Shoutussalam - Empat dari lima warga dewasa di Amerika Serikat kini tengah berjuang keras melawan pengangguran, nyaris miskin dan hidup kurang sejahtera. Sedikitnya 80 persen warga AS mengalami ketidakamanan ekonomi dalam kehidupan mereka di tengah semakin memburuknya kondisi ekonomi AS.
Hasil survei terbaru menunjukkan ketimpangan antara warga miskin dan warga kaya semakin melebar di AS. Ketidakamanan ekonomi yang ada didasarkan pada sejumlah poin, seperti usia, identitas etnis dan juga ras. Demikian seperti dilansir CBS News, Selasa (30/7/2013).
Nampaknya bukan hal yang mengejutkan jika banyak warga kulit hitam di AS mengalami kesulitan ekonomi. Namun saat ini, hambatan ekonomi justru semakin meningkat di kalangan warga kulit putih. Sedikitnya sebanyak 63 persen warga kulit putih di AS masuk dalam kategori 'miskin'.
Bahkan menurut panduan ekonomi baru yang akan diterbitkan oleh Oxford University Press tahun depan, ketidakamanan ekonomi di kalangan warga kulit putih terutama yang berusia 60 tahun ke atas mencapai angka 76 persen. Ketidakamanan ekonomi yang dimaksud yakni angka pengangguran yang meningkat, kemudian terlalu bergantung kepada bantuan pemerintah seperti kupon makanan, atau pendapatan yang berada di bawah angka 150 persen dari garis kemiskinan.
Jika dihitung secara keseluruhan, risiko ketidakamanan ekonomi yang dihadapi oleh warga AS tanpa membedakan ras meningkat hingga 79 persen. Kondisi ini diwarnai dengan menurunnya angka pernikahan dan meningkatnya jumlah ibu tumah tangga yang hidup dalam kemiskinan.
"Inilah saatnya rakyat Amerika memahami bahwa ketimpangan yang besar di negara ini, terutama dari sektor pendidikan dan harapan hidup dalam kemiskinan, yang terus meningkat akibat kondisi ekonomi," jelas profesor Harvard yang ahli dalam isu kemiskinan dan ras, Julius Wilson. Menurut Wilson, kaum minoritas di AS memiliki optimisme lebih tinggi tentang masa depan pasca Presiden Obama terpilih, jika dibandingkan dengan warga mayoritas.
Secara nasional, angka kemiskinan di Amerika kini mencapai 46,2 juta jiwa atau sekitar 15 persen dari total populasi. Dari jumlah ini, tercatat lebih 19 juta warga kulit putih di Amerika hidup di bawah garis kemiskinan, dengan penghasilan US$ 23 ribu uintuk setiap keluarga. Kelompok yang juga dijuluki 'invisible poor' ini lebih tersebar di wilayah pinggiran dan pedesaan di AS, seperti Missouri, Arkansas, Oklahoma dan sebagainya.
Tingginya angka pengangguran berarti risiko menghadapi ketidakamanan ekonomi juga meningkat. Tercatat saat ini, sebanyak 79 persen warga AS atau sekitar 4 dari 5 warga dewasa AS, menghadapi ketidakamanan ekonomi, terutama memasuki usia 60 tahun ke atas.
Jika dilihat berdasarkan ras, warga kulit putih memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami ketidakamanan ekonomi. Atau dengan kata lain, sebanyak 76 persen warga kulit putih di AS nyaris jatuh miskin dan jadi pengangguran. Sedangkan jika dihitung berdasarkan tahun, hingga tahun 2030 mendatang, tercatat nyaris 85 persen warga AS yang bekerja, mengalami ketidakamanan ekonomi.
"Kemiskinan bukan lagi menjadi masalah bagi 'mereka', tapi telah menjadi masalah bagi 'kita'," tutur profesor dari Washington University, Mark Rank. Penghitungan dan analisis ini akan dipublikasi dalam jurnal Oxford Universitiy Press. [arkan-abumuhammad/dtknws]
Hasil survei terbaru menunjukkan ketimpangan antara warga miskin dan warga kaya semakin melebar di AS. Ketidakamanan ekonomi yang ada didasarkan pada sejumlah poin, seperti usia, identitas etnis dan juga ras. Demikian seperti dilansir CBS News, Selasa (30/7/2013).
Nampaknya bukan hal yang mengejutkan jika banyak warga kulit hitam di AS mengalami kesulitan ekonomi. Namun saat ini, hambatan ekonomi justru semakin meningkat di kalangan warga kulit putih. Sedikitnya sebanyak 63 persen warga kulit putih di AS masuk dalam kategori 'miskin'.
Bahkan menurut panduan ekonomi baru yang akan diterbitkan oleh Oxford University Press tahun depan, ketidakamanan ekonomi di kalangan warga kulit putih terutama yang berusia 60 tahun ke atas mencapai angka 76 persen. Ketidakamanan ekonomi yang dimaksud yakni angka pengangguran yang meningkat, kemudian terlalu bergantung kepada bantuan pemerintah seperti kupon makanan, atau pendapatan yang berada di bawah angka 150 persen dari garis kemiskinan.
Jika dihitung secara keseluruhan, risiko ketidakamanan ekonomi yang dihadapi oleh warga AS tanpa membedakan ras meningkat hingga 79 persen. Kondisi ini diwarnai dengan menurunnya angka pernikahan dan meningkatnya jumlah ibu tumah tangga yang hidup dalam kemiskinan.
"Inilah saatnya rakyat Amerika memahami bahwa ketimpangan yang besar di negara ini, terutama dari sektor pendidikan dan harapan hidup dalam kemiskinan, yang terus meningkat akibat kondisi ekonomi," jelas profesor Harvard yang ahli dalam isu kemiskinan dan ras, Julius Wilson. Menurut Wilson, kaum minoritas di AS memiliki optimisme lebih tinggi tentang masa depan pasca Presiden Obama terpilih, jika dibandingkan dengan warga mayoritas.
Secara nasional, angka kemiskinan di Amerika kini mencapai 46,2 juta jiwa atau sekitar 15 persen dari total populasi. Dari jumlah ini, tercatat lebih 19 juta warga kulit putih di Amerika hidup di bawah garis kemiskinan, dengan penghasilan US$ 23 ribu uintuk setiap keluarga. Kelompok yang juga dijuluki 'invisible poor' ini lebih tersebar di wilayah pinggiran dan pedesaan di AS, seperti Missouri, Arkansas, Oklahoma dan sebagainya.
Tingginya angka pengangguran berarti risiko menghadapi ketidakamanan ekonomi juga meningkat. Tercatat saat ini, sebanyak 79 persen warga AS atau sekitar 4 dari 5 warga dewasa AS, menghadapi ketidakamanan ekonomi, terutama memasuki usia 60 tahun ke atas.
Jika dilihat berdasarkan ras, warga kulit putih memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami ketidakamanan ekonomi. Atau dengan kata lain, sebanyak 76 persen warga kulit putih di AS nyaris jatuh miskin dan jadi pengangguran. Sedangkan jika dihitung berdasarkan tahun, hingga tahun 2030 mendatang, tercatat nyaris 85 persen warga AS yang bekerja, mengalami ketidakamanan ekonomi.
"Kemiskinan bukan lagi menjadi masalah bagi 'mereka', tapi telah menjadi masalah bagi 'kita'," tutur profesor dari Washington University, Mark Rank. Penghitungan dan analisis ini akan dipublikasi dalam jurnal Oxford Universitiy Press. [arkan-abumuhammad/dtknws]
No comments:
Post a Comment