Malam itu dimusim panas bulan bersinar dengan terangnya. Seorang mujahid berusia 60 tahunan memasuki kota Madinah. Dia menyusuri jalan-jalan dengan naik kuda. Dia tidak tahu apakah rumahnya masih seperti dulu atau sudah berubah setelah sekitar 30 tahun ia meninggalkannya.
Rasa rindu teramat dalam akan istrinya menghiasi fikirannya. Ia juga ingin tahu bagaimana nasib anak yang dikandung isterinya saat ia tinggalkan 30 tahun yang lalu, apakah anaknya lahir dengan selamat ?... laki-lakikah atau perempuan ?. Ia membayangkan bahwa kini anaknya sudah dewasa dan menyambut kedatangannya.
Dialah Farukh yang hidup dizaman Tabi’ien, seorang mujahid dari ribuan mujahidin pasukan islam yang selalu hadir di medan jihad menjadikan nyawa sebagai taruhannya untuk berkibarnya bendera LAA ILAAHA ILLALLAH di muka bumi. Kali ini ia datang dari peperangan menaklukan Bukhara, Samarkand dan sekitarnya bersama pasukan kaum muslimin.
Dulu dia seorang budak milik seorang panglima pasukan muslimin, Ar-Rabi bin Ziyad. Ketika pasukan islam yang dipimpinnya mendapatkan kemenangan di Sijistan dan menyebrangi sungai Seihun, tuannya memberikan penghargaan besar kepada Farukh disebabkan pengorbanan yang luar biasa didalam peperangan yang diikutinya, penghargaan itu berupa kemerdekaanya dan juga sejumlah harta ghanimah rampasan perang yang amat banyak. Saat Ar-Rabi meninggal, Farukh kembali ke kota Rasulullah shollallahu alaihi wasallam dengan membawa kenangan indah selama di kancah-kancah pertempuran.
Nah, dengan bermodal harta ghanimah yang dia miliki saat itulah ia menikahi seorang wanita shalihah. Iapun membangun sebuah rumah sederhana untuk melewati hari-hari berumahtangganya. Tak lama berselang setelah pernikahannya, isterinya pun hamil, namun tak begitu lama waktu berlalu ia kembali tergerak untuk kembali bergabung dengan pasukan mujahidin berjihad fii Sabilillah sebagaimana kala mudanya. Saat itu khotib jumat menyerukan dan memompa semangat kaum muslimin untuk berjihad menaklukan wilayah-wilayah yang masih dicengkeram kekufuran dan kemusyrikan agar cahaya islam menyebar di seluruh pelosok bumi.
Semangat tempur dan sifat perwira Faruk tidak lagi bisa dibendung walaupun dia baru saja melewati masa-masa indah bersama isterinya. Tetapi isterinya tentulah seorang yang shalihah, ia mendukung tekad dan niat baik suaminya karena ia mengetahui bahwa kepergiannya adalah tugas suci di jalan ALLAH.
Berangkatlah Farukh. Ia meninggalkan sejumlah uang cukup banyak sebagai bekal untuk isterinya, 30.000 dinar, yang berarti senilai 127,5 kilogram emas…. Subhaanallah, angka yang fantastis.
Waktupun berlalu, tahun demi tahun terlewati sedang Farukh benar-benar mencintai ALLAH dan Rasul-Nya dengan berjihad dijalan-Nya. Wilayah demi wilayah ditaklukkan kaum muslimin sedang ia terus saja mengikuti pertempuran ini tanpa menyempatkan pulang ke Madinah rumahnya, selain bahwa amatlah jauh jarak yang harus ditempuhnya, yaitu daerah sekitar Samarkand (Uzbekistan sekarang).
