Damaskus, ibu kota Suriah dalam satu bulan terakhir mengalami bentrok militer yang sengit, antara tentara rezim dengan Pasukan Pembebasan Suriah. Kondisi tersebut berbarengan dengan meningkatnya penjagaan keamanan bagi pejabat-pejabat tinggi rezim, khususnya pribadi Bashar al Assad sendiri.
Di sisi lain, gelombang pembelotan dari pihak rezim semakin besar terjadi. Dan itu dilakukan oleh militer berpangkat tinggi. Mereka meminta suaka ke Turki, Urdun, atau ibukota negara Arab serta Eropa lainnya.
Kondisi Damaskus yang semakin tidak aman bagi pejabat rezim memaksa pemerintahan Bashar mengelurkan instruksi yang berlaku sejak 8 Juli 2012 silam. Instruksi tersebut berisi larangan bagi pejabat militer untuk menggunakan kendaraan kantor militer mereka. Mereka harus memakai kendaraan sipil. Instruksi tersebut menyusul keberhasilan beberapa kali operasi pembunuhan pejabat militer yang dilancarkan oleh Pasukan Pembebasan.
Dalam lingkaran kemelut yang melingkupi kota Damaskus itu, tanggal 15 Juli 2012 Pasukan Pembebasan Suriah mengumumkan operasi “Burkan (Gunung Berapi) Dimasyq.” Operasi yang segera berujung pada pertempuran sengit dengan tentara rezim di beberapa distrik: Maydan, Qabun, Mazzah, Yarmuk, Sayidah Zaynab, dll.
Tiga hari setelahnya, Rabu (18/7/2012) media rezim mengumumkan terjadinya ledakan di Gedung Kemananan Nasional. Sejumlah pejabat tinggi militer dilaporkan tewas, antara lain menteri pertahanan Jenderal Dawud Rajihah, wakil menteri pertahanan Jenderal Ashif Syawkat, konsultan presiden Jenderal Hasan Turkmeni. Rezim juga mengumumkan tewasnya Hisyam Ikhtiyar akibat luka parah yang dideritanya sejak Jumat lewat.
Namun, sumber-sumber terpercaya menegaskan bahwa media rezim sesungguhnya berupaya mengaburkan peristiwa sebenarnya. Pengumuman rezim tersebut menggambarkan seolah hanya itulah peristiwa pembunuhan yang berhasil merenggut nyawa pejabat militernya. Padahal, sebelum itu sudah ada beberapa pejabat militer yang tewas akibat diracun. Dan itu sudah terjadi dalam periode dua bulan terakhir. Hanya saja rezim enggan mengumumkannya ke publik.
Sumber di luar rezim membenarkan terjadinya ledakan di Gedung Keamanan Nasional itu, sekaligus tewasnya sejumlah pejabat militer selain yang nama-namanya diumumkan oleh media resmi. Sumber tersebut memastikan bahwa pejabat tinggi militer rezim yang hadir di Gedung ketika ledakan itu terjadi berjumlah cukup besar. Itu dibuktikan antara lain saat prosesi pelayatan rezmi jenazah Rajihah dan Turkmeni yang hanya dihadiri oleh tiga pejabat tinggi militer.
Tampaknya, operasi yang dilancarkan Pasukan Pembebebasan berdampak cukup telak bagi rezim Bashar. Sejumlah pejabat tinggi militer rezim lainnya hingga kini tidak pasti nasibnya, seperti kepala kantor intelijen umum Mayjen Ali Mamluk, kepala kantor intelijen udara Mayjen Jamil Hasan, kepala badan intelijen militer Mayjen Abulfattah Qudsiyah, kepala badan keamanan politik Mayjen Muhammad Diib Zaytun.
Nama-nama tersebut dipastikan ikut dalam pertemuan di Gedung Keamanan, tempat terjadinya ledakan. Itu selain person-person lainnya yang bukan warga negara Suriah. Sebagaimana laporan media, Bashar memanfaatkan jasa sejumlah penasehat militer dan politik Rusia dalam upayanya mempertahankan kursinya, sekaligus membantai rakyatnya.
