Tuesday, April 9, 2013

SERUAN : LAA ILAAHA ILALLAAH (3) _Membenci Kesyirikan_



Rasulullah SAW bersabda: “Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah (tumbal)” (HR.Muslim) Sedangkan dalam kenyataan, orang yang membuat tumbal, baik berupa ayam atau kambing saat hendak membangun rumah, gedung, jembatan dsb, dia menganggap sebagai tradisi yang patut dilestarikan, maka orang ini tidak kufur terhadap thaghut. Taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan cara bersedekah makanan adalah ibadah, sedangkan taqarrub kepada jin dan syaitan dengan sesajen adalah syirik lagi bathil. Allah berfirman tentang syiriknya orang-orang Arab dahulu:

وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالأنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا لِشُرَكَائِنَا

“Dan mereka menjadikan bagi Allah satu bahagian dari apa yang telah Allah ciptakan berupa tanaman dan binatang ternak. Mereka mengatakan sesuai dengan persangkaan mereka: “Ini bagi Allah dan ini bagi berhala-berhala kami” (QS. Al An’am [6]: 136).

Jadi orang yang menganggap pembuatan sesajen sebagai tradisi yang mesti dilestarikan, berarti dia tidak kufur terhadap thaghut.

Wewenang (menentukan/membuat hukum/undang-undang/aturan adalah hak Allah. Penyandaran hukum kepada Allah adalah bentuk ibadah kepada-Nya, sedangkan bila wewenang itu disandarkan kepada makhluk, maka itu adalah syirik dan merupakan suatu bentuk ibadah kepada makhluk tersebut. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ أَمَرَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ

“…(Hak) hukum itu tidak lain adalah milik Allah. Dia memerintahkan agar kalian tidak beribadah kecuali kepadaNya. Itulah dien yang lurus” (QS. Yusuf [12]: 40)

Dalam ayat ini Allah memerintahkan manusia agar tidak menyandarkan hukum, kecuali kepada Allah, dan Allah namakan penyandaran hukum itu sebagai ibadah, sehingga apabila disandarkan kepada makhluk maka hal itu adalah perbuatan syirik, sebagaimana firman-Nya:

وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ

“Dan janganlah kalian memakan dari (sembelihan) yang tidak disebutkan nama Allah padanya, sesungguhnya hal itu adalah fisq. Dan sesungguhnya syaitan mewahyukan kepada wali-walinya untuk mendebat kalian, dan bila kalian menta’ati mereka maka sungguh kalian ini adalah orang-orang musyrik” (QS. Al An’am [6]: 121)

Kita mengetahui dalam ajaran islam bahwa sembelihan yang tidak memakai nama Allah adalah bangkai dan itu haram, sedangkan dalam ajaran kaum musyrikin adalah halal. Syaitan membisikan kepada wali-walinya (agar berkata): “Hai Muhammad, ada kambing mati di pagi hari, siapakah yang membunuhnya?” maka Rasulullah menjawab, “Allah yang telah mematikannya” Mereka berkata, “Kambing yang telah Allah sembelih (maksudnya bangkai) dengan tangan-Nya Yang Mulia kalian haramkan, sedangkan yang kalian sembelih dengan tangan-tangan kalian, kalian katakan halal, berarti sembelihan kalian lebih baik daripada sembelihan Allah” (HR. Hakim)

Ucapan tersebut adalah wahyu syaitan untuk mendebat kaum muslimin agar setuju dengan aturan yang menyelisihi aturan Allah, dan agar setuju dengan penyandaran hukum kepada mereka, maka Allah tegaskan bahwa apabila mereka (kaum muslimin) setuju dengan hal itu berarti mereka telah musyrik.

Dan dalam ayat lain Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لا إِلَهَ إِلا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Mereka (orang-orang Nashrani) telah menjadikan para Harb (ahli ilmu/ulama) dan para Rahib (ahli ibadah) sebagai Arbaab (tuhan-tuhan) selain Allah. Juga Al Masih putera Maryam, padahal mereka tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan Yang Haq kecuali Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” (QS. At Taubah [9]: 31).

Dalam ayat ini Allah vonis orang-orang Nashrani sebagai berikut:

- Mereka telah mempertuhankan para ahli ilmu dan para rahib
- Mereka telah beribadah kepada selain Allah.
- Mereka telah melanggar Laa ilaaha illallaah
- Mereka telah musyrik
- Juga para ahli ilmu dan para rahib tersebut Allah vonis mereka sebagai Arbaab.

Imam At Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan, bahwa ketika ayat ini dibacakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan ‘Adiy ibnu Hatim (seorang shahabat yang asalnya Nashrani kemudian masuk Islam), ‘Adiy ibnu Hatim mendengar ayat-ayat ini dengan vonis-vonis tadi, maka ‘Adiy mengatakan: “Kami (orang-orang Nashrani) tidak pernah shalat atau sujud kepada alim ulama dan rahib (pendeta) kami”, Jadi maksudnya dalam benak orang-orang Nashrani adalah; kenapa Allah memvonis kami telah mempertuhankan mereka, atau apa bentuk penyekutuan atau penuhanan yang telah kami lakukan sehingga kami disebut telah beribadah kepada mereka padahal kami tidak pernah shalat atau sujud atau memohon-mohon kepada mereka? Maka Rasul mengatakan: “Bukankah mereka (alim ulama dan para rahib) menghalalkan apa yang Allah haramkan terus kalian ikut menghalalkannya, dan bukankah mereka telah mengharamkan apa yang Allah halalkan terus kalian ikut mengharamkannya?” Lalu ‘Adiy menjawab: “Ya”, Rasul berkata lagi: “Itulah bentuk peribadatan mereka (orang Nashrani) kepada mereka (alim ulama dan para rahib).”

