Definisi puasa:
Secara bahasa, puasa berarti menahan. Secara istilah, puasa adalah menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar kedua (shadiq) hingga terbenamnya matahari, dengan sengaja (niat).
Hukum puasa:
Segenap umat Islam sepakat bahwa hukum puasa adalah wajib. Barangsiapa berbuka pada bulan Ramadhan tanpa udzur maka dia telah melakukan suatu dosa besar.
Keutamaan puasa:
*Allah mengkhususkan puasa untuk DiriNya, memberi pahala dan melipatgandakannya tanpa hisab.
*Doa orang yang puasa tidak ditolak.
*Orang yang puasa memiliki dua kegembiraan, ketika berbuka dan ketika bertemu dengan Rabb-Nya.
*Puasa memberikan syafa’at kepada pelakunya pada hari Kiamat.
*Bau mulut orang yang puasa lebih wangi di sisi Allah daripada wangi minyak kesturi.
*Puasa adalah tameng (dari kemaksiatan) serta benteng dari Neraka.
*Barang-siapa puasa sehari di jalan Allah maka Allah akan menjauhkan dirinya dari Neraka sejauh 70 tahun.
*Di Surga terdapat pintu Ar-Rayyan, tempat masuknya orang yang suka berpuasa, dan tidak boleh masuk orang-orang selain mereka.
Adapun puasa Ramadhan secara khusus adalah merupakan rukun Islam, bulan saat diturunkannya Al-Qur’an, di dalamnya terdapat Lailatul Qadar, bila telah masuk Ramadhan segenap pintu Surga dibuka, pintu-pintu Jahannam ditutup serta setan-setan dibelenggu.
Manfaat puasa:
Puasa memiliki manfaat yang banyak sekali. Dan paling penting adalah puasa menjadikan seseorang lebih bertakwa. Lalu puasa dapat mengusir setan, membunuh syahwat, mendidik keinginan untuk senantiasa menjauhi hawa nafsu dan maksiat, membiasakan disiplin, tepat waktu serta merupakan saat permakluman kesatuan umat Islam.
Adab dan sunnah puasa:
*Makan sahur dan mengakhirkannya.
*Menyegerakan berbuka, dan ketika selesai berbuka membaca:
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
سنن أبي داود – (ج 6 / ص 308)
“Telah hilang dahaga, dan telah basah urat nadi serta telah tetap pahalanya, jika Allah menghendaki.”
*Menjauhi rafats, yakni terjerumus ke dalam perbuatan maksiat.
Termasuk yang menghilangkan kebaikan dan mendatangkan keburukan yaitu sibuk dengan kartu, sinetron, film, festifal, nongkrong dan permainan di jalanan dan semacamnya.
*Tidak mengkonsumsi makanan maupun minuman secara berlebihan.
*Dermawan dengan ilmu, harta, jabatan, akhlak dan anggota badan. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Salam adalah orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan lagi pada bulan Ramadhan.
*Menyiapkan jiwa dan fisik untuk ibadah, segera bertaubat, bersuka cita dengan masuknya bulan Ramadhan, puasa dengan sungguh-sungguh, khusyu’ dalam tarawih, tetap bersungguh-sungguh ibadah di pertengahan Ramadhan hingga akhir, berusaha mendapatkan Lailatul Qadar, memperbanyak sedekah, i’tikaf dan berbagai kebajikan lainnya.
Hukum-hukum puasa:
*Di antara jenis puasa ada yang wajib dilakukan secara sekaligus (berurutan), seperti puasa Ramadhan, puasa kaffarat (denda) karena membunuh secara tidak sengaja, karena kaffarat zhihar , dan puasa kaffarat karena bersenggama di siang hari bulan Ramadhan dsb.
*Puasa yang tidak wajib dilakukan secara sekaligus (berurutan), seperti qadha’ puasa Ramadhan, puasa sepuluh hari bagi orang haji yang tidak mendapatkan hewan hadyu (sembelihan) dsb.
*Puasa sunnah dapat menyempurnakan puasa wajib.
