Snouck Hurgronje , ia lahir di Osterhoot,
Belanda pada 8 Pebruari 1857 dan
meninggal di Leiden pada 26 Juni 1936.
Menyelesaikan pendidikan tinggi dalam
bidang bahasa-bahasa Semith pada
tahun 1880 dengan desertasi yang
berjudul ‘Perayaan Makkah’. Ia berasal
dari keluarga Pendeta Protestan
Tradisonal, mirip Orthodox, namun
lingkungan belajarnya sampai tingkat
tertentu adalah liberal. Snouck
berpendapat bahwa al-Qur’an bukanlah
wahyu dari Allah, melainkan adalah karya
Muhammad yang mengandung ajaran
agama.
Seorang peneliti Belanda kontemporer
Koningsveld, menjelaskan bahwa realitas
budaya di negerinya membawa
pengaruh besar terhadap kejiwaan dan
sikap Snouck selanjutnya. Pada saat itu,
para ahli perbandingan agama dan ahli
perbandingan sejarah sangat
dipengaruhi oleh teori “Evolusi” Darwin.
Hal ini membawa konsekuensi khusus
dalam teori peradaban di kalangan
cendikiawan Barat, bahwa peradaban
Eropa dan Kristen adalah puncak
peradaban dunia. Sementara, Islam yang
datang belakangan, menurut mereka,
adalah upaya untuk memutus
perkembangan peradaban ini. Bagi
kalangan Nasrani, kenyataan ini
dianggap hukuman atas dosa-dosa
mereka.
Ringkasnya, agama dan peradaban Eropa
adalah lebih tinggi dan lebih baik
dibanding agama dan peradaban Timur.
Teori peradaban ini berpengaruh besar
terhadap sikap dan pemikiran Snouck
selanjutnya.
Pada tahun 1876, saat menjadi
mahasiswa di Leiden, Snouck pernah
berkata: “Adalah kewajiban kita untuk
membantu penduduk negeri jajahan -
maksudnya warga muslim Indonesia-
agar terbebas dari Islam”. Sejak itu, sikap
dan pandangan Snouck terhadap Islam
tidak pernah berubah.
Snouck pernah mengajar di Institut
Leiden dan Delf, yaitu lembaga yang
memberikan pelatihan bagi warga
Belanda sebelum ditugaskan di
Indonesia. Saat itu, Snouck belum pernah
datang ke Indonesia, namun ia mulai
aktif dalam masalah-masalah penjajahan
Belanda. Pada saat yang sama perang
Aceh mulai bergolak.
Saat tinggal di Jedah, ia berkenalan
dengan dua orang Indonesia yaitu Raden
Abu Bakar Jayadiningrat dan Haji Hasan
Musthafa. Dari keduanya Snouck belajar
bahasa Melayu dan mulai bergaul dengan
para haji jemaah Dari Indonesia untuk
mendapatkan informasi yang ia
butuhkan.
Pada saat itu pula, ia menyatakan ke-
Islam-annya dan mengucapkan Syahadat
di depan khalayak dengan memakai
nama “Abdul Ghaffar.” Seorang Indonesia
berkirim surat kepada Snouck yang isinya
menyebutkan “Karena Anda telah
menyatakan masuk Islam di hadapan
orang banyak, dan ulama- ulama Mekah
telah mengakui keIslaman Anda”.
“Seluruh aktivitas Snouck selama di Saudi
tercatat dalam dokumen-dokumen di
Universitas Leiden, Belanda.
Snouck menetap di Mekah selama enam
bulan dan disambut hangat oleh seorang
‘Ulama besar Mekah, yaitu Waliyul Hijaz. Ia
lalu kembali ke negaranya pada tahun
1885. Selama di Saudi Snouck
memperoleh data-data penting dan
strategis bagi kepentingan pemerintah
penjajah. Informasi itu ia dapatkan
dengan mudah karena tokoh-tokoh
Indonesia yang ada di sana sudah
menganggapnya sebagai saudara
seagama. Kesempatan ini digunakan oleh
Snouck untuk memperkuat hubungan
dengan tokoh-tokoh yang berasal dari
Aceh yang menetap di negeri Hijaz saat
itu.
Snouck kemudian menawarkan diri pada
pemerintah penjajah Belanda untuk
ditugaskan di Aceh. Saat itu perang Aceh
dan Belanda mulai berkecamuk. Snouck
masih terus melakukan surat menyurat
dengan ‘Ulama asal Aceh di Mekah.
