Thursday, January 10, 2013

SEDERET KISAH PEMBANTAIAN KAUM MUSLIMIN INDONESIA OLEH TENTARA THAGHUT LAKNATULLAH


Di negeri dimana mereka menjadi mayoritas, umat Islam terus dizalimi. Apatah lagi di tempat mana mereka hanya merupakan bagian terkecil. Negeri ini memang belum bisa bersahabat dengan anaknya sendiri.

Kasus Poso yang kembali bergolak sejak deklarasi Malino tahun 2001 seakan menjadi pemantik bara kebencian yang sempat padam itu. Aparat keamanan bertindak represif kala menghadapi warga yang mempersiapkan diri menyambut Idul Fitri. Kota Poso yang sempat tenang beberapa tahun lamanya, sejak pertikaian berdarah yang menumpahkan darah ratusan umat Islam di tahun 1998, kembali memanas usai eksekusi mati Tibo cs.

Seperti malam itu, Ahad (22/10/2006) ketika beberapa warga berkumpul guna mempersiapkan tempat shalat I’ed di tanah lapang di Kelurahan Gebang Rejo, Kota Poso. Keramaian ini mengundang perhatian puluhan anggota Brimob. Mereka berdatangan mendekati warga.

Tiba-tiba terdengar suara tembakan ke udara. Warga pun mendatangi Pos Kepolisian Masyarakat (Polmas) Kelurahan Gebang Rejo. Tak dinyana, anggota polisi di pos tidak berbuat apa-apa kala aparat Brimob melepaskan tembakan.

Pos Polmas pun dilempari batu, namun anggota Brimob membalasnya dengan melepaskan tembakan. Bukan lagi ke udara, tapi ke arah warga. Dua orang seketika roboh bersimbah darah. Padahal warga tidak melakukan perlawanan. Korban yang tertembak segera dilarikan ke RSUD Poso.

Sayang, salah seorang korban bernama Udin (22) meninggal karena terkena tembakan di bagian leher dan dadanya. Sedangkan, korban satunya, Muhammad Rizki (29) berhasil diselamatkan walau terkena tembakan di bagian dada dan perutnya.

Keesokan harinya, ketika warga tengah mengantar jenazah Udin ke pemakaman, anggota Brimob kembali melepaskan tembakan karena diteriaki. Dua orang warga kembali tersungkur bersimbah darah. Sebegitu mudahnya aparat keamanan menembaki umat Islam, ada apa gerangan?

Kepala Bidang Humas Polda Sulawesi Tengah, AKBP M Kilat mengatakan, anggota Brimob hanya membela diri saat warga mulai bertindak anarkis dengan melakukan pelemparan.

Penembakan dan pembantaian terhadap umat Islam oleh aparat keamanan yang notabene alat negara bukan kali ini saja terjadi. Sepanjang sejarah perjalanan bangsa ini, kisah tragis yang dialami kaum Muslimin seolah tiada henti. Tengok saja peristiwa Tanjung Priok, Talangsari (Lampung) hingga tragedi Haur Koneng.

Dalam peristiwa Tanjung Priok pada tanggal 12 September 1984, ratusan umat Islam yang sedang berunjuk rasa menjadi korban kebrutalan aparat keamanan. Selain korban meninggal, korban luka yang masih hidup pun harus menderita seumur hidup karena cacat akibat tembakan membabibuta yang dilancarkan personil ABRI.

Hanya karena menolak Pancasila dijadikan azas tunggal, kaum Muslimin dibantai secara keji oleh rezim Soeharto yang tengah berkuasa pada waktu itu. Selain menjadi korban pembantaian, beberapa ulama juga dijebloskan ke balik jeruji besi lantaran dianggap ‘memprovokasi’ warga untuk menolak azas tunggal, “sesembahan” Orde Baru.

Hingga saat ini penyelesaian hukum kasus Priok ibarat menggantang asap. Sia-sia belaka. Meski telah terjadi beberapa kali persidangan, tetap saja mereka yang bertanggungjawab tidak pernah tersentuh hukum. Di tengah upaya penegakan hukum kasus Priok, beberapa tokoh puncak ABRI (kini TNI) mencoba mendekati korban maupun keluarga mereka guna melakukan ishlah (perdamaian). Dikabarkan, para korban tragedi Priok mendapatkan duit sebesar Rp 1 miliar sebagai kompensasi ishlah.

