Wednesday, April 10, 2013

Al Ibanah, Buku Putih Imam Al-Asy’ari




Oleh : Ummu Fauzi

Kata Pengantar

Al-Asy’ariyyah termasuk Ahlus-Sunnah wal Jama’ah ? Ini adalah sebuah polemik yang sempat mencuat di kalangan kaum Muslimin khususnya para penuntut ilmu. Sebagian orang mengira Al-Asy’ariyyah termasuk Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah. Saya sempat digugat karena menyatakan Al-Asy’ariyyah bukan termasuk Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah. Mereka tidak membedakan antara pernyataan Al-Asy’ariyyah termasuk Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah dengan pernyataan Abul Hasan Al-Asy’ari termasuk Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah. Pernyataan pertama jelas keliru, adapun yang kedua adalah benar. Sebab Al-Asy’ariyyah tidak identik dengan Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah. Sedang Abul Hasan Al-Asy’ari sendiri setelah beliau bertaubat dari paham Mu’tazilah dan Kullabiyah beliau menjadi seorang salafi tulen dan menjadi seorang pengikut aqidah Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah, aqidah Imam Ahmad bin Hambal seperti beliau tegaskan di awal buku Al-Ibaanah ini.

Seperti yang sudah dimaklumi bersama oleh para penuntut ilmu bahwa madzab Al-Asy’ariyyah yang berkembang sekarang ini pada hakikatnya adalah madzab Al-Kullabiyyah. Adapun Abul Hasan Al-Asy’ari sendiri telah bertaubat dari pemikiran lamanya, yaitu pemikiran Mu’tazilah. Tujuh sifat yang ditetapkan dalam madzab Al-Asy’ariyyah, yakni Al-Hayat, Al-Qudrah, Al-Ilmu, Al-Iraadah, As-Sama’, Al-Bashar dan Al-Kalam, inipun bukan berdasarkan nash dan dalil syar’i tapi berdasarkan kecocokannya dengan akal dan logika. Jadi, sangat jauh bertentangan dengan prinsip Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah yang sebenarnya. Mereka juga mengingkari sifat-sifat Khabariyah seperti wajah, dua tangan, dua mata, betis, kaki, wajah dan lain-lain.

Taubat Abul Hasan Al-Asy’ari dari pemikiran Mu’tazilah dan Kullabiyah bukanlah taubat sambal, tapi beliau buktikan dengan bantahan dan pernyataan tegas bahwa beliau mengingkari perkataan Mu’tazilah dan mengikuti aqidah Imam Ahmad, berikut penuturan beliau ;

“Pendapat yang kami nyatakan dan agama yang kami anut adalah berpegang teguh dengan Kitabullah Azza Wa Jalla dan Sunnah nabi-Nya saw dan atsar-atsar yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in dan para imam ahli hadits. Kami berpegang teguh dengan prinsip tersebut. Kami berpendapat dengan pendapat yang telah dinyatakan oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal, semoga Allah mengelokkan wajah beliau, mengangkat derajat beliau dan melimpahkan pahala bagi beliau dan kami menyelisihi perkataan yang menyelisihi perkataan beliau. Karena beliau adalah imam yang fadhil (utama), pemimpin yang kamil (sempurna). Melalui dirinya Allah menerangkan kebenaran dan mengangkat kesesatan, menegaskan manhaj dan memberantas bid’ah yang dilakukan kaum mubtadi’in dan penyimpangan yang dilakukan orang-orang sesat dan keraguan yang ditebarkan orang yang ragu-ragu.”

Demikianlah pernyataan beliau di akhir fase dari kehidupan beliau, semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada beliau.

Perlu kami jelaskan di sini bahwa Asy’ariyyah tidak identik dengan Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah. Bahwasanya madzhab dan aqidah Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah yang diyakini dan dibawa oleh Imam Abul Hasan Al-Asy’ari di fase akhir dari kehidupan beliau adalah aqidah Salaf Ahlul Hadits. Sampai-sampai ulama-ulama Asy-Syafi’iyyah menolak dinisbatkan kepada Asy’ariyyah.