Snouck tiba di Jakarta pada tahun 1889.
Jendral Benaker Hourdec menyiapkan
asisten-asisten untuk menjadi
pembantunya. Seorang di antaranya
adalah warga keturunan Arab, yaitu
Sayyid Utsman Yahya Ibn Aqil al Alawi
(klik untuk lihat foto). Ia adalah
penasehat pemerintah Belanda dalam
urusan Islam dan kaum Muslim.
Selain itu, ia juga dibantu sahabat
lamanya ketika di Makkah, Haji Hasan
Musthafa (klik untuk lihat foto) yang
diberi posisi sebagai penasehat untuk
wilayah Jawa Barat. Snouck sendiri
memegang jabatan sebagai penasehat
resmi pemerintah penjajah Belanda
dalam bidang bahasa Timur dan Fiqh
Islam. Jabatan ini masih dipegangnya
hingga setelah kembali ke Belanda pada
tahun 1906.
Pembersihan Aceh
Misi utama Snouck adalah
“membersihkan” Aceh. Setelah
melakukan studi mendalam tentang
semua yang terkait dengan masyarakat
ini, Snouck menulis laporan panjang yang
berjudul kejahatan-kejahatan Aceh.
Laporan ini kemudian jadi acuan dan
dasar kebijakan politik dan militer
Belanda dalam menghadapai masalah
Aceh.
Pada bagian pertama, Snouck
menjelaskan tentang kultur masyarakat
Aceh, peran Islam, ‘Ulama, dan peran
tokoh pimpinannya. Ia menegaskan pada
bagian ini, bahwa yang berada di
belakang perang dahsyat Aceh dengan
Belanda adalah para ‘Ulama. Sedangkan
tokoh-tokoh formalnya bisa diajak damai
dan dijadikan sekutu, karena mereka
hanya memikirkan bisnisnya.
Snouck menegaskan bahwa Islam harus
dianggap sebagai faktor negatif, karena
dialah yang menimbulkan semangat
fanatisme agama di kalangan muslimin.
Pada saat yang sarna, Islam
membangkitkan rasa kebencian dan
permusuhan rakyat Aceh terhadap
Belanda. Jika dimungkinkan
“pembersihan” ‘Ulama dari tengah
masyarakat, maka Islam takkan lagi
punya kekuatan di Aceh. Setelah itu, para
tokoh-tokoh adat bisa menguasai
dengan mudah.
Bagian kedua laporan ini adalah usulan
strategis soal militer. Snouck
mengusulkan dilakukannya operasi
militer di desa-desa di Aceh untuk
melumpuhkan perlawanan rakyat yang
menjadi sumber kekuatan ‘Ulama. Bila ini
berhasil, terbuka peluang untuk
membangun kerjasama dengan
pemimpin lokal. Perlu disebut di sini,
bahwa Snouck didukung oleh jaringan
intelijen mata-mata dari kalangan
pribumi.
Cara yang ditempuh sama dengan yang
dilakukannya di Saudi dulu, yaitu
membangun hubungan dan melakukan
kontak dengan warga setempat untuk
mendapatkan informasi yang
dibutuhkan. Orang-orang yang
membantunya berasumsi bahwa Snouck
adalah seorang saudara semuslim. Dalam
suatu korespondensinya dengan ‘Ulama
Jawa, Snouck menerima surat yang
bertuliskan “Wahai Fadhilah Syekh
AIlamah Maulana Abdul Ghaffar, sang
mufti negeri Jawa. “
Lebih aneh lagi, Snouck menikah dengan
putri seorang kepala daerah Ciamis, Jawa
Barat pada tahun 1890. dari pernikahan
ini ia peroleh empat anak: Salamah,
‘Umar, Aminah dan Ibrahim (klik untuk
lihat foto). Akhir abad 19 ia menikah lagi
dengan Siti Sadijah (klik untuk lihat foto),
putri khalifah Apo, seorang ‘Ulama besar
di Bandung. Anak dari pernikahan ini
bernama Raden Yusuf.
Snouck juga melakukan surat menyurat
dengan gurunya Theodor Noldekhe,
seorang orientalis Jerman terkenal. Dalam
suratnya, Snouck menegaskan bahwa
keIslaman dan semua tindakannya
adalah permainan untuk menipu orang
Indonesia demi mendapatkan informasi.
