Wednesday, August 8, 2012

TEROR NORWEGIA, TEROR MEDIA DAN STIGMA YANG TAK TERBUKTI


“Media korporasi kami secara umum, media AS kami pada umumnya, dengan banyak pengecualian, mempromosikan pandangan bahwa terorisme sama dengan Islam."
Demikian pengakuan Steve Kendall, analis senior dari kelom¬pok pengawas media yang berbasis di Amerika, FAIR (Fairness and Accuracy In Reporting).

Pernyataan Randell menjelaskan sikap media Barat dalam memberitakan pesta pembantaian di Norwegia yang digelar Anders Behring Breivik (32).

Sebanyak 76 orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka, akibat bom yang meledak di Kantor Perdana Menteri Norwegia di Oslo serta penembakan brutal oleh seseorang yang mengenakan seragam polisi ke arah para pemuda di Pulau Utoeya.

Anders Behring Breivik, menyatakan bertanggung jawab atas kedua serangan 22 Juli lalu itu. Dia mengatakannya sebagai imbalan atas sikap para pemuda. Kaum muda yang berada di kamp milik Partai Buruh Norwegia di Pulau Utoeya tersebut, dua hari sebelumnya, mendesak Menlu Norwegia agar pemerintah mendukung deklarasi kemerdekaan Palestina pada sidang Majelis Umum PBB, September mendatang.

Tuntutan direspon Partai Buruh yang berkuasa, dengan menyatakan akan membahas dukungan terhadap deklarasi kemerdekaan Palestina. Sedang Menlu Norwegia mengatakan, "Palestina berhak untuk menjadi sebuah negara merdeka dan pendudukan Israel juga harus diakhiri."

Pejabat tinggi Norwegia itu juga menuntut perusakan tembok pemisah Israel. Buat Breivik dan kelompoknya, itu sudah menjadi cukup alasan untuk membantai.

Awalnya, laporan berbagai media Barat langsung menuding kelompok militan Muslim yang berkaitan dengan Al-Qaida sebagai pelaku pembantaian.

Laporan menyatakan serangan militan Islam terjadi sebagai tanggapan terhadap "kontribusi pasukan Norwegia dalam perang di Afghanistan di Irak".

The Sun membuat headlinenya: Al Qaida Massacre: Norway 9/11. Harian itu menuding pelakunya adalah Al Qaida. Editorial Wall Street Journal mengaitkan dengan kampanye jihad melawan Denmark akibat kartun yang menghina nabi. Washington Post tidak kalah konyolnya. Jennifer Rubin mengaitkan serangan ini jaringan internasional jihadis mulai dari kelompok Anshar Islam al Kurdi hingga cabang Al Qaida di Irak utara.

"Norwegia telah dibidik oleh Al Qaida beberapa kali," ceplos analis terorisme CNN, Paul Cruickshank.

Namun, terbukti kemudian tak seorang Muslim pun terlibat dalam serangan teroris itu.
Maka, bahasa media sontak berubah. Kata 'para teroris Islam' lalu dilokalisir jadi ‘lone madman'. Kata 'terorisme' pun dibuang.

Seolah pelakunya sekadar seorang sinting jalanan. Padahal, seperti diungkapkan kantor berita Iran, IRNA (27/7), mengutip keterangan situs Politalesk Norwegia, sejumlah bukti dan fakta menunjukkan kemungkinan kuat keterlibatan Mossad dalam aksi teror yang dilakukan Breivik.

Dalam laporan itu disebutkan, persetujuan Partai Buruh Norwegia untuk mengakui kemerdekaan pemerintah Palestina dan pemberlakuan boikot terhadap rezim Zionis, mendasari keputusan Mossad untuk mengeluarkan instruksi aksi teror.

Anders Behring Breivik sendiri adalah seorang simpatisan negara Israel. Mantan anggota Partai Kemajuan Norwegia (Norway's Progress Party) ini membenarkan kejahatannya sebagai keinginan untuk menyelamatkan Norwegia dan Eropa Barat dari Kaum Muslim dan pengambilan alih pengaruh dan budaya Marxis.