Sementara isterinya menanti kedatangan suaminya tercinta dengan penuh harap dan cemas. Janin yang dikandungnya sudah dilahirkan dengan selamat, seorang anak laki-laki yang cakap dan sehat sedang Farukh belum kunjung datang. Tidak ada kabar yang jelas tentang nasib suaminya, ada yang menyebutkan dia sudah gugur sebagai syahid, kabar lain bahwa suaminya masih hidup. Namun isterinya amatlah setia dan seorang penyabar, ia membesarkan dan mendidik anaknya dengan sebaik-baiknya.
Disekeliling Madinah saat itu tersebar para Ulama dan masjid-masjid semarak dengan kajian-kajian ilmu. Syariat islam tegak dimana-mana, kedamaian dan keadilan islam terwujud serta keamanan benar-benar dirasakan. Isterinya Farukh menitipkan pendidikan anaknya diantara para Ulama itu dan bahkan uang yang diberikan suaminya ia habiskan untuk membiayai pendidikannya. Ia seorang yang dermawan yang memberikan hadiah kepada para guru anaknya, demikian pula anaknya seorang yang murah hati.
Farukh terus berlalu sambil memandang kanan kirinya, masih banyak orang hilir-mudiki diperkampungan Madinah mengingat baru saja usai shalat ‘isya, tetapi orang-orang itu tidak ada yang mengenalinya, tak ada yang menghiraukan kedatangannya, tak ada yang aneh dengan penampilannya yang berkuda dan pedang yang tersandang di pundaknya sebab mereka yang tinggal dikota islam yang taka sing lagi lg melihat mujahidin yang pulang pergi untuk berperang fii sabilillah.
Ketika dia disibukkan dengan rasa was-was dan harap cemas itu, tiba-tiba ia dapatkan dirinya telah berada di depan rumahnya. Dia pula melihat pintunya sedikit terbuka, maka kegembiraanpun meluap yang menyebabkan ia lupa meminta ijin kepada orang yang berada didalam rumahnya, ia pun masuk.
Si empunya rumah yang mendengar suara pintu terbuka menengok dari lantari atas rumahnya. Maka dalam cahaya bulan dilihatnya ada seorang yang menyandang pedang dan membawa tombak, malam-malam memasuki kediamannya.
Laki-laki yang menghuni rumah itupun meloncat dengan marah dan turun sambil membentak :”Engkau berani memasuki rumah dan menodai kehormatanku malam-malam wahai musuh ALLAH ?!”.
Dia menerkam bagaikan Farukh bagaikan singa yang mengamuk ketika sarangnya hendak dirusak. Tak ada kesempatan lagi untuk bicara. Keduanya bergumul, saling menerkam dan membanting, saling tuduh dan makin lama makin panas. Para tetangga dan orang-orang di jalanan mengerumuni dua orang laki-laki yang sedang berkelahi itu, mereka hendak mengeroyok orang asing itu untuk membela tetangganya.
Beberapa jurus kemudian, laki-laki yang dirumah itu mencengkram kuat-kuat leher lawannya seraya berkata, “Wahai musuh ALLAH, Demi ALLAH aku tak akan melepaskanmu kecuali di muka hakim !”.
Orang asing itu berkata, “Aku bukan musuh ALLAH dan bukan penjahat. Tapi ini rumahku, milikku, kudapati pintunya terbuka lalu aku masuk”. Lalu dia menoleh kepada orang-orang sembari berkata, “Wahai saudara-saudara, dengarkan keteranganku, rumah ini milikku, kubeli dengan uangku, Wahai kaum, aku adalah Farukh, tiadakah seorang tetangga yang masih mengeanli Farrukh yang 30 tahun lalu pergi berjihad fii sabilillah ?”.
Bersamaan dengan itu, ibu si empunya rumah yang sedang tidur terjaga oleh keributan yang terjadi, lalu ia menengok dari jendela atas dan melihat suaminya sedang bergulat dengan darah dagingnya. Lidahknya nyaris kelu melihat pemandangan ini, namun dengan sekuat tenaga dia berseru, “Lepaskan…. Lepaskan dia,… Rabi’ah … lepaskan dia, putraku,… dia adalah ayahmu .. dia ayahmu”…. “Saudara-saudara, tinggalkanlah mereka, semoga ALLAH memberkahi kalian,…. tenanglah, Abu Abdurrahman, dia putramu… dia putramu… jantung hatimu !”.
