Mukaddimah
Dari Abu Najih Irbad bin Sariyah, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: “Dan siapa diantara kalian yang (kelak) masih hidup, maka ia akan banyak menyaksikan banyak perselisihan. Maka berpegang teguhlah kalian kepada sunnahku dan sunnah Khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk setelahku, berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham. Serta jauhilah oleh kalian perkara yang diada-adakan, karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bida’ah adalah sesat”. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
Tema tentang salaf dan salafi barangkali sudah terlalu sering dibahas. Secara ringkas, Salaf adalah manhaj yang telah ditempuh oleh generasi terbaik umat ini; sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in. Adapun salafi adalah sosok yang senantiasa berusaha untuk meniti jejak langkah mereka baik dalam masalah akidah, ibadah maupun mu’amalah.
Imam Auza’i menyebutkan lima hal yang senantiasa melekat pada diri sahabat Nabi صلى الله عليه وسلم dan kalangan tab’in; senantiasa bersama dengan al jama’ah (Ahli Sunnah Wal Jama’ah), mengikuti sunnah, memakmurkan masjid, membaca Al Qur’an dan berjihad di jalan Allah” . [ 1 ]
Apa yang disebutkan Imam Auzai’ merupakan sebagian contoh yang dilakukan kalangan salaf. Maka salafi adalah sosok yang berusaha meniti jejak langkah mereka siapa saja orangnya. Dan jika ada yang mengklaim dirinya salafi tapi jauh dari kelima hal tersebut maka label salafi tidak ada artinya sama sekali.
Salafi bukanlah sosok yang hanya mendengar perkataan dari ustadz atau kelompoknya saja dengan meremehkan kalangan yang lain. Salafi bukanlah sosok yang mengatakan Lebih baik mati dalam keadaan bodoh dari pada ngaji dengan ust. Fulan. Mereka berdalih, dalam rangka merealisaiskan pernyataan para ulama hadits terdahulu dalam memberlakukan kaidah jarh dan ta’dil.
Syaikh Bakr Abu Zaid [2] –rahimahullah- dalam bukunya Tashnif An Naas Baina ad Dzan Wal Yaqin telah mencium gelagat tersebut. Beliau menyatakan: “Terkadang dia menempuh cara yang dilakukan oleh sebagian ahli hadits terhadap para perawi yang lemah, – dan alangkah berbeda kedua jalan itu…semua itu adalah perbuatan syetan. Dan dari sinilah jiwanya merasa senang dengan pandangan para pengkritik itu. Yaitu ketika mereka berhasil memalingkan perhatian dari apa-apa yang seharusnya diperhatikan, lalu orang-orang sibuk saling mencela antar sesamanya”.
Tiga Sifat Salafi Maz'um Ekstrim
Dalam diri kelompok salafi –meski tidak semuanya- terdapat tiga sifat ekstrim; sifat Khawarij, Murjiah dan Rafidhah. Khawarij dalam arti bersikap arogan, kasar, memusuhi, memblacklist, membid’ahkan setiap da’i, aktifis atau ustadz yang bukan dari kalangannya atau yang berbeda dengannya meski mengklaim sesama salafi.
Mereka Murjiah dalam arti lembut, lunak, menolong, membantu, mencintai, siap menjadi garda terdepan dan memberikan loyalitas kepada orang-orang yang anti dengan syariat Islam. Padahal Syaikh Bakr Abu Zaid dengan mengutip perkataan Ibn Al Qayyim berkata: “Bid’ah yang paling besar adalah menanggalkan Al Kitab dan Sunnah Rasul-Nya dan membuat hukum baru yang menyelisihi keduanya”.
Mereka juga bersikap Rafidhah dalam arti menolak semua kelompok dan mengklaim hanya kelompoknya yang benar dan selamat adapaun yang lainnya adalah kelompok yang akan binasa dan neraka tempatnya. Hal ini seperti yang terjadi di Mu’tamar Ahli Sunnah di Teksas Amerika; Salim Hilali,
Ali Hasan Al Halabi dan Usamah Al Qushi dalam obrolannya menyatakan Jama’ah Tabligh dan Jam’iyyah Syar’iyyah merupakan kelompok yang akan masuk neraka. Yang kemudian mereka ditegur oleh Syaikh Muhammad Hassan dan Syaikh Shafwat Nuruddin rahimahullah.
Mereka menyatakan kelompok-kelompok yang ada adalah hizbiyah dan yang tidak hizbiyah hanyalah kelompoknya. Namun ternyata kalangan seperti ini jauh lebih berhizbiyah dari pada kalangan lainnya.