Tapi kedaan person-person lain yang hadir dalam pertemuan itu sejara jelas belum diketahui. Pasalnya, rezim senantiasa berupaya untuk merekayasa informasi yang disebar ke publik, demi tujuan politik yang diinginkannya.
Sumber yang dekat dengan rezim menyebutkan bahwa ledakan terjadi persis di dalam ruangan pertemuan tempat berkumpulnya pejabat-pejabat tinggi militer tersebut. Bom jenis 4C dengan daya ledak tinggi namun berukuran lebih kecil dari sebuah handphone berhasil dimasukkan ke ruangan pertemuan.
Bom tersebut dapat dimasukkan berkat jasa seorang pegawai kantor keamanan nasional usia 30-an. Bom itu diperoleh sang pegawai lewat kurir kelompok revolusi yang menurut klaim rezim, bekerja untuk intelijen pihak asing.
Sejumlah kelompok perlawanan mengklaim bertanggung jawab terhadap ledakan tersebut, sesaat setelah kejadian.
Dipastikan bahwa pengumuman resmi tentang korban ledakan sengaja dilakukan rezim bersamaan dengan operasi “Burkan Dimasyq” Pasukan Pembebasan. Tujuannya, untuk menutup-nutupi nama-nama korban lainnya, serta untuk “memancing” intervensi aliansi Suriah di luar negeri.
Strategi Dimasyq tersebut tampaknya membuahkan hasil. Koran Republik Lebanon Rabu (25/7/2012) memuat pernyataan Sekjen Hizbullah di Libanon, Hasan Nasrullah. Nasrullah menawarkan secara terbuka bantuan pasukan kepada Bashar yang dapat digerakkan kapan saja Bashar kehendaki. Hizbullah merupakan milisi Syiah di Lebanon yang punya utang jasa yang besar kepada rezim Bashar. Milisi ini tumbuh dan besar dengan dukungan logistik dan persenjataan dari Suriah dan Iran.
Sebagaimana diketahui bahwa pasukan Hizbullah sebenarnya sudah lama berperan serta dalam menindas bangsa Suriah, bersama militer rezim. Mereka terlibat secara langsung di lapangan dalam upaya membungkam arus gerakan revolusi rakyat. Tapi campur tangan Hizbullah selama ini selalu ditutup-tutupi kedua belah pihak. Dengan pernyataan Hizbullah di atas, kini mereka telah terang-terangan siap mempertahankan keberadaan rezim otoriter Bashar.
Sumber lain di Damaskus mengungkap bahwa lingkaran terdekat rezim Bashar berada dalam kondisi saling curiga atas pengkhianatan sebagian dari perwira terdekat rezim. Bashar mulai sangsi terhadap loyalitas sebagian perwiranya. Laporan sebuah sumber keamanan Barat mengutip bahwa Bashar tahu adanya komunikasi rahasia antara beberapa perwiranya dengan intelijen luar negeri. Walaupun dia tidak bisa memastikan person perwira tersebut dan isi dari komunikasi yang terjadi.
Untuk itu, Bashar melakukan mutasi dan pergantian secara acak dalam pejabat militernya. Tujuannya, untuk menyingkirkan pejabat yang dia curigai. Sekaligus hal itu sebagai antisipasi kekosongan beberapa jabatan akibat pembelotan atau tewasnya sejumlah pejabat lama. Kebijakan yang pada sisi lainnya menimbulkan friksi dan menurunnya soliditas dalam lingkaran terdekat rezim.
Di lain pihak, sejumlah analis pro-revolusi rakyat mengingatkan “prototype” baru perwira militer yang desersi. Sebagian besar mereka tidak lagi bergabung ke Pasukan Pembebasan Suriah seperti yang sebelumnya. Mereka juga tidak tegas menolak atau melawan rezim Nushairiyah Bashar. “Prototype” baru itu bahkan terpecah menuju kepada dua kubu: Rusia atau Barat.
Analis tersebut curiga bahwa mereka sekadar melakukan strategi menyelamatkan diri sambil melakukan taktik “wait and see” hingga kondisi Suriah relatif stabil. Analis itu yakin bahwa kelompok baru ini adalah perwira oportunis yang berharap bisa mandapatkan jabatan tinggi pada pemerintahan pasca rezim Bashar kelak.[albayan].
SUMBER : http://
No comments:
Post a Comment