Demi mendengar teriakan itu, seketika Farrukh memeluk dan menciumi putranya. Begitu pula dengan Ar-Rabi’ah, ia mencium tangan ayahnya, rasa bahagia dan haru menyelimuti mereka, orang-orang pun bubar meninggalkan keduanya.
Ummu ar-Rabi’ah turun untuk menyambut suaminya dan memberi salam. Ia tak mengira bisa bertemu lagi suaminya setelah hampir 1/3 abad terputus kabar beritanya.
Begitulah awal perjumpaan kembali seorang suami dengan isteri dan anaknya, keluarga mujahid yang shalih setelah perpisahan yang sekian lama.
Suatu kali Farrukh duduk bersama isterinya, bercerita asyik tentang keadaannya dan sebab musabab terputusnya berita darinya. Namun isterinya tak bisa menikmati ceritanya karena tiba-tiba muncul perkara yang menggelayuti pikirannya. Kebahagiaan berkumpul dengan suaminya dibayangi kekhawatiran masalah uang titipan suaminya yang telah ludes. Dalam hatinya bergumam, “Apakah yang harus aku katakan bila suamiku menanyakan uang yang diamanatkan kepadaku agar kumanfaatkan dengan baik, bagaimana kiranya sikap suamiku bila aku katakan bahwa uang itu habis untuk biaya pendidikan putranya sampai menghabiskan 30 ribu dinar ?”... Bisakah suaminya percaya bahwa tangan putranya lebih pemurah dari awan yang mencurahkan hujannya ?... sementara dia tidak bisa menyisakan satu dirhampun?... Seluruh penduduk Madinah tahu bahwa dia sangat pemurah dalam memberikan bayaran kepada guru-guru putranya.
Selagi pikirannya terbang menjauh, tiba-tiba suaminya menoleh kepadanya dan berkata, “Aku membawa uang 4000 dinar. Ambillah uang yang aku titipkan kepadamu dahulu. Kita kumpulkan lalu kita belikan kebun atau rumah. Kita bisa hidup dari hasil sewanya selama usia kita”.
Ummu Rabi’ah pura-pura sibuk dan tidak menjawabnya, suaminya mengulangi pertanyaannya, “Lekaslah, mana uang itu ? bawalah kemari agar bisa disatukan dengan hasil yang kubawa”.
Dia berkata, “Aku letakkan uang tersebut di tempat yang semestinya dan akan kuambil beberapa hari lagi insyaALLAH”.
Pembicaraan antara keduanya terputus lantaran terdengar suara adzan. Farrukh bergegas mengambil air wudlu lalu menuju ke pintu sambil bertanya, “Mana ar-Rabi’ah ?”.
Istrinya menjawab, “Dia sudah lebih dahulu berangkat ke masjid. Saya kira engkau akan tertinggal shalat berjama’ah”.
Sampailah Farrukh di masjid, ia mendapati imam sudah menyelesaikan shalatnya. Diapun segera shalat, kemudian menuju makam Rasulullah shollallahu alaihi wasallam dan mengucapkan shalawat kepadanya. Setelah itu mengambil tempat di Raudhah Muthahharah (tempat antara makam Nabi dengan mimbarnya). Betapa rindunya ia untuk shalat. Maka ia memilih tempat untuk shalat sunnah kemudian berdo’a sekehendaknya.