*Dilarang mengkhususkan hari Jum’at untuk berpuasa, juga hari Sabtu, puasa sepanjang tahun, menyambung puasa (tidak berbuka), dan diharamkan pula puasa pada dua hari Raya dan pada hari-hari tasyriq (11,12,13 Dzul Hijjah).
Masuknya bulan Ramadhan:
Permulaan bulan puasa ditentukan dengan melihat bulan (ru’yatul hilal), atau dengan menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Adapun mendasarkannya pada hisab maka hukumnya adalah bid’ah.
Kewajiban puasa:
*Puasa diwajibkan atas setiap muslim yang baligh, berakal, mukim (tidak musafir), mampu, dan bebas dari berbagai halangan, seperti haid dan nifas.
*Anak yang berusia 7 tahun dianjurkan berpuasa jika mampu, dan sebagian ahli ilmu berpendapat agar dipukul anak usia 10 tahun yang tidak berpuasa, sebagaimana dalam masalah shalat.
*Jika ada orang kafir masuk Islam atau anak mencapai usia baligh atau orang gila menjadi sadar pada siang hari maka mereka harus menahan diri (dari makan dan minum) pada sisa harinya, namun mereka tidak wajib mengqadha’ hari-hari yang ia tidak berpuasa karenanya.
*Orang gila bebas dari kewajiban puasa. Jika kadang-kadang gila dan kadang-kadang sadar maka ia wajib puasa saat sadar, demikian pula hukumnya dengan orang yang kesurupan.
*Orang yang meninggal di pertengahan bulan Ramadhan maka tidak ada kewajiban baginya, juga tidak bagi walinya untuk mengqadha’ sisa hari-hari puasanya.
*Orang yang tidak mengetahui wajibnya puasa pada bulan Ramadhan atau tidak mengetahui diharamkannya makanan atau bersenggama di siang hari bulan Ramadhan maka menurut jumhur (mayoritas) ulama ia diterima alasannya (ma’dzur), dengan catatan ma’dzur pula orang lain yang seperti dirinya. Adapun orang yang hidup di tengah kaum muslimin dan memungkinkan baginya untuk bertanya atau belajar maka dia tidak termasuk orang yang ma’dzur.
Puasa musafir (orang yang bepergian):
*Dibolehkan bagi musafir untuk berbuka dengan syarat; mencapai jarak tempuh minimal safar (bepergian) atau menurut umumnya, perjalanan yang dilakukannya disebut safar, lalu safar yang dilakukannya bukan untuk tujuan maksiat dan bukan sebagai siasat agar bisa berbuka.
*Menurut kesepakatan umat, seorang musafir boleh berbuka, baik ia mampu melanjutkan puasanya atau tidak, atau berat baginya puasa maupun tidak.
*Orang yang hendak bepergian di bulan Ramadhan tidak boleh meniatkan berbuka kecuali ia telah berangkat, dan ia tidak boleh berbuka kecuali setelah keluar dan meninggalkan kampungnya.
*Jika matahari telah terbenam lalu ia berbuka saat di darat, kemudian ketika pesawat telah jauh terbang meninggi ia melihat matahari maka tidak wajib baginya menahan diri dari makan minum, sebab ia telah menyempurnakan puasanya pada hari itu.
*Orang musafir yang sampai di suatu negeri/ daerah lalu dia berniat tinggal di sana lebih dari empat hari maka ia wajib berpuasa, demikian menurut mayoritas ahli ilmu.
*Jika seseorang berpuasa di suatu negeri, lalu ia pergi ke negeri lain yang berpuasa sehari sebelum atau sesudah negerinya, maka hukum orang itu adalah sama dengan negeri tujuannya (dalam berbuka, idul fithri dsb).
Puasa orang sakit:
*Sesuatu yang ringan, seperti batuk atau pusing tidak boleh menjadikan seseorang membatalkan puasanya. Tetapi jika menurut pemeriksaan dokter atau menurut kebiasaan, sakit tersebut makin berbahaya atau membuat lama sembuhnya jika yang bersangkutan puasa maka boleh baginya berbuka, bahkan makruh baginya berpuasa.
