Syi’ah di kalangan mayoritas kaum muslimin adalah eksistensi yang tidak jelas, tidak diketahui apa hakikatnya, bagaimana berkembang, tidak melihat bagaimana sejarahnya, dan tidak dapat diprediksi bagaimana di kemudian hari.
Berangkat dari hal-hal tersebut, akhirnya orang islam yang awam meyakini Syi’ah tak lain hanyalah salah satu mazhab Islam, seperti mazhab Syafi’i, Maliki dan sejenisnya. Tapi sesungguhnya ada perbedaan antara Syiah dan Islam. Bisa dikatakan, Islam dengan Syiah serupa tapi tak sama.
Secara fisik, sulit sekali membedakan antara penganut Islam dengan Syiah, namun jika diteliti lebih jauh dan lebih mendalam lagi terutama dari segi aqidah perbedaan di antara Islam dan Syiah sangatlah besar. Ibaratnya, Islam dan Syiah seperti minyak dan air, hingga tak mungkin bisa disatukan.
Asal-usul Syi’ah
Syi’ah secara etimologi bahasa berarti pengikut, sekte dan golongan seseorang.Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang berkedok dengan slogan kecintaan kepada Ali bin Abi Thalib beserta anak cucunya bahwasanya Ali bin Abi Thalib lebih utama dari seluruh sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau. (Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal, 2/113, karya Ibnu Hazm). Sedang dalam istilah syara’, Syi’ah adalah suatu aliran yang timbul sejak masa pemerintahan Utsman bin Affan yang dipimpin oleh Abdullah bin Saba’ Al- Himyari.
Abdullah bin Saba’ asalnya seorang Yahudi dari Shan’a (ibu kota Yaman), ibunya seorang wanita kulit hitam. Ia masuk Islam pada masa kekhalifahan Ustman. Orang ini menaruh dendam terhadap Islam karena berhasil melenyapkan kekuasaan dan mengusir bangsa Yahudi dari Tanah Arab. Ia hidup berpindah-pindah tempat dari Hijaz, kemudian ke Bashrah, lalu ke Kufah, lalu ke Syam. Disetiap tempat yang ia kunjungi ia selalu berusaha menyesatkan manusia dari jalan yang benar.
Namun karena tidak mendapat tanggapan dari kaum muslimin disana, Ia pun pergi ke Mesir. Disana beliau banyak mendapatkan pengikut dan mengajarkan ajaran “inkarnasi” beliau mengatakan kepada masyarakat;"Saya sungguh heran dengan orang yang mengatakan bahwa kelak Isa akan kembali lagi, sedang mereka tidak percaya akan kembalinya Ali dikemudian hari…. Ali lah yang lebih patut untuk kembali ke dunia ini dari pada Isa…”.
Pengikut-pengikut Abdullah bin Saba’ mengatakan bahwa inkarnasi-nya Ali adalah bagian dari ketuhanan Ali. Mereka percaya bahwa Ali tidak mati karena mengandung unsur ketuhanan. Ali lah yang membawa awan, petir adalah suara Ali, dan kilat adalah alamatnya.
Di antara fitnah-fitnah dan slogan keji yang telah ditabur oleh Abdullah bin Saba’ ialah:
1. Mengklaim bahwa Ali bin Abi Thalib telah menerima wasiat sebagai Khalifah Rasulullah.
2. Menuduh Ali bin Abi Thalib sebagai pencipta segala makhluk dan pemberi rezeki.
3. Melakukan kedustaan atas nama Ali bin Abi Thalib, bahwa beliau tidak mati, dia tetap hidup di awang-awangan. Petir adalah pekikan Ali ketika marah dan kilat adalah cemeti Ali.
4. Menuduh Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan radiallahu ‘anhum sebagai orang-orang zalim (kafir) kerana merampas hak khalifah Ali setelah wafatnya Rasulullah. Dan semua umat yang membaiat khalifah ketika itu adalah kafir.
5. Para roh suci atau roh al-Qudus berinkarnasi ke dalam diri para Imam Syiah.
Abdullah bin Saba’ mengenalkan ajarannya secara terang-terangan dan menggalang massa untuk memproklamasikan bahwa kepemimpinan (imamah) sesudah Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasalam seharusnya jatuh ke tangan Ali bin Abi Thalib karena suatu nash (teks) Nabi Shalallahu alaihi wasalam. Menurut Abdullah bin Saba’, Khalifah AbuBakar, Umar dan Utsman telah mengambil alih kedudukan tersebut. Dalam Majmu’ Fatawa 4/435, Abdullah bin Saba' menampakkan sikap ekstrim di dalam memuja Ali, dengan suatu slogan bahwa Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari segala dosa).
Keyakinan itu berkembang terus-menerus dari waktu ke waktu, sampai kepada menuhankan Ali bin Abi Thalib. Berhubung hal itu suatu kebohongan, maka diambil suatu tindakan oleh Ali bin Abi Thalib, yaitu mereka dibakar, lalu sebagian dari mereka melarikan diri ke Madain.