Dalam sebuah dokumen setebal 1.500 halaman yang ditulis dalam bahasa Inggris dan diunggah ke internet beberapa jam sebelum serangan, Breivik mengatakan telah terjadi kolonisasi Islam di Eropa selama beberapa abad.

"Tindakan ini bertujuan memicu revolusi guna mengakhiri kolonisasi Islam di Eropa," tulis Breivik dalam manifestonya itu.

Menurut Breivik, multikulturalisme Eropa telah melemahkan kebanggaan nasional. Dalam tulisan terakhir di Internet sebelum melakukan aksi biadabnya, Breivik mengatakan, "Saya akan dicap sebagai monster Nazi terbe¬sar sejak Perang Dunia II."

Memang, teror yang dilaku¬kannya merupakan serangan terburuk sejak Perang Dunia II. Thomas Hegghammer, pakar terorisme di Oslo, mengatakan, dengan menyusun manifesto sepanjang 1.500 halaman, berarti Breivik telah menyiapkan aksinya jauh-jauh hari. "Dia telah mempersiapkan diri selama bertahun-tahun," tutur Hegghammer.

Kantor hak asasi manusia PBB pun mengecam media Barat atas laporan awal yang mengaitkan serangan teroris di Norwegia dengan militan Islam.

Heiner Bielefeldt, Pelapor Khusus PBB tentang agama dan kebebasan berkepercayaan, mengatakan, media secara otomatis mengasumsikan serangan hari Jumat (22/7) itu terkait dengan ekstremisme Islam tanpa bukti.

"Cara di mana beberapa komentator publik segera menghubungkan pembunuhan massal mengerikan di Norwegia Jumat lalu dengan terorisme Islam adalah memang contoh memalukan dampak kuat dari prasangka dan kapasitas mereka untuk mengabadikan klise," bebernya.

Bielefeldt benar. Bahkan menurut Ketua Partai Konservatif Inggris, prasangka buruk terhadap Muslim telah menjadi norma sosial yang diterima di Inggris. Hal ini dikemukakan Sayeeda Baroness Warsi pada 20 Januari lalu dalam pidatonya di Universitas Leicester.

Bukan sekali ini bias anti-Islam media Barat tampak terlihat. Ketika Perwira militer AS, Mayor Hasan, membunuh beberapa rekan prajuritnya di Fort Hood, media menyebutnya sebagai dampak ajaran terorisme Islam yang dianut Hasan. Sebaliknya, ketika beberapa prajurit Kristen, seperti Sersan John Russell, menembaki rekan-rekannya yang tak berseragam, media menghindari label "Kristen". Fenomena Russell hanya disebut sebagai "gangguan sires paska trauma".

Ketika pelaku sebenarnya pengeboman Gedung Federal Oklahoma tahun 1995, Timothy McVeigh, tertangkap, media Barat tidak pernah melabelinya sebagai "teroris Kristen" Bahkan mereka merasa tak perlu mengoreksi dan meminta maaf atas tuduhan awalnya kepada "kaum fundamentalis Islam".

Si jagal Breivik adalah aktivis garis keras gerakan xenofobia (paranoid terhadap orang asing) yang anti-Muslim, anti-imigran, dan anti-minoritas. Pandangan ini, yang merupakan pandangan Partai Nasional Inggris (BNP) dan Liga Pertahanan Inggris (EDL) Inggris, telah tumbuh bukan saja sejak adanya 'Perang Melawan Teror' tetapi juga karena situasi ekonomi yang buruk di Eropa.

Rasisme seperti ini tumbuh subur di Eropa karena keyakinan sekuler, meskipun telah dilaksanakan selama berabad-abad, gagal untuk mengangkat manusia dari kecenderungan-kecenderungan dasarnya dan menyatukan masyarakat dalam suatu ikatan berdasarkan alasan intelektual yang masuk akal.

Stigma Yang Tak Terbukti

Fobia Islam yang menjangkiti para politisi dan media berhaluan ideologi Barat, menaburkan iklim keben¬cian Eropa terhadap Islam dan kaum Muslim sebagai bagian dari ‘Perang Melawan Teror' (global war on terror) yang digaungkan Amerika.