Ia menulis “Saya masuk Islam hanya
pura-pura. Inilah satu-satulnya jalan agar
saya bisa diterima masyarakat Indonesia
yang fanatik. “
Temuan lain Koningsveld dalam surat
Snouck mengungkap bahwa ia
meragukan adanya Tuhan. Ini terungkap
dari surat yang ia tulis pada pendeta
Protestan terkenal Herman Parfink yang
berisi, ‘Anda termasuk orang yang
percaya pada Tuhan. Saya sendiri ragu
pada segala sesuatu. “
Komentar Dr. Van Koningsveld
Dr. Veld berkomentar tentang aktivitas
Snouck: “Ia berlindung di balik nama
“penelitian Ilmiah” dalam melakukan
aktifitas spionase, demi kepentingan
penjajah”. Veld yang merupakan peneliti
Belanda yang secara khusus mengkaji
biografi Snouck menegaskan, bahwa
dalam studinya terhadap masyarakat
Aceh, Snouck menulis laporan ganda. Ia
menuliskan dua buku tentang Aceh
dengan satu judul, namun dengan isi
yang bertolak belakang. Dari laporan ini,
Snouck hidup di tengah masyarakat Aceh
selama tiga puluh tiga bulan dan ia pura-
pura masuk Islam.
Dalam rentang waktu itu, ia menyaksikan
budaya dan watak masyarakat Aceh
sekaligus memantau perisriwa yang
terjadi. Semua aktivitasnya tak lebih dari
pekerjaan spionase dengan mengamati
dan mencatat. Sebagai hasilnya ia
menulis dua buku. Pertama berjudul
“Aceh,” memuat laporan ilmiah tentang
karakteristik masyarakat Aceh dan buku
ini diterbitkan. Tapi pada saat yang sama,
ia juga menulis laporan untuk
pemerintah Belanda berjudul “Kejahatan
Aceh.” Buku ini memuat alasan-alasan
memerangi rakyat Aceh.
Dua buku ini bertolak belakang dari sisi
materi dan prinsipnya. Buku ini
menggambarkan sikap Snouck yang
sebenarnya. Di dalamnya Snouck mencela
dan merendahkan masyarakat dan
agama rakyat Aceh. Laporan ini bisa
disebut hanya berisi cacian dan celaan
sebagai provokasi penjajah untuk
memerangi rakyat Aceh.
Disadur dari :
- Tulisan : Dr. Daud Rasyid, MA, Fenomena
Sunnah di Indonesia, Potret Pergulatan
Melawan Konspirasi Hal. 196-199
(Usamah Press, Jakarta Cet I Agustus
2003)
Yang ini saya cp dari : http://
aansubhan.multiply.com/
Snouck Hurgronje
Christiaan Snouck Hurgronje merupakan
tokoh peletak dasar kebijakan “Islam
Politiek” yang merupakan garis kebijakan
“Inlandsch politiek” yang dijalankan
pemerintah kolonial Belnda terhadap
pribumi Hindia Belanda. Konsep strategi
kebijakan yang diciptakan Snouck terasa
lebih lunak dibanding dengan konsep
strategi kebijakan para orientalis lainnya,
namun dampaknya terhadap umat Islam
terus berkepanjangan bahkan
berkelanjutan sampai dengan saat ini.
Snouck lahir tanggal 8 Februari 1857 di
Oosterhout Belanda,
merupakan anak keempat dari pasangan
Pendeta JJ Snouck Hurgronje dan Anna
Maria. Nama depannya diambilkan dari
nama kakeknya, pendeta D Christiaan de
Visser.
Pada tahun 1874 selepas dari pendidikan
HBS di Breda, ia melanjutkan ke Fakultas
Teologi Universitas Leiden. Tahun 1878 ia
lulus kandidat
examen (sarjana muda) kemudian ia
meneruskan ke Fakultas Sastra
Universitas Leiden. Semasa di Universitas
Leiden, Snouck dibimbing
oleh para tokoh aliran “modernis
Leiden”, seperti CP Tieles, LWE
Rauwenhoff, Abraham Kuenen, MJ de
Goeje.