Banyak sekali orang yang mengira bahwa madzhab Al –Asy’ariyyah identik dengan madzhab Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah. Ini sebuah kekeliruan fatal. Abu Hasan sendiri telah kembali ke pangkuan manhaj salaf dan mengikuti aqidah Imam Ahmad bin Hambal. Yaitu menetapkan seluruh sifat-sifat yang telah Allah tetapkan untuk diri-Nya dan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw dalam hadits-hadits shahih tanpa takwil, tanpa ta’thil, tanpa takyif dan tanpa tamtsil. Jelas, Abul Hasan di akhir hidupnya adalah seorang salafi pengikut manhaj salaf dan madzhab Imam ahli hadits. Berikut ini beberapa pernyataan para ulama ;

1.Pernyataan Imam Ahmad, Ali bin Al-Madini dan lainnya bahwa barangsiapa menyelami ilmu kalam tidak termasuk Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah meskipun perkataan mereka bersesuaian dengan As-Sunnah. Hingga ia meninggalkan jidal dan menerima nash-nash syar’iyyah. Tidak syak lagi, sumber pengambilan dalil yang sangat utama dalam madzab Asy’ariyyah adalah akal. Tokoh-tokoh Asy’ariyyah telah menegaskan hal itu. Mereka mendahulukan dalil aqli (logika) dari pada dalil naqli (wahyu) apabila terjadi pertentangan antara keduanya. Ketika Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah membantah mereka dalam buku beliau yang sangat langka berjudul Dar’u Ta’arudh Aql wan Naql, beliau membukanya dengan menyebutkan kaidah umum yang mereka pakai bilamana terjadi pertentangan antara dalil-dalil.

2.Ibnu Abdil Bar menukil perkataan ahli fiqh madzhab Maliki bernama Ibnu Khuweiz Mandaad dalam mensyarah perkataan Imam Malik ; “Tidak diterima persaksian ahli ahwaa’ (ahli bid’ah)”. Ia menjelaskan ; “Ahli ahwaa’ yang dimaksud oleh Imam Malik dan seluruh rekan-rekan kami adalah ahli kalam. Siapa saja yang termasuk ahli kalam maka ia tergolong ahli ahwaa’ wal bida’. Baik ia seorang pengikut madzhab Asy’ariyyah atau yang lainnya. Tidak diterima persaksiannya dalam Islam selama-lamanya, wajib diboikot dan diberi peringatan atas bid’ahnya. Jika ia masih mempertahankannya maka harus diminta bertobat.”

3.Abul Abbas Sureij yang dijuluki Asy-Syafi’i kedua berkata ; “Kami tidak mengikuti takwil Mu’tazilah, Asy’ariyah, Jahmiyah, Mulhid, Mujassimah, Musyabbihah, Karramiyah dan Mukayyifah. Namun kami menerima nash-nash sifat tanpa takwil dan kami mengimaninya tanpa tamtsil.”

4.Abul Hasan Al-Karji, salah seorang tokoh ulama Asy-Syafi’iyyah berkata ; “Para imam dan alim ulama Syafi’iyyah dari dulu sampai sekarang menolak dinisbatkan kepada Asy’ariyyah. Mereka justru berlepas diri dari madzhab yang dibangun oleh Abul Hasan Al-Asy’ari. Bahkan mereka melarang teman-teman mereka dan orang-orang dekat mereka dari menghadiri majelis-majelisnya menurut yang aku dengar dari beberapa syeikh dan imam. Sudah dimaklumi bersama kerasnya sikap syeikh terhadap ahli kalam sampai-sampai beliau memisahkan fiqh Asy-Syafi’i dari prinsip-prinsip Al-Asy’ari. Dan diberi komentar oleh Abu Bakar Ar-Raadziqaani, dan buku itu ada padaku. Sikap inilah yang diikuti oleh Abu Ishaq Asy-Syiiraazi dalam dua kitabnya, yakni Al-Luma’ dan At-Tabshirah. Sampai-sampai kalaulah sekiranya perkataan Al-Asy’ari bersesuaian dengan perkataan rekan-rekan kami (ulama madzhab Asy-Syafi’i) beliau membedakannya. Beliau berkata ; “Ini adalah pendapat sebagian rekan kami dan pendapat ini juga dipilih oleh Al-Asy’ariyah.”