Ini namanya ‘Maling Teriak Maling’.
Perpecahan Salafi Maz'um
Seorang ustadz senior salafi ketika ditanya dalam salah satu siaran radio mereka, kenapa kalangan salafi berbeda-beda? Ustadz tersebut hanya menjawab perbedaan yang terjadi hanyalah perbedaan dalam masalah furu’ bukan masalah prinsifil. Benarkah apa yang dikatakan sang ustadz? Atau hanya sekedar menutupi agar para muridnya tidak tahu hakikat yang sebenarnya, bahwa memang telah terjadi perpecahan yang cukup dahsyat sehingga antara yang satu dengan yang lain saling membid’ahkan? Kalau memang perbedaan itu bukan dalam masalah prinsif kenapa tabdi’, tajrih dan tahdzir harus terjadi? Bukankah dalam masalah ijtihadi tidak boleh saling menghujat dan tidak boleh menancapkan bendera al Wala dan al Baro di atasnya.
Dalam hadits tersebut –hadits Irbad bin Sariyah- Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah mengabarkan kepada kita, bahwa umat ini akan mengalami perselisihan dan perpecahan. Tidak luput dari hadits tersebut adalah kelompok yang menamakan dirinya salafi yang kini sudah berkeping-keping menjadi beberapa kelompok.
Bagi penulis sulit rasanya untuk memastikan kapan awal perpecahan itu terjadi. Hanya saja Syaikh Bakr Abu Zaid paling tidak delapan belas tahun yang lalu beliau telah merasakan adanya perpecahan dalam tubuh salafi. Beliau menyatakan: “Sepanjang yang saya ketahui, perpecahan yang terjadi dalam barisan Ahli Sunnah ini merupakan musibah yang pertama kali terjadi, dimana orang menisbatkan dirinya kepada mereka (Ahli Sunnah) justru mencela Ahli Sunnah. Dan memposisikan dirinya sebagi tentara untuk menyerang dan menebar kekacauan dan memadamkan semangat mereka, menghadang di jalan dakwah mereka dan melepaskan tali kendali lisan untuk mencela kehormatan para da’i dan membuat rintangan di jalan dakwah mereka dengan fanatisme buta”.
Pernyataan Syaikh Bakr dalam bukunya tersebut sebenarnya ditujukan kepada siapa saja yang hobinya menggolong-golongkan manusia, tanpa menunjuk hidung seseorang. Sehingga dalam hal ini Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali merasa tersinggung dan membantah buku tersebut dengan judul Al Hadd Al Fashil Bainal Haqq Wal Bathil yang kemudian bukunya (Syaikh Rabi’) dibantah lagi oleh Syaikh Abu Abdillah An Najdi dengan judul ‘Nadzarat Salafiyyah Fii Aaraa As Syaikh Rabi’ Al Madkhali.
Belum lagi perseteruan antara Syaikh Rabi’ dan Syaikh Abdurrahman bin Abdul Khaliq. Sehingga pada tahun 1997 kalangan salafiyah Kuwait meminta pendapat Syaikh Abdul Aziz bin Baz tentang sikap Syaikh rabi yang kasar dan arogan. Maka Syaikh menyatakan dalam fatwanya: “Adapun Syaikh Rabi’ aku akan menulis surat untuknya dan akan aku nasehati”.
Dan akhir-akhir ini perseteruan antar tokoh salafi seperti Syaikh Rabi’ dengan Syaikh Ali Hasan Al Halabi, Syaikh Abul Hasan Al Ma’ribi, Syaikh Usamah Al Qushi, Syaikh Falih Al Harbi [ 3 ] dan lain-lain semakin membara bagaikan api yang sulit dipadamkan. Padahal sebelumnya mereka sangat memuliakan Syaikh Rabi’ dan menganggapnya sebagai imam Ahli Sunnah dan imam Jarh Wa Ta’dil pada masa ini. Tidak bisa dipungkiri imbasnya adalah apa yang terjadi di sana terjadi juga di Indonesia.
Salafiyah Murjiah
Kalangan salafi jelas tidak menerima istilah ini dan menuduh kalangan yang melabelnya dengan sebutan khawarij, ikhwani, quthbi, sururi dan lain-lain. Di sini perlu dicatat bahwa justru yang menyebut salafi dengan label tersebut datang dari sosok yang telah lama berinteraksi dengan Syaikh Albani dan pernah terjerumus kedalam faham Murjiah, yaitu Syaikh Abu Malik Muhammad Ibrahim Syaqrah dalam bukunya Aina Taqa’ Laa Ilaaha Illallah Fii Diin Al Murjiah Al Judud. Beliau menyebutnya dengan As Salafiyyah Al Murji’ah, Firqah As Salafiyah Al Murjiah, As Salafiyah Al Murji’ah Al Jadidah dan ungkapan-ungkapan lainnya.