*Jika puasa menyebabkannya pingsan maka dibolehkan baginya berbuka tapi wajib mengqadha’. Jika dia pingsan di tengah hari lalu sadar sebelum terbenam matahari atau sesudahnya maka puasanya sah, jika masih dalam keadaan puasa. Namun jika pingsannya tersebut sejak fajar hingga terbenam matahari (Maghrib) maka menurut jumhur ulama puasanya batal. Sedangkan qadha’ puasa karena pingsan adalah wajib.
*Barangsiapa diserang lapar atau haus yang sangat sehingga ditakutkan membinasakan dirinya atau diduga kuat membuat tidak berfungsinya sebagian inderanya maka ia boleh berbuka lalu mengqadhanya.
*Para pekerja berat tidak boleh berbuka puasa. Tetapi jika meninggalkan kerja membahayakan dirinya, dan ia takut binasa di tengah hari maka boleh baginya berbuka lalu mengqadhanya. Adapun ujian di sekolah atau di universitas maka hal itu bukanlah suatu udzur (alasan) untuk boleh berbuka puasa.
*Orang sakit yang diharapkan sembuhnya maka setelah sembuh ia harus mengqadha puasanya dan tidak boleh menggantinya dengan fidyah (memberi makanan). Adapun orang sakit yang tidak ada harapan sembuh, demikian pula dengan orang yang tua renta, maka tiap harinya dia memberi makan satu orang miskin sebanyak setengah sha’ (kurang lebih 1,25 kg.) dari makanan pokok negerinya (seperti beras).
*Orang yang sakit lalu sembuh dan memungkinkan baginya untuk mengqadha, tetapi belum dilakukannya sampai ia meninggal dunia maka harus dikeluarkan dari sebagian hartanya untuk memberi makan orang miskin dengan hitungan sebanyak hari yang ditinggalkannya. Jika salah seorang kerabatnya berpuasa untuknya, maka hal itu dibolehkan.
Puasa orang lanjut usia yang lemah:
*Wanita tua renta dan kakek lemah yang tak mempunyai kekuatan tidak wajib berpuasa. Mereka boleh berbuka selama tak mampu berpuasa, tetapi wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan setiap harinya satu orang miskin kurang lebih 1,25 kg makanan pokok negerinya. Adapun orang tua yang tak bisa membedakan lagi dan telah pikun, maka tidak wajib baginya atau bagi keluarganya sesuatu apapun, karena tidak ada taklif atasnya (pembebanan syariat).
*Barangsiapa memerangi musuh atau ada musuh yang mengepung negerinya, sedang puasa bisa melemahkannya dari musuh, maka ia boleh berbuka meskipun tanpa safar, demikian pula jika ia memerlukan berbuka sebelum berperang, maka hal itu dibolehkan.
*Barangsiapa sebab berbukanya karena sesuatu yang tampak, seperti sakit maka boleh baginya berbuka dengan menampakkannya pula. Dan barangsiapa yang sebab berbukanya adalah sesuatu yang tersembunyi, seperti haid maka lebih utama baginya untuk berbuka secara sembunyi-sembunyi karena ditakutkan adanya prasangka buruk atasnya.
Niat puasa:
*Niat disyaratkan dalam puasa Ramadhan, juga puasa wajib lainnya seperti puasa qadha’ dan kaffarat. Dan hendaknya niat itu dilakukan di malam hari, meskipun beberapa saat sebelum terbitnya fajar. Niat adalah keinginan hati untuk melakukan suatu perbuatan tanpa diikuti dengan ucapan. Orang yang berpuasa Ramadhan tidak perlu memperbaharui niatnya setiap malam Ramadhan, tetapi cukup baginya niat puasa Ramadhan (sebulan) ketika telah masuk bulan Ramadhan.
*Puasa sunnah mutlak tidak disyaratkan niat sejak malam hari. Adapun puasa sunnah tertentu (puasa Arafah misalnya), maka yang lebih hati-hati adalah hendaknya diniatkan sejak malam hari.
Barangsiapa melakukan puasa wajib seperti puasa qadha’, nadzar dan kaffarat maka ia harus menyempurnakan puasanya dan tidak boleh berbuka tanpa udzur. Sedangkan orang yang puasa sunnah, maka jika dia menghendaki boleh berbuka, meskipun tanpa udzur.