Pada periode abad pertama Hijriah, aliran Syi’ah belum menjelma menjadi aliran yang solid. Barulah pada abad kedua Hijriah, perkembangan Syi'ah sangat pesat bahkan mulai menjadi mainstream tersendiri. Pada waktu-waktu berikutnya, Syi'ah bahkan menjadi semacam keyakinan yang menjadi trend di kalangan generasi muda Islam: mengklaim menjadi tokoh pembaharu Islam, namun banyak dari pemikiran dan prinsip dasar keyakinan ini yang tidak sejalan dengan Islam itu sendiri. (mrs)
sumber:koepas.com
http:// inilah-bukti-kesesatan-syia h.blogspot.com/2012/11/ jangan-keliru-menilai-syiah _30.html
Secara fisik, sulit sekali membedakan antara penganut Islam dengan Syiah, namun jika diteliti lebih jauh dan lebih mendalam lagi terutama dari segi aqidah perbedaan di antara Islam dan Syiah sangatlah besar. Ibaratnya, Islam dan Syiah seperti minyak dan air, hingga tak mungkin bisa disatukan.
Asal-usul Syi’ah
Syi’ah secara etimologi bahasa berarti pengikut, sekte dan golongan seseorang.Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang berkedok dengan slogan kecintaan kepada Ali bin Abi Thalib beserta anak cucunya bahwasanya Ali bin Abi Thalib lebih utama dari seluruh sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau. (Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal, 2/113, karya Ibnu Hazm). Sedang dalam istilah syara’, Syi’ah adalah suatu aliran yang timbul sejak masa pemerintahan Utsman bin Affan yang dipimpin oleh Abdullah bin Saba’ Al- Himyari.
Abdullah bin Saba’ asalnya seorang Yahudi dari Shan’a (ibu kota Yaman), ibunya seorang wanita kulit hitam. Ia masuk Islam pada masa kekhalifahan Ustman. Orang ini menaruh dendam terhadap Islam karena berhasil melenyapkan kekuasaan dan mengusir bangsa Yahudi dari Tanah Arab. Ia hidup berpindah-pindah tempat dari Hijaz, kemudian ke Bashrah, lalu ke Kufah, lalu ke Syam. Disetiap tempat yang ia kunjungi ia selalu berusaha menyesatkan manusia dari jalan yang benar.
Namun karena tidak mendapat tanggapan dari kaum muslimin disana, Ia pun pergi ke Mesir. Disana beliau banyak mendapatkan pengikut dan mengajarkan ajaran “inkarnasi” beliau mengatakan kepada masyarakat;"Saya sungguh heran dengan orang yang mengatakan bahwa kelak Isa akan kembali lagi, sedang mereka tidak percaya akan kembalinya Ali dikemudian hari…. Ali lah yang lebih patut untuk kembali ke dunia ini dari pada Isa…”.
Pengikut-pengikut Abdullah bin Saba’ mengatakan bahwa inkarnasi-nya Ali adalah bagian dari ketuhanan Ali. Mereka percaya bahwa Ali tidak mati karena mengandung unsur ketuhanan. Ali lah yang membawa awan, petir adalah suara Ali, dan kilat adalah alamatnya.
Di antara fitnah-fitnah dan slogan keji yang telah ditabur oleh Abdullah bin Saba’ ialah:
1. Mengklaim bahwa Ali bin Abi Thalib telah menerima wasiat sebagai Khalifah Rasulullah.
2. Menuduh Ali bin Abi Thalib sebagai pencipta segala makhluk dan pemberi rezeki.
3. Melakukan kedustaan atas nama Ali bin Abi Thalib, bahwa beliau tidak mati, dia tetap hidup di awang-awangan. Petir adalah pekikan Ali ketika marah dan kilat adalah cemeti Ali.
4. Menuduh Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan radiallahu ‘anhum sebagai orang-orang zalim (kafir) kerana merampas hak khalifah Ali setelah wafatnya Rasulullah. Dan semua umat yang membaiat khalifah ketika itu adalah kafir.
5. Para roh suci atau roh al-Qudus berinkarnasi ke dalam diri para Imam Syiah.
Abdullah bin Saba’ mengenalkan ajarannya secara terang-terangan dan menggalang massa untuk memproklamasikan bahwa kepemimpinan (imamah) sesudah Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasalam seharusnya jatuh ke tangan Ali bin Abi Thalib karena suatu nash (teks) Nabi Shalallahu alaihi wasalam. Menurut Abdullah bin Saba’, Khalifah AbuBakar, Umar dan Utsman telah mengambil alih kedudukan tersebut. Dalam Majmu’ Fatawa 4/435, Abdullah bin Saba' menampakkan sikap ekstrim di dalam memuja Ali, dengan suatu slogan bahwa Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari segala dosa).
Keyakinan itu berkembang terus-menerus dari waktu ke waktu, sampai kepada menuhankan Ali bin Abi Thalib. Berhubung hal itu suatu kebohongan, maka diambil suatu tindakan oleh Ali bin Abi Thalib, yaitu mereka dibakar, lalu sebagian dari mereka melarikan diri ke Madain.
Pada periode abad pertama Hijriah, aliran Syi’ah belum menjelma menjadi aliran yang solid. Barulah pada abad kedua Hijriah, perkembangan Syi'ah sangat pesat bahkan mulai menjadi mainstream tersendiri. Pada waktu-waktu berikutnya, Syi'ah bahkan menjadi semacam keyakinan yang menjadi trend di kalangan generasi muda Islam: mengklaim menjadi tokoh pembaharu Islam, namun banyak dari pemikiran dan prinsip dasar keyakinan ini yang tidak sejalan dengan Islam itu sendiri. (mrs)
sumber:koepas.com
http://
No comments:
Post a Comment