Jadi orang Nashrani divonis musyrik karena mereka setuju dengan penyandaran hukum kepada ahli ilmu dan para rahib, meskipun itu menyelisihi aturan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Sedangkan pada masa sekarang, orang meyakini bahwa demokrasi adalah pilihan terbaik, atau minimal boleh menurut mereka. Padahal demokrasi berintikan pada penyandaran wewenang hukum kepada kedaulatan rakyat atau wakil-wakilnya, sedangkan ini adalah syirik, maka orang tersebut tidak kufur terhadap thaghut dan dia itu belum muslim.

Allah Ta’ala berfirman berkaitan dengan semua peribadatan diatas:

ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الْبَاطِلُ

“Itu dikarenakan sesungguhnya Allah adalah satu-satunya Tuhan Yang Haq, dan sesungguhnya apa yang mereka seru selain Dia adalah bathil” (QS. Luqman [31): 30)

Juga firman-Nya Subahanahu Wa Ta’ala:

ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ

“Itu dikarenakan sesungguhnya Allah adalah satu-satunya Tuhan Yang Haq dan sesungguhnya apa yang mereka seru selainNya adalah yang bathil” (QS. Al Hajj [22]: 62)

Meyakini perbuatan syirik itu adalah bathil belumlah cukup, namun harus disertai meninggalkan perbuatan syirik itu. Orang yang meyakini pembuatan tumbal/sesajen itu bathil, akan tetapi karena takut akan dikucilkan masyarakatnya lalu ia melakukan hal tersebut, maka dia tidak kufur terhadap thaghut.

Sesungguhnya kufur terhadap thaghut menuntut seseorang untuk meninggalkan dan berlepas diri dari kemusyrikan tersebut. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لأبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ (٢٦) إِلا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian ibadati” (QS. Az Zukhruf [43]: 26-27).

Juga firman-Nya tentang Ibrahim ‘alaihissalam:

وَأَعْتَزِلُكُمْ وَمَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ

“Dan saya tinggalkan kalian dan apa yang kalian seru selain Allah” (QS. Maryam [19]: 48)

Orang yang meninggalkan perbuatan syirik akan tetapi dia tidak membencinya, maka dia belum kufur terhadap thaghut. Ini dikarenakan Allah mensyaratkan adanya kebencian terhadap syirik dalam merealisasikan tauhid kepada-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman tentang Ibrahim ‘alaihissalam:

إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ

“Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian ibadati” (QS. Az Zukhruf [43]: 26)

Kata bara’ (berlepas diri) dari syirik itu menuntut adanya kebencian akan adanya syirik itu. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ikatan iman yang paling kokoh adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah”

Kebencian terhadap syirik ini berbentuk realitanya yaitu tidak hadir di majelis syirik saat syirik sedang berlangsung. Sebagai contoh: orang yang hadir di tempat membuat atau mengubur tumbal yang sedang dilakukan, maka dia itu sama dengan pelakunya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ

“Dan sungguh Dia telah menurunkan kepada kalian dalam Al Kitab, yaitu bila kalian mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olok, maka janganlah kalian duduk bersama mereka sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain, karena sesungguhnya kalian (bila duduk bersama mereka saat hal itu dilakukan), berarti sama (status) kalian dengan mereka” (QS. An Nisaa’ [4]: 140)

Jadi orang yang duduk dalam majelis di mana kemusyrikan atau kekufuran sedang berlangsung atau sedang dilakukan atau dilontarkan (diucapkan) dan dia duduk tanpa dipaksa dan tanpa mengingkari hal tersebut maka dia sama kafir dan musyrik seperti para pelaku kemusyrikan tersebut.

Seandainya kalau tidak dapat mengingkari dengan lisannya, maka hal tersebut harus diingkari dengan hatinya yang berbentuk sikap meninggalkan majelis tersebut. Sungguh sebuah kesalahan fatal orang yang mengatakan: “Saya ingkar dan benci di hati saja” sedangkan dia tidak pergi meninggalkan majelis tersebut.

Oleh karenanya para shahabat pada masa khalifah Utsman radliyallahu ‘anhu ber-ijma atas kafirnya seluruh jama’ah mesjid di kota Kuffah saat salah seorang di antara mereka mengatakan: “Saya menilai apa yang dikatakan Musailamah itu bisa jadi benar” (Riwayat para penyusun As Sunan/Ashhabus Sunan) dan yang lain -yang hadir di mesjid- tidak mengingkari ucapannya seraya pergi darinya.

No comments:

Post a Comment