Aliran pemikiran “modernis Leiden” ini
berpandangan liberal dan
rasional. Dalam aliran pemikiran ini,
agama hanyalah sekedar
kesadaran etis yang ada pada setiap
manusia dan budaya Eropa
memiliki superioritas kebudayaan
sehingga interaksi antara agama
Kristen dengan budaya Eropa adalah
proses puncak perkembangan
kebudayaan, sedangkan kebudayaan lain
-Islam dan budaya dunia Timur-
merupakan suatu bentuk “degenerasi”
kebudayaan.
Dari Abraham Kuenen -ahli perjanjian
lama- Snouck mendapat pelajaran
tentang Kritik Biblik / Kritik Kitab Suci. Hal
itu mendasari
pemikirannya dalam menolak hal-hal
yang irasional dalam agama yang
dianutnya -Kristen- seperti Trinitas dan
kedudukan Yesus sebagai
Anak Allah. Disamping itu ia juga belajar
bahasa dan sastra Arab
dari RPA Dozi dan MJ de Goeje.
Snouck menyelesaikan pendidikan
formalnya pada tahun 1880 dengan
disertasi berjudul Het Mekkaansche Feest
yang membahas tentang
Ibadah Haji. Kemudian ia mengajar di
“Leiden & Delf Academi”, tempat
dimana semua calon pejabat pemerintah
kolonial Belanda dididik dan
dilatih sebelum mereka dikirim berdinas
di Hindia Belanda.
Tahun 1884 -atas prakarsa JA Kruyt
Konsul Belanda di Jeddah- Snouck
dikirim ke Makkah untk melakukan
penelitian tentang Islam. Untuk
mendapatkan ijin tinggal di Makkah,
Snouck mengganti namanya menjadi
Abdul Ghaffar, ia juga mengerjakan Shalat
dan ritual agama Islam
lainnya. Dengan sikap tersebut, Snouck
dapat mengenal lebih dekat
kehidupan sehari-hari umat Muslim di
Makkah serta dengan mudah
bergaul erat dengan para pelajar dan
ulama, terutama yang berasal
dari Hindia Belanda.
Dalam penelitiannya tersebut, Snouck
memusatkan perhatiannya pada
tiga hal. Pertama, dengan cara
bagaimana sistem Islam didirikan.
Kedua, apa arti Islam didalam kehidupan
sehari-hari dari pengikut-
pengikutnya yang beriman. Ketiga,
bagaimana cara memerintah orang
Islam sehingga melapangkan jalan untuk
mengajak orang Islam
bekerjasama guna membangun suatu
peradaban yang universal.
Snouck tahun 1889 dipindah tugaskan
ke Hindia Belanda, oleh Gubernur
Jenderal Pijnacker Herdijk, ia diangkat
sebagai peneliti dan
penasehat urusan bahasa-bahasa timur
dan Islam. Guna memuluskan
tugasnya dan memperkuat penerimaan
masyarakat, Snouck mengawini
wanita Muslim Pribumi secara Islam.
Snouck melangsungkan
perkawinannya dengan Sangkana, anak
tunggal Raden Haji Muhammad
Ta’ib, Penghulu Besar Ciamis. Dari
perkawinannya itu terlahir empat
orang anak, Salmah, Umar, Aminah,
Ibrahim. Pada tahun 1895, Sangkana
meninggal dunia, kemudian tahun 1898
Snouck mengawini Siti Sadiyah,
putri Haji Muhammad Soe’eb, Wakil
Penghulu kota Bandung. Pada tahun
1910 Snouck melangsungkan pernikahan
dengan Ida Maria, putri Dr.AJ
Oort, pendeta liberal di Zutphen,
perkawinannya yang ketiga ini
dilangsungkan di negeri Belanda.
Berdasarkan konsep Snouck, pemerintah
kolonial Belanda dapat
mengakhiri perlawanan rakyat Aceh dan
meredam munculnya pergolakan-
pergolakan di Hindia Belanda yang
dimotori oleh umat Islam.
Pemikiran Snouck -berdasarkan
pengetahuan dan pengalamannya-
menjadi
landasan dasar doktrin bahwa “musuh
kolonialisme bukanlah Islam
sebagai Agama, melainkan Islam sebagai
Doktrin Politik”.