Ketika ia berhasrat untuk pulang, dilihatnya ruangan masjid padat dengan orang yang hendak belajar, pemandangan yang belum pernah ia saksikan sebelumnya. Mereka duduk melingkari syaikh majelis ilmu tersebut sampai tak ada lagi tempat kosong untuk berjalan. Dia mengamati, ternyata yang hadir itu ada yang telah lanjut usia, orang-orang yang terlihat berwibawa. Nampak sebagai orang terhormat, juga para pemuda. Mereka semua duduk menghamparkan lututnya, masing-masing memegang buku dan pena untuk mencatat semua uraian syaikh itu, kemudian dihafalkan. Semua mengarahkan pandangan kepada syaikh majelis. Dengan tekun mereka mendengarkan dan mencatat hingga seolah-olah kepala mereka seperti burung yang bertengger. Para muballigh mengulangi kata demi kata dari syaikh itu agar tidak ada seorangpun yang keliru mendengarnya mengingat jaraknya yang cukup jauh.
Farrukh berusaha melihat wajah syaikh yang luar biasa itu tetapi nihil, karena orang-orang terlalu padat dan jaraknya yang cukup jauh. Dia kagum dengan segala perkataan syaikh itu, juga pada ingatannya yang tajam dan ilmunya yang luas, juga antusias hadirin yang untuk mendengarkannya.
Beberapa waktu kemudian majelis itupun usai. Syaikh berdiri dari tempatnya seementara orang-orang langsung berkerumun dan mengiringkannya hingga keluar masjid.
Farrukh yang belum beranjak dari tempatnya bertanya kepada fulan yang disebelahnya :
Farrukh : “Siapakah syaikh yang baru saja berceramah ?”
Fulan : “Apakah anda bukan penduduk Madinah ?”
Farrukh ; “Saya penduduk sini”.
Fulan : “Masih adakah di Madinah ini orang yang tak mengenal syaikh yang memberikan ceramah itu?”
Farrukh :”Maaf, saya benar-benar tidak tahu karena sudah sejak 30 tahun lalu saya meninggalkan kota ini dan baru kemarin saya kembali”.
Fulan :”Tidak apa, duduklah sejenak, akan saya jelaskan. Syaikh yang anda dengarkan ceramahnya tadi adalah seorang tokoh Tabi’ien, termasuk diantara ulama yang terpandang, dialah ahli hadits di Madinah, Fuqoha dan imam kami meski usianya masih sangat muda”.
Farrukh :”Masya ALLAH… LAA QUWWATA ILLAA BILLAAH”.
Fulan : “Majelisnya dihadiri oleh Malik bin Anas, Abu Hanifah an-Nu’man, Yahya bin Sa’id al-ANshari, Sufyan ats-Tsauri, Abdurrahman bin Amru al-Auza’I, Laits bin Sa’id dan lain-lain”.
Farrukh : “ Tetapi anda belum……. “.
Orang tersebut tidak memberinya kesempatan untuk bicara. Dia melanjutkan pujiannya.
Fulan ;”Disamping itu dia sangat dermawan dan bijaksana. Tidak ada di Madinah ini orang yang lebih dermawan terhadap kawan dan keluarga darinya. Dia hanya mengharapkan apa yang ada disisi ALLAH”.
Farrukh : “Tetapi anda belum menyebutkan namanya”.
Fulan : “ Namanya adalah ar-Robi’ah ar-Ra’yi”.
Farrukh ; “Ar-Rabi’ah ar-Ra’yi ?”.
Fulan : “Nama aslinya ar-Rabi’ah, tetapi para ulama dan pemuka Madinah biasa memanggil ar-Rabi’ah ar-Ra’yi. Karena setiap kali mereka menjumpai kesulitan atau merasa tidak jelas tentang suatu nash dalam Kitabullah dan hadits, mereka selalu bertanya kepadanya. Kemudian ia berijtihad dalam masalah itu, menyebutkan qiyas apabila tidak ada nash sama sekali, serta menyimpulkan hukum bagi mereka yang memerlukannya secara bijak dan menentramkan hati”.
Farrukh : “ Anda belum menyebutkan nasabnya”.
Fulan : “Dia adalah ar-Rabi’ah putra Farrukh yang memiliki kunyah Abu Abdurrahman. Dilahirkan tak lama setelah ayahnya meninggalkan Madinah sebagai mujahid fii sabilillah, lalu ibunyalah yang memelihara dan mendidiknya. Tapi sebelum shalat tidak saya mendengar dari orang-orang bahwa ayahnya telah datang kemarin malam.