Menurut pakar linguistik Amerika, Noam Chomsky, isu terorisme merupakan bagian dari newspeak alias wacana sepihak Amerika. Lihat saja, definisi te¬rorisme menurut Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1378/2001 maupun Perppu No. 1 dan No. 2/2002 di Indonesia, tidak me¬rumuskan dan memberi batasan-batasan jelas tentang pengertian "terorisme."

Dari 44 organisasi di seluruh dunia yang didaftar US Departement of State sebagai "teroris", kebanyakan adalah kelompok Islam yang memusuhi Amerika, dan Israel. Misalnya: HAMAS, Jihad Islam, Al-Aqsa Martyrs Brigade di Israel, kelompok Abu Sayyaf di Filipina, Islamic Movement of Uzbekistan (IMU) di Uzbekistan, Lashkar-e Tayyiba (LT)), Jaish-e-Mohammed (JEM), Harakat ul-Mujahidin di Pakistan dan Khasmir.

Padahal, merujuk data FBI selama periode 1982-1992, ter¬nyata operasi teror yang terjadi di Amerika Serikat dilakukan non-Muslim. Misalnya: 72 teror oleh orang Puerto Rico, 23 oleh ka¬langan kiri, 16 serangan oleh kelompok Yahudi, 12 serangan oleh orang-orang Cuba anti-Castro.

Demikian pula, serangan bersenjata anti-Amerika di luar negeri umumnya di luar Dunia Islam. Misalnya, selama 1994 sebanyak 44 serangan terjadi di Amerika Latin, 5 kali di Asia, 5 kali di Eropa Barat, dan 4 kali di Afrika, serta 8 kali di Timur Tengah.

Dalam laporan bertajuk "Situasi Terorisme dan Laporan Tren 2010", disebutkan bahwa dari 294 kasus terorisme di Eropa pada 2009, hanya satu yang dilakukan oleh Muslim.

Pengertian terorisme pun hanya terbatas pada orang atau organisasi saja, sehingga pemerintah zalim semacam Amerika dan Isreal tak termasuk teroris. Padahal, kedua negara ini telah menjalankan terorisme negara (state- terrorisme).

Menurut Robert Kagan, Amerika memang dibangun dengan falsafah teror. Pakar hubungan internasional dari Amerika ini, dalam bukunya Of Paradise and Power (2003), menguraikan falsafah politik luar negeri Amerika yang menganut paham Hobbesian. Melalui kekuasaan mutlak dan represif untuk menghindari anarki dan menjaga kehidupan agar tidak lagi "solitary, brutish, poor, nasty, and short", Amerika memposisikan diri sebagai Leviathan alias Polisi Dunia untuk mewujudkan "The World Order”.

Pada 1833, militer Amerika menyerbu Nicaragua. Agresi menandai ekspansi militer AS ke negara-negara sekitarnya. Sampai tahun 1898, Amerika menginvasi tak kurang dari 11 negara yaitu Nicaragua, Panama, Haiti, Guam, Puerto Rico, Mexico, Hawaii, Cuba, Uruguay, Chili, Colombia.

Amerika juga memerangi negara-negara jauh di Asia seperti Cina,Vietnam, dan Jepang.
Dan yang paling banyak diserbu Amerika adalah Dunia Islam (Arab, Timur Tengah, Afghanistan, Somalia, Dharfur, dll). Serbuan semakin intensif dan agresif setelah George W Bush menabuh genderang war on terror.

Akhirnya, seperti dikatakan Prof Richard Bulliet dari University of Columbia: "Orang-orang Amerika Serikat suatu ketika akan meyakini tanpa perlu bukti apa pun bahwa ancaman teroris selalu datang dari kaum Muslim fanatik".(Taqiyuddin al Baghdadi)



silakan share/bagikan atau tag gambar ^_^


gabung juga di:

MDL Indonesian Version
www.facebook.com/Muslim.Defence.League.Indonesian.Version


dan juga 
Muslim Defence League<<<--Muslim London

www.facebook.com/MDL.Muslim.Defence.League



gabung juga:

www.facebook.com/Indonesia.Menuju.KHILAFAH ^_^

No comments:

Post a Comment