Setelah mengakui kekeliruannya dalam masalah iman yang terjerumus kepada faham Murji’ah maka beliau bertaubat dan sebagai bentuk keseriusan taubatnya beliau menulis dua buku Aina Taqa’ Laa Ilaaha Illallah Fii Diin Al Murjiah Al Judud (Dimana Letak (kalimat) Laa Ilaaha Illallah Dalam Agama Murjiah Kontemporer), A Akhta’a An Nabiyyun Wa Ashaba Al Atsariyyun (Apakah Para Nabi Yang Salah dan Kalangan Atsariyun (Salafiyun) Yang Benar?), dan beliau memberi pengantar kitab Haqiqah Al Iman ‘Inda As Syaikh Al Albani (Hakikat Iman Menurut Syaikh Albani).
Syaikh Ali Hasan Al Halabi
Di Indonesia Syaikh Ali Hasan Al Halabi bagaikan qadhi, yang memegang keputusan dan kendali. Bahkan dianggap sebagai imam jarh dan ta’dil. Jika ada seorang syaikh yang datang ke Indonesia maka ia akan dimintai fatwa dan pendapatnya tentang sosok syaikh tersebut. Jika Ali Hasan mengatakan bahwa syaikh tersebut sururi atau label lainnya maka pengikutnya yang ada di Indonesia akan manut dan langsung mempending seluruh jadwal syaikh tersebut. Ali Hasan di kalangan mayoritas salafi Indonesia mempunyai kedudukan yang tinggi. Jika ada yang mengkritik atau mencelanya maka sama artinya dengan mencela Syaikh Albani. Kenapa kalangan salafi Indonesia lebih mengidolakan Ali Hasan yang tidak sedikit para ulama menyatakan dia adalah orang yang sesat dan menyesatkan?
Di sini penulis perlu menjelaskan secara ringkas siapa Syaikh Ali Hasan dan tentunya hal ini pun berdasarkan fakta dan data yang dikemukakan oleh kalangan yang tahu perisis tentang Syaikh Ali Hasan sehingga kita tidak terjebak dalam dunia kultus individu dan kelompok.
1. Komisi Fatwa Kerajaan Arab Saudi dalam fatwa pengharaman dua kitab Ali Hasan Fitnah At Takfir dan Shaihah Nadzir menggambarkan sosok Ali Hasan dengan: madzhabnya dalam masalah iman adalah madzhab Murji’ah yang bid’ah dan bathil, menyeleweng dalam menukil perkataan Ibn Katsir dan Syaikh Muhammad Ibrahim, dusta atas nama Syaikhul Islam Ibn Taimiyah, menafsirkan pendapat ulama tidak sebagaimana yang mereka maksudkan, meremehkan masalah tidak berhukum dengan hukum Allah, hendaknya ia mencabut pendapat-pendapat ini, hendaknya ia bertaqwa kepada Allah pada dirinya yaitu dengan kembali kepada kebenaran, hendaknya bersungguh-sungguh dalam menimba ilmu syar’i kepada ulama yang keilmuannya terpercaya dan akidahnya benar.
Ali Hasan adalah sosok yang ngeyel sehingga ia pun membantah fatwa Komisi Fatwa dengan Al Ajwibah Al Mutalaimah ‘An Fatwa Lajnah Daimah. Dan bantahannya tersebut dibantah lagi oleh Syaikh Muhammad Ad Dausari yang diberi pengantar oleh beberapa ulama senior namun Ali Hasan tetap ngeyel dan membantah buku tersebut.
2. Syaikh Muhammad Ibrahim Syaqrah. Beliau pernah menjadi penengah dalam debat Ali Hasan dan DR. Abu Ruhayyim [4] yang kemudian beliau membenarkan dan memuji apa yang disampaikan DR. Abu Ruhayyim. Yang mana dalam hal ini Ali Hasan tidak amanah dalam menukil pendapat ulama. Sampai-sampai Syaikh Syaqrah marah dan mengatakan; kalau bukan kamu maka akan saya potong tangannya.
Dalam bukunya ‘Aina Taqa’ Laa Ilaaha Illallah Fi Dien Al Murjiah Al Judud, Syaikh merujuk dan memuji buku yang ditulis Syaikh Muhammad Ad Dausari hal ini sangat berbeda dengan Ali Hasan yang justru mencela dan membantahnya. Bahkan dalam bukunya, Syaikh Syaqrah menyebut Ali Hasan sebagai ‘Embrio Salafiyah Murji’ah’.