Lima tahun kemudian, pembantaian terhadap umat Islam terjadi lagi, tepatnya pada tanggal 7 Pebruari 1989, lokasinya di Dusun Talangsari III Bandar Lampung. Tragedi kemanusiaan yang merenggut 280 nyawa itu kemudian dikenal dengan pembantaian Talangsari. Peristiwa keji ini bermula dari kecurigaan Camat Way Jepara, Zulkifli akan adanya pengajian yang mencurigakan di Dukuh Cihideung, Talangsari. Sang Camat mengirim surat kepada Danramil Way Jepara, Kapten Soetiman.

Pada tanggal 7 Februari, sekitar pukul 05.30 pengajian Islam yang dipimpin Anwar Warsidi itu didatangi tiga pleton prajurit Korem 043 Garuda Hitam dibantu 50 personel Brimob. Tanpa ampun, aparat keamana dari ABRI/Polri itu pun melakukan pembantaian terhadap anggota jamaah. Warsidi sendiri tewas diterjang peluru. Gubuk-gubuk milik jamaah pengajian dibakar habis.

Aksi tak berprikemanusiaan aparat keamanan dilakukan karena Warsidi dan jamaahnya dianggap melakukan makar. Melawan Pancasila dan azas tunggal. Sama dengan kasus Tanjung Priok, hingga kini tragedi Talangsari juga belum menemukan titik terang tentang siapa yang harus bertanggung jawab atas melayangnya ratusan nyawa umat Islam itu.

Empat tahun kemudian, tepatnya 28 Juli 1993, seakan tak bosan, aparat keamanan (negara) kembali melakukan pembantaian secara keji terhadap umat Islam. Yang menjadi korban adalah warga Desa Sirnagalih, Kecamatan Lemah Abang, Majalengka, Jawa Barat. Tuduhan atas mereka sama saja; makar dan sesat. Padahal warga di sana hanya mengikuti pengajian Islam yang dipimpin oleh Abdul Manan, seorang pemuda yang dituding sesat oleh penguasa.

Memang, Manan dan jamaahnya hidup agak terpisah dengan warga sekitar. Mereka menerapkan falsafah “rampak seribu” alias hidup mandiri dengan membuat lingkungan sendiri untuk menerapkan ajaran Islam.

Di tengah persawahan yang jauh dari penduduk Manan mendirikan padepokan dan mushola sebagai sarana belajar mengaji. Yang dikaji antara lain, kitab safinatun najaa dan sullamut taufiq karangan Imam al-Bantani. Kedua kitab tersebut berisi tentang tatacara thaharah (bersuci), rukun shalat, puasa, zakat dan haji.

Hari Rabu, 28 Juli empat truk tentara dan satu truk Brimob yang didatangkan dari Cirebon membumihanguskan padepokan Manan. Sebanyak 5 orang penduduk tewas, 8 orang lainnya luka berat, termasuk anak-anak dan balita. Sang pemimpin jamaah, Abdul Manan, tewas seketika akibat terjangan peluru aparat.

Perlakuan represif ini bermula ketika salah seorang anggota Manan menolak dipanggil aparat setempat. Pemanggilan ini dilakukan untuk interogasi tentang segala kegiatan di padepokan tersebut. Tak ayal, baku hantam pun terjadi seketika yang berujung pada pembantaian. Peristiwa berdarah ini juga dikenal dengan sebutan “Haur Koneng”, karena konon jamaah Manan selalu membawa bambu kuning setiap bepergian.

Kini, ingatan kelam akan perlakuan aparat keamanan kembali menyeruak ketika Brimob dengan mudahnya memuntahkan peluru guna mengamankan unjuk rasa yang dilakukan umat Islam Poso. Tuduhan yang disematkan pun bukan hanya sekedar makar atau subversif, tapi terorisme.

Akankah tragedi berdarah di Tanjung Priok, Talangsari maupun Haur Koneng akan terulang kembali? Apalagi jika melihat semua kasus di atas yang selalu melibatkan aparat keamanan dari unsur Polri itu.

WASPADALAH...! WASPADALAH..!!


http://chairulakhmad.wordpress.com/2007/05/09/umat-islam-yang-terzalimi/

No comments:

Post a Comment