~ Orang yang tidak mengetahui telah masuknya bulan Ramadhan kecuali setelah terbit fajar maka hendaknya ia menahan dari makan dan minum pada hari itu, lalu mengqadha’nya pada hari lain.
Demikian menurut jumhur (mayoritas) ulama.
~ Orang yang dipenjara atau ditawan, jika mengetahui masuknya bulan Ramadhan dengan menyaksikan atau mendengar berita dari orang yang terpercaya maka ia wajib berpuasa. Jika tidak, maka hendaknya ia berijtihad sendiri dan melakukan apa yang paling kuat menurut dugaannya.
Berbuka dan menahan diri (puasa):
*Bila seluruh matahari telah tenggelam maka itulah waktu berbuka bagi orang yang puasa. Dan tidak ada pengaruhnya warna merah yang masih tampak di ufuk.
*Jika fajar telah terbit, maka orang yang berpuasa wajib menahan diri (dari makan dan minum serta yang membatalkan puasa) seketika, baik mendengar adzan atau tidak. Adapun menahan diri -sebagai bentuk kehati-hatian- sebelum fajar sekitar 10 menit (padahal masih membutuhkan makan dan minum) maka hal itu tidak dibenarkan.
*Negeri yang malam dan siangnya sepanjang 24 jam maka bagi umat Islam di dalamnya wajib berpuasa, meskipun siangnya lebih lama dari malamnya.
Yang membatalkan puasa:
Seseorang yang membatalkan puasanya -selain karena haid dan nifas- tidak dikatakan membatalkan puasanya kecuali dengan tiga syarat;
*Hendaknya dalam keadaan mengerti, tidak bodoh;
*Dalam keadaan ingat, bukan sedang lupa;
*Dengan keinginan sendiri, bukan dipaksa. Adapun yang termasuk pembatal puasa adalah bersetubuh, sengaja muntah, ihtijam (bekam) serta makan dan minum dengan sengaja.
Termasuk pembatal puasa yang semakna dengan makan dan minum adalah obat-obatan atau serbuk yang ditelan melalui mulut, suntikan yang mengenyangkan, demikian juga transfusi darah. Adapun suntikan yang bukan merupakan pengganti makan atau minum, tetapi untuk pengobatan, maka hal itu tidak membahayakan puasa, membersihkan ginjal juga tidak membatalkan puasa. Dan menurut pendapat yang kuat, obat tetes mata dan telinga, mencopot gigi serta mengobati luka, tidaklah membatalkan puasa. Demikian pula dengan mengambil darah untuk diagnosa tidak membatalkan puasa. Obat tenggorokan selama tidak ditelan juga tidak membatalkan. Dan barangsiapa menambal giginya lalu mendapatkan rasa mint (sejuk) atau lainnya di tenggorokannya maka hal itu tidak membatalkan puasanya.
*Barangsiapa makan atau minum dengan sengaja pada siang hari bulan Ramadhan tanpa udzur maka dia telah berbuat dosa besar, ia harus tobat dan mengqadha’ (mengganti) puasanya.
*Jika ia lupa lalu makan dan minum maka hendaknya ia tetap melanjutkan puasanya, karena itu merupakan karunia dari Allah. Jika melihat orang lain makan dan minum karena lupa maka ia harus mengingatkannya. d. Barangsiapa membutuh-kan berbuka untuk menolong orang yang mau binasa maka hendaknya ia berbuka dan mengqadha’ puasanya.
*Barangsiapa menyetubuhi isterinya pada siang hari Ramadhan dengan sengaja dan tanpa dipaksa maka dia telah merusak puasanya. Ia wajib bertobat dan melanjutkan puasanya pada hari itu serta wajib mengqadha’ dan membayar kaffarat mughallazhah (denda berat). Dan hal yang sama juga berlaku hukumnya pada orang yang berzina, melakukan homoseksual atau menyetubuhi binatang.
*Jika ia berkeinginan menyetubuhi isterinya lalu berbuka terlebih dahulu dengan makan atau minum maka dosanya lebih besar, sebab dia telah mencemarkan kesucian Ramadhan dua kali, yakni dengan makan dan bersetubuh.