Kalangan salafi banyak yang merujuk kepada pembelaan Syaikh Husain Alu Syaikh salah seorang ulama Madinah yang menyebut Ali Hasan dengan saudara senior. Harusnya merekapun membaca apa yang ditulis putra Syaikh Muhammad Syaqrah yaitu Ashim bin Muhammad Syaqrah yang menulis bantahan ‘Ar Rudud Al Ilmiyah As Saniyyah yang ditujukan kepada Ali Hasan dan pendukungnya, termasuk Syaikh Husain. Diantara salah satu pernyataannya, Bagiamana bisa dikatakan saudara senior? Dari sisi usia jelas Ali Hasan lebih muda dari Syaikh Husain. Dan jika dilihat dari sisi keilmuan jelas orang-orang yang duduk dikomisi Fatwa jauh lebih senior dari pada Ali Hasan.
Kembalinya Syaikh Muhammad Syaqrah kepada faham Ahli Sunnah dalam masalah iman diakui juga oleh Abu Muhammad Al Maqdisi dalam Tabshir Al Uqala Bi Talbisat At Tajahhum Wal Irja dan Syaikh Abu Bashir. Bahkan Abu Bahsir menulis artikel dengan judul Li As Syaikh Muhammad Syaqrah ‘Alayya Dain (Aku Mempunyai Utang Kepada Syaikh Muhammad Syaqrah). Ketika Abu Bashir meminta maaf atas kata-katanya yang kasar –dalam buku-bukunya terdahulu- maka Syaikh Syaqrah mengatakan: “Ya Abu Bashir, anda tidak perlu meminta maaf. Kalian berada dalam jalan yang haq dan benar. Apa yang telah anda tulis, (dan yang ditulis oleh) Abu Muhammad Al Maqdisi dan Abu Qatadah adalah benar dan haq. Maka aku katakan kepada manusia: sesungguhnya anda, Abu Muhammad Al Maqdisi dan Abu Qatadah adalah haq dan benar maka tidak perlu meminta maaf. Orang yang benar tidak layak meminta maaf atas perkara yang ia berada di atasnya”.
3. Dalam buku saku Ma’a Syaikhina Nashir As Sunnah Wa Ad Dien Fi Syuhur Hayatihi Al Akhirah, Ali Hasan menyebutkan; Ketika Syaikh dikubur aku memang jauh darinya, namun aku adalah sosok yang paling akhir berbicara dengan Syaikh. Abdullatif, salah seorang putra Syaikh Albani menyatakan bahwa yang paling terakhir berbicara dengannya selain keluarga dan kerabatnya adalah salah seorang ikhwah dari Bahrain. Ini menunjukan kebohongan Ali Hasan sang qadhi dan Ahli Jarh dan Ta’dil salafi Indonesia.
4. Ali Hasan adalah sosok yang suka melakukan plagiat dan mencuri karya orang lain yang kemudian dinisbatkan kepada dirinya. Syaikh ‘Awadhallah pernah mengeluhkan permasalahan ini kepada Syaikh Bakr Abu Zaid. Bahkan Abdul Aziz bin Faishal membuat artikel dengan judul Al Farq Baina Al Muhaqqiq Wa As Sariq (Perbedaan Antara Muhaqqiq Dan Pencuri) kemudian menyebutkan beberapa bukti di antaranya Ali Hasan mencuri hasil tahqiq Al Thanahi dan Az Zawi dalam kitab An Nihayah karya Ibn Atsir dan mayoritas dari karya-karyanya banyak membela dirinya dengan berlindung dibalik nama besar Syaikh Albani. Pada hal Ali Hasan tidak pernah duduk lama-lama belajar dengan Syaikh Albani hal ini dikarenakan Syaikh juga sibuk dengan tahqiq, takhrij dan ta’liq. Dengan Syaikh Albani, Ali Hasan hanya tuntas membaca kitab kecil Nukhbah Al Fikr.
5. Syaikh Bakr Abu Zaid dalam bukunya Dar’ul Fitnah ‘an Ahli Sunnah (Menepis Fitnah Yang menimpa Ahli Sunnah) secara tidak langsung menyindir Ali Hasan. Beliau menyebutkan diantara dampak negatif faham murjiah adalah meremehkan urusan shalat dan pemberlakuan syari’at Allah untuk mengadili manusia. Bahkan mereka membantu orang yang berhukum kepada thaghut padahal Allah telah memerintahkan untuk mengkufurinya. Jelas dalam dua buku Ali Hasan Fitnah At Takfir dan Shaihah Nadzir dia meremeh kedua masalah tersebut dan menyatakan bahwa orang yang sibuk dengan masalah penegakan hukum Allah adalah mirip dengan Rafidhah. Jelas ini sebuah kekeliruan dan keseatan.