Tiba-tiba saja melelehlah air mata Farrukh tanpa lawan bicaranya tahu penyebabnya. Kemudian ia mempercepat langkahnya untuk pulang.
Begitu melihat suaminya datang sambil meneteteskan airmata, ibunda ar-Rabi’ah bertanya, “Ada apa wahai Abu Abdurrahman ?”. Ia menjawab, “Tidak apa-apa, aku melihat putraku berada dalam kedudukan ilmu dan kehormatan yang tinggi, yang tidak kulihat pada orang lain”.
Kesempatan tersebut dipergunakan oleh Ummu ar-Rabi’ah untuk menjelaskan tentang harta amanat suaminya yang ditanyakan sebelumnya. Dia berkata, “Menurut anda, manakah yang lebih anda sukai, uang 30.000 dinar atau ilmu dan kehormatan yang telah dicapai putramu ?”.
Farrukh berkata,”Demi ALLAH, bahkan ini lebih aku sukai daripada dunia dan seisinya”.
Ummu Ar-Rabi’ah berkata, “Ketahuilah wahai suamiku, aku telah menghabiskan semua harta amanatmu itu untuk membiayai pendidikan putra kita. Ridhakah anda dengan apa yang telah aku perbuat ?”.
Farruk berkata, “Ya, semoga ALLAH membalas jasamu atasku, anak kita dan juga kaum muslimin dengan balasan yang baik”.
……….........
Subhaanallah, itulah berkah jihad Farrukh rahimahullah. Jihadnya fii sabilillah untuk meninggikan kalimat ALLAH telah menjadikannya mendapatkan karunia yang luar biasa, seorang isteri yang shalihah yang setia dan tetap dalam ketaqwaannya selama ditinggal suaminya 30 tahun. Ia memberikan kepada anaknya pendidikan yang baik tanpa kehadiran suami disampingnya.
Juga Ar-Rabi’ah Rahimahullah , seorang anak yang shalih yang luar biasa dengan ilmu yang ALLAH karuniakan kepadanya yang telah menghantarkannya menjadi guru dari para ulama-ulama terkemuka seperti imam Malik, imam Abu Hanifah, imam al-Auza’i, imam Sufyan ats-Tsauri dan lain-lain, sungguh kedudukan yang sangat terhormat yang Farrukh sendiri tidak pernah membayangkannya.
Dan tentunya selain dari itu semua, bahwa bi’ah (baca : lingkungan) yang baik dan berkwalitas sangat mendukung untuk menjadikan penduduknya menjadi orang-orang bertaqwa yang berkwalitas. Disebut lingkungan yang baik, karena saat itu Syariat islam ditegakkan dan tatanan masyarakat diatur oleh islam secara menyeluruh, sehingga cahaya islam dan syi’ar-syiarnya benar-benar menjadi denyut dalam kehidupan bermasyarakat dengan segala kedamaian dan kemuliannya. Inilah yang hari ini tidak dimiliki oleh ummat ini, karena ummat zaman ini telah kehilangan khilafah islam, tatatan islam tidak diberlakukan oleh para penguasa lalu diganti oleh tatanan system kufur yang mempola masyarakatnya semakin jauh dari islam dengan aqidah yang rusak dan akhlak yang bejat….
Dan kewajiban kitalah untuk mengembalikan kembali sistem islam yang kaffah dengan kembali menegakkan Daulah islam dan khilafah islam agar masyarakatnya hidup islami yang penuh kemuliaan dan kecemerlangan.
Wallahu a’am.
Sumber : Disarikan dari buku : Mereka Adalah Para Tabi’ien - Pustaka At-Tibyan, solo - DR.Abdurrahman Ra’fat Basya.
(KabarDuniaIslam/
No comments:
Post a Comment