*Seorang suami yang mencium, bermesraan, berpelukan, bersentuhan dan memandang berkali-kali terhadap isterinya, jika bisa mengendalikan nafsunya adalah dibolehkan, tetapi jika ia orang yang mudah terangsang birahinya maka hal itu tidak dibolehkan.
*Jika ia sedang menyetubuhi isterinya tiba-tiba terbit fajar (terdengar adzan) maka ia harus segera menyudahinya. Puasanya tetap sah, meskipun ia mengeluarkan mani setelah menyudahinya. Jika ia masih tetap melanjutkannya padahal fajar telah terbit berarti ia telah berbuka, dan karenanya ia wajib tobat, mengqadha’ puasanya dan membayar kaffarat mughallazhah.
*Jika pagi hari ia dalam keadaan junub, maka hal itu tidak membatalkan puasanya. Ia boleh mengakhirkan mandi dari junub, haid dan nifas hingga setelah terbit fajar, tetapi ia harus bersegera sehingga mendapatkan shalat Shubuh berjamaah.
*Jika orang yang puasa mimpi dengan mengeluarkan mani maka hal itu tidak membatalkan puasanya menurut ijma’ (kesepakatan) ulama, dan ia tetap wajib melanjutkan puasanya.
*Barangsiapa yang mengeluarkan mani pada siang hari bulan Ramadhan dengan sesuatu yang mungkin dijaga, seperti menyentuh atau memandang yang berulang-ulang maka ia wajib bertobat kepada Allah dan menahan diri dari makan dan minum pada sisa harinya, lalu ia wajib mengqadhanya pada hari lain.
*Barangsiapa muntah tanpa sengaja maka tidak wajib mengqadha’ puasanya, tetapi barangsiapa muntah dengan sengaja maka ia wajib mengqadha-nya. Adapun mengunyah permen karet manis atau ada rasa lain maka mengunyahnya adalah haram. Jika ada sesuatu yang masuk ke tenggorokan karenanya maka batal puasanya. Adapun dahak atau ingus, jika ia telan sebelum sampai di mulut maka tidaklah membatalkan puasa, jika ia telan setelah sampai di mulut maka menjadi batal puasanya. Adapun mencicipi makanan tanpa diperlukan hukumnya makruh.
*Siwak hukumnya sunnah bagi orang yang puasa pada sepanjang siang hari.
*Sesuatu yang terjadi pada orang puasa seperti luka, mimisan, masuknya air atau cairan lain ke tenggorokannya tanpa ia sengaja maka hal itu tidak merusak puasa. Demikian pula halnya meminyaki rambut atau kumis, atau mencium wangi-wangian.
*Merokok adalah salah satu yang membatalkan puasa. Dan ia tidak boleh menjadi sebab sehingga seseorang meninggalkan puasa.
*Berendam di dalam air atau berselimut dengan kain yang dibasahi untuk mendapatkan kesejukan tidaklah mengapa bagi orang yang berpuasa.
*Jika seseorang makan, minum atau menyetubuhi isterinya karena mengira waktu masih malam, tetapi ternyata telah terbit fajar maka ia tidak berdosa dan tetap melanjutkan puasanya.
*Jika ia berbuka karena mengira matahari telah tenggelam padahal belum, maka menurut jumhur ulama ia wajib mengqadha puasanya.
*Jika telah terbit fajar sedang di mulutnya masih ada makanan atau minuman maka para fuqaha sepakat bahwa ia harus memuntahkannya dan puasanya sah.
Hukum puasa wanita:
~ Jika wanita melihat lendir putih dan dia tahu bahwa ia telah suci maka ia wajib meniatkan puasa sejak malam. Jika ia tidak mengetahui tentang status kesuciannya maka hendaknya ia mengusapnya dengan kapas atau sejenisnya. Jika kapas itu dikeluarkan dalam keadaan bersih maka ia berpuasa.
Dan seorang wanita yang haid atau nifas, jika darahnya berhenti pada malam hari lalu niat puasa, kemudian terbit fajar sebelum ia mandi maka menurut segenap ulama, puasanya adalah sah.
1. Wanita yang mengetahui bahwa kebiasaan haidnya adalah besok misalnya, maka ia tetap harus dalam niat puasa, dan tidak boleh berbuka sampai ia melihat ada darah.