6. Asy-Syaikh Rabi’ al Madkhali ditanya tentang ‘Ali Al-Halaby, maka Asy-Syaikh menjawab: “Saya akan jelaskan kepada kalian keadaan ‘Ali Al-Halaby. Selama sepuluh tahun kami bersabar atas dia dan apa yang dimunculkan dari fitnahnya, sedang dia memperkuat fitnah tersebut dan berusaha untuk memecah belah dan membuat musykilah, diantaranya: Dia memberi kata pengantar pada kitabnya Murad Syukri yang mana padanya ada aqidah murji’ah dan pendalilan dengan ucapan ahlu bid’ah.
Penutup
Syaikh Albani termasuk yang menyatakan bahwa kata As Salafi yang kemudian diikuti dengan Al Atsari adalah kalimat yang berat. Jika orang yang melabel dirinya dengan kata-kata itu mengetahui maknanya maka ia akan berlepas diri dengan menanggalkannya. Hal ini diamini oleh murid seniornya Syaikh Muhammad Syaqrah. Bahwa kata As Salafi jauh lebih berat dan fitnahnya jauh lebih dahsyat dari pada kata Al Atsari maka sebaiknya tidak menggunakan label tersebut karena akan melahirkan fanatisme, kesombongan dan meremehkan yang lainnya.
Perpecahan dalam tubuh salafi, saling membid’ahkan dan adanya klaim kebenaran rupanya telah disinggung oleh Syaikh Al Utsaimin rahimahullah. Hal ini penulis tuturkan agar kalangan salafi introspeksi dan melakukan evaluasi diri serta menyadari bahwa telah ada kekeliruan juga dalam diri mereka.
Dalam mengomentari hadits di atas yaitu hadits ke 28 dalam Syarh Al Arbain An Nawawiyah yang bersumber dari Irbad bin Sariyah beliau (Syaikh Al Utsaimin) berkata: “Dan tidak diragukan lagi bahwa madzhab Umat Islam harus bermadzhab salaf bukan beravilial kepada hizb (kelompok) tertentu yang menamakan dirinya dengan ‘SALAFIYYUN’. Yang menjadi keharusan bagi Umat Islam adalah bermadzhab dengan madzhab As Salaf As Shalih bukan berhizbiyah dengan nama ‘SALAFIYUN’. Di sana ada yang namanya Thariqah As Salaf (cara/metode salaf) dan ada juga yang namanya kelompok ‘SALAFIYUN’. Dan yang dituntut adalah mengikuti salaf (bukan beravilial kepada kelompok salafi). Meski demikian, ikhwah Salafiyun merupakan kelompok yang paling dekat dengan kebenaran. Hanya saja permasalahan mereka adalah sama dengan kelompok-kelompok yang lainya; saling menyesatkan satu sama lain, saling membid’ahkan dan saling memfasikkan”.
Wallahu A’lam bis shawab
Abu Hatim, Lc
Catatan kaki
1. Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah Wal Jama’ah karya Al Lalikai. Bahkan dalam masalah jihad Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah menjadikan sebagai bentuk tamasya umatnya. Seorang lelaki meminta izin kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم untuk bertamasya. Maka beliau bersabda: “Tamasya umatku adalah jihad di jalan Allah”. (HR. Abu Daud)
2. Anggota Komisi Fatwa Kerajaan Arab Saudi dan kitabnya ditulis sejak delapan belas tahun yang lalu, yaitu pada tahun 1413H
3. Dosen Universitas Islam Madinah dan Direktur Ma’had Ilmi.
Dulunya merupakan teman dekat Syaikh Rabi’ namun akhir-akhir ini beliau kembali kapada jalan yang benar dalam memahami masalah iman dan mengkritik tajam apa yang ditulis Ali Hasan Al Halabi dan Syaikh Rabi yang keduanya terjerumus kepada paham murji’ah. Dalam masalah ini Syaikh Falih mendapat pujian dari Prof. DR. Abdullah bin Abdurrahman Al Jarbu’ ketua Jurusan Akidah Universitas Islam Madinah
4. Isteri Syaikh Albani memilihkan calon Isteri untuknya dan Syaikh Albani yang menyampaikan nasehat dalam pernikahannya
* Sumber : http://