Konsep Snouck berlandaskan fakta
masyarakat Islam tidak mempunyai
organisasi yang “Hirarkis” dan
“Universal”. Disamping itu karena
tidak ada lapisan “Klerikal” atau
kependetaan seperti pada
masyarakat Katolik, maka para ulama
Islam tidak berfungsi dan
berperan pendeta dalam agama Katolik
atau pastur dalam agama
Kristen. Mereka tidak dapat membuat
dogma dan kepatuhan umat Islam
terhadap ulamanya dikendalikan oleh
dogma yang ada pada Al-Qur’an
dan Al-Hadits -dalam beberapa hal
memerlukan interprestasi- sehingga
kepatuhan umat Islam terhadap
ulamanya tidak bersifat mutlak.
Tidak semua orang Islam harus
diposisikan sebagai musuh, karena
tidak semua orang Islam Indonesia
merupakan orang fanatik dan
memusuhi pemerintah “kafir” belanda.
Bahkan para ulamanya pun jika
selama kegiatan Ubudiyah mereka tidak
diusik, maka para ulama itu
tidak akan menggerakkan umatnya
untuk memberontak terhadap
pemerintah kolonial Belanda. Namun
disisi lain, Snouck menemukan
fakta bahwa agama Islam mempunyai
potensi menguasai seluruh
kehidupan umatnya, baik dalam segi
sosial maupun politik.
Snouck memformulasikan dan
mengkategorikan permasalahan Islam
menjadi tiga bagian, yaitu ; bidang
Agama Murni, bidang Sosial
Kemasyarakatan, bidang Politik.
Pembagian kategori pembidangan ini
juga menjadi landasan dari doktrin
konsep “Splitsingstheori”.
Pada hakikatnya, Islam tidak memisahkan
ketiga bidang tersebut, oleh
Snouck diusahakan agar umat Islam
Indonesia berangsur-angsur
memisahkan agama dari segi sosial
kemasyarakatan dan politik.
Melalui “Politik Asosiasi” diprogramkan
agar lewat jalur pendidikan
bercorak barat dan pemanfaatan
kebudayaan Eropa diciptakan kaum
pribumi yang lebih terasosiasi dengan
negeri dan budaya Eropa.
Dengan demikian hilanglah kekuatan
cita-cita “Pan Islam” dan akan
mempermudah penyebaran agama
Kristen.
Dalam bidang politik haruslah ditumpas
bentuk-bentuk agitasi politik
Islam yang akan membawa rakyat
kepada fanatisme dan Pan Islam,
penumpasan itu jika perlukan dilakukan
dengan kekerasan dan kekuatan
senjata. Setelah diperoleh ketenangan,
pemerintah kolonial harus
menyediakan pendidikan, kesejahteraan
dan perekonomian, agar kaum
pribumi mempercayai maksud baik
pemerintah kolonial dan akhirnya
rela diperintah oleh “orang-orang kafir”.
Dalam bidang Agama Murni dan Ibadah,
sepanjang tidak mengganggu
kekuasaan, maka pemerintah kolonial
memberikan kemerdekaan kepada
umat Islam untuk melaksanakan ajaran
agamanya. Pemerintah harus
memperlihatkan sikap seolah-olah
memperhatikan agama Islam dengan
memperbaiki tempat peribadatan, serta
memberikan kemudahan dalam
melaksanakan ibadah haji.
Sedangkan dibidang Sosial
Kemasyarakatan, pemerintah kolonial
memanfaatkan adat kebiasaan yang
berlaku dan membantu menggalakkan
rakyat agar tetap berpegang pada adat
tersebut yang telah dipilih
agar sesuai dengan tujuan mendekatkan
rakyat kepada budaya Eropa.
Snouck menganjurkan membatasi
meluasnya pengaruh ajaran Islam,
terutama dalam hukum dan peraturan.
Konsep untuk membendung dan
mematikan pertumbuhan pengaruh
hukum Islam adalah dengan “Theorie
Resptie”. Snouck berupaya agar hukum
Islam menyesuaikan dengan adat
istiadat dan kenyataan politik yang
menguasai kehidupan pemeluknya.
Islam jangan sampai mengalahkan adat
istiadat, hukum Islam akan
dilegitimasi serta diakui eksistensi dan
kekuatan hukumnya jika
sudah diadopsi menjadi hukum adat.
Sejalan dengan itu, pemerintah kolonial
hendaknya menerapkan
konsep “Devide et Impera” dengan
memanfaatkan kelompok Elite Priyayi
dan Islam Abangan untuk meredam
kekuatan Islam dan pengaruhnya
dimasyarakat. Kelompok ini paling mudah
diajak kerjasama karena ke-
Islaman mereka cenderung tidak
memperdulikan “kekafiran” pemerintah
kolonial Belanda.