Beliau tidak memasukkan mereka ke dalam golongan rekan-rekan Asy-Syafi’i. Mereka menolak disamakan dengan Al-Asy’ariyah dan menolak dinisbatkan kepada madzhab Al-Asy’ariyah dalam masalah fiqh, terlebih lagi dalam masalah ushuluddin.”

Kemudian sebagian orang berusaha mengingkari dan menolak penisbatan buku ini kepada Abul Hasan Al-Asy’ari . Ini merupakan lelucon yang menggelikan, sebab sama halnya seperti mengingkari matahari di siang bolong tanpa awan. Ada seorang jahil yang menyangkal dengan keras buku ini adalah tulisan Abul Hasan Al-Asy’ari dengan alasan buku ini adalah buatan “orang-orang wahabi”?! Buku ini cetakan Saudi ?! Buku ini ditulis di awal kehidupan beliau ?! Dan sejumlah alasan-alasan tak masuk akal lainnya. Di antaranya adalah yang disebutkan oleh Abul Qasim Abdul Malik bin Isa bin Darbas Asy-Syafi’i ibnu Darbas dalam kitab Adz-Dzabb ‘An Abil Hasan Al-Asy’ary berikut ini ;

“Wahai saudara-saudara sekalian ! Ketahuilah bahwa Al Ibaanah ‘An Ushulid Diyaanah adalah kitab yang ditulis oleh Al Imam Abul Hasan ‘Ali bin Isma’il Al-Asy’ary yang merupakan keyakinan beliau yang terakhir berkat karunia dan rahmat Allah, buku ini berisikan kepercayaan beliau dalam agama Allah swt setelah beliau bertaubat dari keyakinan Mu’tazilah. Semua buku yang dinisbatkan kepada beliau yang bertentangan dengan yang beliau tulis setelah beliau bertaubat maka beliau tidak bertanggung jawab di depan Allah. Sebab dengan tegas beliau menyatakan bahwa (buku) ini mengungkapkan kepercayaan beliau dalam agama Allah swt. Beliau meriwayatkan dan menetapkan bahwa buku tersebut berisi keyakinan para shahabat, tabi’in, imam-imam hadits yang terdahulu dan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal radhiyallahu ‘anhum ajma’in.

Isi buku ini dapat dibuktikan kebenarannya dari kitabullah dan sunnah Rasulullah saw. Lantas apakah boleh dikatakan bahwa beliau telah bertaubat dari Al-Qur’an dan As-Sunnah ? Lalu dari madzhab manakah beliau bertaubat ? Bukankah meninggalkan madzhab Al-Qur’an dan Sunnah Nabi bertentangan dengan ajaran yang dipegang oleh para shahabat, tabi’in dan para imam ahli hadits yang diridhai ? Berarti jelaslah bahwa beliau berada di atas madzhab mereka dan meriwayatkan dari mereka.

Sungguh hal ini tidak pantas dilakukan oleh orang awam Muslimin apalagi para imam kaum Muslimin ! Atau apakah dikatakan bahwa beliau jahil terhadap apa yang beliau nukil dari para salaf terdahulu padahal beliau telah menghabiskan usia untuk meneliti berbagai madzhab dan mengetahui berbagai jenis agama. Bagi seorang yang insaf akan mengakui hal ini dan tidaklah berprasangka seperti itu kecuali seorang yang takabbur dan congkak.”

Demikianlah sekilas tentang latar belakang buku ini dan profil Imam Abul Hasan Al-Asy’ari. Mudah-mudahan buku ini dapat meluruskan kesalah pahaman kesesatan yang tersebar di tengah-tengah kaum Muslimin tentang Imam Abul Hasan Al-Asy’ari.

Sumber ; Kitab “Al-Ibaanah ‘An Ushulid-Diyanah” Karya ; Imam Abul Hasan Al-Asy’ari.


(KabarDuniaIslam/al-mustaqbal.net)

No comments:

Post a Comment