2. Yang paling utama bagi wanita haid adalah menerima sunnatullah pada dirinya, ridha dengannya dan tidak mencari jalan untuk menghentikan haid pada bulan Ramadhan.
3. Jika wanita hamil keguguran, dan janinnya telah berbentuk maka ia dalam keadaan nifas dan tidak boleh berpuasa. Jika belum berbentuk maka ia adalah darah istihadhah (penyakit) dan wajib berpuasa jika ia mampu. Orang yang nifas jika telah suci sebelum 40 hari maka ia harus puasa dan mandi untuk shalat. Dan jika lebih dari 40 hari maka ia niat puasa dan mandi serta darah yang keluar dianggap darah istihadhah.
4. Pendapat yang kuat adalah mengqiyaskan orang hamil dan menyusui dengan orang sakit. Keduanya boleh berbuka dan tidak ada kewajiban lain selain qadha, baik tidak puasa karena takut terhadap dirinya atau terhadap anak yang dikandungnya.
5. Perempuan yang wajib puasa jika disetubuhi oleh suaminya pada siang hari Ramadhan dengan kerelaannya maka hukum baginya adalah sama dengan hukum suaminya.Tetapi jika ia dipaksa maka ia harus berusaha menolaknya, dan ia tidak wajib membayar kaffarat karenanya.
(Dinukil dari 70 Mas’alatan fish Shiyam, Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid/ain).
Oleh : Al-Sofwah Rabu, 07 April 04
Kewajiban Mengqadha dan Membayar Kafarat
Para ulama sepakat atas kewajiban mengqadha disertai membayar kafarat yang diberatkan dalam kondisi melakukan jima’ (bersetubuh) dengan sengaja di siang bulan Ramadhan. Hal ini berdasarkan hadits
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ هَلَكْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ وَمَا أَهْلَكَكَ قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي فِي رَمَضَانَ قَالَ هَلْ تَجِدُ مَا تُعْتِقُ رَقَبَةً قَالَ لَا قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ لَا قَالَ فَهَلْ تَجِدُ مَا تُطْعِمُ سِتِّينَ مِسْكِينًا قَالَ لَا قَالَ ثُمَّ جَلَسَ فَأُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهِ تَمْرٌ فَقَالَ تَصَدَّقْ بِهَذَا قَالَ أَفْقَرَ مِنَّا فَمَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ إِلَيْهِ مِنَّا فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa seorang laki-laki datang ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata, “Binasalah aku, wahai Rasulullah!” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Ada apa dengan-mu?” Ia menjawab, “Aku telah bersetubuh dengan isteriku di (siang) bulan Ramadhan.” Beliau berkata, “Kamu memiliki seorang budak?” Ia berkata, “Tidak.” Beliau berkata lagi, “Kamu mampu berpuasa dua bulan secara berturut-turut?” Ia menjawab, “Tidak.” Beliau berkata lagi, “Kamu mampu memberi makan enam puluh orang miskin?” Ia menjawab, “Tidak.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Hadits ini menunjukkan kewajiban membayar kafarat atas orang yang bersetubuh secara sengaja di siang bulan Ramadhan menurut urutannya alias wajib membebaskan budak dulu; bila tidak mampu, maka berpuasa dua bulan berturut-turut; bila tidak mampu, maka memberi makan enam puluh orang miskin. Tidak boleh berpindah dari satu kondisi ke kondisi yang lain, kecuali bila tidak mampu melakukan-nya.
Terkait dengan kafarat ini, maka tidak boleh diberikan kepada keluarga yang mampu, tetapi wajib diberikan kepada kaum fakir dan miskin. Demikian pula, wajib melakukan puasa selama dua bulan berturut-turut, bila terputus karena ada ‘udzur, maka setelah ‘udzur itu hilang, ia dapat memulai berdasarkan jumlah puasa yang sebelumnya. Adapun jika terputus karena tanpa ‘udzur, maka ia harus mengulangi puasa dari awal dan puasa yang telah dilakukannya itu tidak dianggap.
http://www.alsofwah.or.id/
(nahimunkar.com)
sumber: http://nahimunkar.com/
No comments:
Post a Comment