya gelas yang berisi sisa susu kepada beliau." Beliau memuji Allah, membaca basmalah dan meminum susu yang tersisa."

[14] Beginilah kondisi Rasulullah. Apakah kondisi sebagian pemimpin jihad di masa kini tercela jika mereka adalah orang-orang yang faqir. Tidak mungkin mereka tercela karena kondisi mereka yang faqir tersebut.

[15] Dalam kitab Fathul Bari Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, "yaitu hanya mendapat pahala jika tidak mendapatkan ghanimah sama sekali atau mendapat ghanimah serta pahala. Seakan-akan ia tidak berkomentar tentang pahala kedua yang didapat bersama ghanimah karena pahalanya berkurang ketika bersamaan mendapatkan ghanimah; hal ini bila dibandingkan dengan pahala yang didapat tanpa ghanimah. Penakwilan (penafsiran) ini disebabkan karena teks hadits menyebutkan apabila seorang mujahid sudah mendapatkan ghanimah maka ia tidak mendapat pahala. Padahal maksudnya bukan seperti itu. Tetapi maksudnya adalah pahala mujahid yang mendapat ghanimah lebih sedikir dibanding pahala mujahid yang tidak mendapat ghanimah. Karena konsekuensi dari kaidah yang berlaku adalah ketika seorang mujahid tidak mendapatkan ghanimah maka pahalanya lebih utama dan sempurna dibandingkan ketika ia mendapatkan ghanimah. Karena hadits tersebut jelas menunjukkan nafyul hirman (seorang mujahid pasti mendapat pahala) bukan nafyul jam' (seorang mujahid tidak akan mendapat pahala dan ghanimah).

BERSAMBUNG..............


Bagian 3 bisa di baca di link dibawah ini :
https://m.facebook.com/photo.php?fbid=422781461148486
http://www.facebook.com/photo.php?fbid=422781461148486

Bagian Akhir bisa di baca di link dibawah ini :
https://m.facebook.com/photo.php?fbid=423269621099670
http://www.facebook.com/photo.php?fbid=423269621099670

No comments:

Post a Comment