Kelompok ini dengan didukung oleh
konsep “Politik Asosiasi” melalui
program jalur pendidikan, harus
dijauhkan dari sistem Islam dan
ajaran Islam, serta harus ditarik kedalam
orbit “Wearwenization”.
Tujuan akhir dari program ini bukanlah
Indonesia yang diperintah
dengan corak adat istiadat, namun
Indonesia yang diper-Barat-kan.
Oleh karena itu orang-orang Belanda
harus mengajari dan menjadikan
kelompok ini sebagai mitra kebudayaan
dan mitra kehidupan sosial.
Kaum pribumi yang telah mendapat
pendidikan bercorak barat dan telah
terasosiasikan dengan kebudayaan
Eropa, harus diberi kedudukan
sebagai pengelola urusan politik dan
administrasi setempa. Mereka
secara berangsur-angsur akan dijadikan
kepanjangan tangan pemerintah
kolonial dalam mengemban dan
mengembangkan amanat politik asosiasi.
Secara tidak langsung, asisiasi ini juga
bermanfaat bagi penyebarab
agama Kristen, sebab penduduk pribumi
yang telah berasosiasi akan
lebih mudah menerima panggilan misi.
Hal itu dikarenakan makna
asosiasi sendiri adalah penyatuan antara
kebudayaan Eropa dan
kebudayaan pribumi Hindia Belanda.
Asosiasi yang dipelopori oleh
kaum Priyayi dan Abangan ini akan
banyak menuntun rakyat untuk
mengikuti pola dan kebudayaan asosiasi
tersebut.
Pemerintah kolonial harus menjaga agar
proses transformasi asosiasi
kebudayaan ini seiring dengan evolusi
sosial yang berkembang
dimasyarakat. Harus dihindarkan, jangan
sampai hegemoni pengaruh
dimasyarakat beralih kepada kelompok
yang menentang program peng-
asosiasi-an budaya ini.
Secara berangsur-angsur pejabat Eropa
dikurangi, digantikan oleh
pribumi pangreh praja yang telah
menjadi ahli waris hasil budaya
asosiasi hasil didikan sistem barat.
Akhirnya Indonesia akan
diperintah oleh pribumi yang telah ber-
asosiasi dengan kebudayaan
Eropa.
Konsep-konsep Snouck tidak seluruhnya
dapat dijalankan oleh
pemerintah kolonial Hindia Belanda,
sehingga tak seluruhnya dapat
mencapai hasil yang maksimal. Namun
setidaknya selama itu telah
mampu meredam dan mengurangi aksi
politik yang digerakkan oleh umat
Islam. Pada akhirnya, umat Islam pula
yang menjadi motor penggerak
gerakan kemerdekaan Indonesia di
tahun 1945.
Tanggal 12 Maret 1906 Snouck kembali
ke negeri Belanda. Ia diangkat
sebagai Guru Besar Bahasa dan Sastra
Arab pada Universitas Leiden.
Disamping itu ia juga mengajar para
calon-calon Zending di
Oestgeest. Snouck meninggal dunia pada
tanggal 26 Juni 1936, di
usianya yang ke 81 tahun.
Kebesaran Snouck selalu dikenang, dialah
ilmuwan yang
dijuluki `dewa” dalam bidang Arabistiek-
Islamologi dan
Orientalistik, salah satu pelopor penelitian
tentang Islam, Lembaga-
Lembaganya, dan Hukum-Hukumnya. Ia
“berjasa” menunjukkan “kekurangan-
kekurangan” dalam dunia Islam dan
perkembangannya di Indonesia. Di
Rapenburg didirikan monumen “Snouck
Hurgronjehuis” untuk mengenang
jasa-jasanya dan kebesarannya.
Christiaan Snouck Hurgronje, tokoh
penting peletak dasar kebijakan “Islam
Politiek”
merupakan “Pembaratan Islam Pribumi”
kini diteruskan oleh para
pewarisnya di Indonesia yang dikenal
sebagai cendekiawan Islam
Liberal Indonesia.
disadur dari :
Strategi Belanda Melumpuhkan Islam
Biografi C. Snouck Hurgronje
Lathiful Khuluq
Pustaka Pelajar