Monday, August 6, 2012

FIR’AUNISME (Tuhan macam apa yang diklaim oleh Fir’aun…?)


Oleh: Ust. Abu Sulaiman Aman Abdurrahman (Fakallahu ‘Asrah)


Segala puji hanya bagi Allah Rabbul’alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya dan para shahabatnya seluruhnya.

Sering sekali kita mendengar ucapan: “Alangkah durjananya Fir’aun, bagaimana bisa dia mengaku tuhan dan membunuhi anak-anak laki-laki?”. Ada pertanyaan yang harus dijawab: Ketuhanan macam apa yang diklaim oleh Fir’aun saat dia mengatakan:

“Akulah tuhan kalian yang paling tinggi” (An Nazi’at: 24)

Dan saat Dia mengatakan:

“Dan berkata Fir’aun: “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui Tuhan bagi kalian selain aku” (Al Qashash: 38)
Apakah dia mengklaim menciptakan langit dan bumi beserta isinya? Apakah dia mengklaim memiliki manfaat dan madlarat? Dan apakah bentuk peribadatan kaum Fir’aun kepadanya? Serta apakah ada orang-orang di zaman sekarang yang seperti Fir’aun?

Mari kita kupas dengan merujuk kepada dalil-dalil syar’iy lalu kita hubungkan dengan realita…

Katahuilah, bahwa Fir’aun sama sekali tidak mengaku sebagai pencipta langit dan bumi, dia mengetahui benar bahwa dirinya terlahir dari manusia, dan apa yang ada di sekitarnya bukanlah dia yang menciptakan, oleh sebab itu Musa ‘alaihissalam berkata kepadanya:

“Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Tuhan yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata”. (Al Isra: 102)

Jadi, Fir’aun tidak mengklaim penciptaan langit dan bumi beserta isinya…

Fir’aun juga tidak mengaku bisa mendatangkan manfaat atau menolak bala, buktinya adalah tatkala Allah mengirimkan taufan, belalang, kutu, katak, dan air minum menjadi darah, maka Fir’aun dan kroni-kroninya malah datang meminta do’a kepada nabi Musa agar diselamatkan dari adzab yang menimpa mereka, sebagaimana yang Allah ta’ala kisahkan kepada kita:

“Dan ketika mereka ditimpa azab (yang telah diterangkan itu) merekapun berkata: “Hai Musa, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhamnu dengan (perantaraan) kenabian yang diketahui Allah ada pada sisimu. Sesungguhnya jika kamu dapat menghilangkan azab itu dan pada kami, pasti kami akan beriman kepadamu dan akan kami biarkan Bani Israil pergi bersamamu”. (Al A’raf: 134)

Buktinya juga adalah bahwa dia meminta bantuan para tukang sihir untuk mengalahkan mukjizat nabi Musa ‘alaihissalam dan dia meminta pendapat para pejabat negerinya dalam menanggulangi mukjizat nabi Musa ‘alaihissalam:

“Fir’aun berkata kepada pembesar-pembesar yang berada sekelilingnya: “Sesungguhnya Musa ini benar-benar seorang ahli sihir yang pandai, ia hendak mengusir kamu dari negerimu sendiri dengan sihirnya; maka karena itu apakah yang kamu anjurkan?” (Asy Syu’ara: 34-35)

Dan firman-Nya ta’ala tentang ucapan Fir’aun kepada khalayak:

“Semoga kita mengikuti ahli-ahli sihir jika mereka adalah orang-orang yang menang” (Asy Syu’ara: 40)

Jadi kalau demikian keadaannya, apa sebenarnya ketuhanan yang diklaim Fir’aun itu? dan apa bentuk peribadatan rakyat Mesir kepadanya, serta bagaimana kaitannya dengan realita masa sekarang?

Saya akan memahamkan dulu kepada sifat khusus ketuhanan yang berkaitan dengan hal ini, kemudian menghubungkan dengan kisah Fir’aun zaman Nabi Musa ‘alaihissalam dan dengan realita Fir’aun-Fir’aun masa sekarang…

Di antara sifat khusus ketuhanan Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah al hukmu wa at tasyri’ (kewenangan pembuatan hukum) yang tidak boleh disandarkan kepada selain-Nya, sebagaimana firman-Nya:

“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah” (Al An’am: 57).

Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:

“Dan bagi-Nyalah segala penentuan hukum dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan”. (Al Qashash: 70)

Dikarenakan Allah ta’ala adalah yang menciptakan semua makhluk, maka hanya Dia-lah yang berhak memerintahkan dan menetapkan hukum sebagaimana firman-Nya:

“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah”. (Al A’raf: 54)

Penyandaran kewenangan pembuatan hukum itu adalah ibadah yang hanya disandarkan kepada Allah ta’ala dan tidak boleh disandarkan kepada selain Allah ta’ala, sebagaimana firman-Nya:

“Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak beribadah kecuali kepada Dia” (Yusuf: 40)

Dan dikarenakan ini adalah hak khusus Allah, maka dia tidak menjadikan satupun sebagai sekutu-Nya di dalam penentuan hukum ini, sebagaimana firman-Nya:

“Dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan hukum”. (Al Kahfi: 26)

Dan dalam qira’ah Ibnu Amir yang mutawatir dibaca: “Dan janganlah kamu menyekutukan seorangpun di dalam (hak) menetapkan hukum” (Al Kahfi: 26)

Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebut para pembuat undang-undang atau hukum selain Dia sebagai sekutu-sekutu yang diibadati selain-Nya, sebagaimana di dalam firman-Nya:

“Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka ajaran yang tidak diizinkan Allah?”. (Asy Syura: 21)

Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mencap para pembuat hukum selain Diri-Nya sebagai arbab (tuhan-tuhan yang diibadati) selain Allah, sebagaimana firman-Nya:

“Mereka (orang-orang Nashrani) menjadikan orang-orang alimnya (ahli ilmu) dan rahib-rahib (para pendeta) mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (At Taubah: 31)

Dalam ayat ini Allah memvonis orang Nashrani dengan lima vonis:

1. Mereka telah mempertuhankan para alim ulama dan para rahib

2. Mereka telah beribadah kepada selain Allah, yaitu kepada alim ulama dan para rahib

3. Mereka telah melanggar Laa ilaaha illallaah

4. Mereka telah musyrik

5. Para alim ulama dan para rahib itu telah memposisikan dirinya sebagi arbab.

Bentuk ketuhanan macam apa yang mereka klaim dan bentuk peribadatan macam apa yang dilakukan oleh orang-orang Nashrani kepada alim ulama dan para pendetanya? Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan hal itu di dalam hadits hasan dari ‘Adiy ibnu Hatim, ia datang ─saat masih Nashrani─ berkata: “Kami tidak pernah mengibadati mereka”. Di sini ‘Adiy ibnu Hatim dan orang-orang Nashrani merasa tidak pernah beribadah kepada alim ulama dan para pendeta, karena mereka tidak pernah sujud dan shalat kepadanya, dan mereka tidak paham apa yang dimaksud dengan peribadatan dan pentuhanan alim ulama dan pendeta itu, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hal itu seraya berkata: “Bukankah mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan terus kalian ikut menghalalkannya, dan bukankah mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan terus kalian ikut mengharamkannya?”, maka ‘Adiy berkkata: “Ya, benar”, maka Rasulullah berkata lagi: “Itulah bentuk peribadatan kepada mereka”. Yaitu: bukankah mereka membuat hukum dan kalian mematuhi atau menyetujui dan menjadikan hukum mereka sebagai acuan?, dan ‘Adiy mengiakannya.

Jadi, pemposisian diri sebagai tuhan di sini adalah dengan pengklaiman atau pengakuan akan keberhakkan pembuatan hukum dan undang-undang yang mana itu merupakkan hak khusus Allah. Oleh sebab itu Allah ta’ala mencap para penggulir hukum atau ajaran atau undang-undang selain Diri-Nya sebagai syuraka (sekutu-sekutu) yang diibadati oleh kaum musyrikin, sebagaimana di dalam firman-Nya:

“Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka ajaran yang tidak diizinkan Allah?”. (Asy Syura: 21)

Sedangkan bentuk peribadatan yang dilakukan oleh kaum Nashrani itu bukanlah sujud, ruku’, akan tetapi dengan ketaatan, kepatuhan, dan kesetiaan kepada hukum yang mereka buat. Oleh sebab itu Allah ta’ala mencap MUSYRIK orang-orang yang mentaati para pembuat hukum dalam hukum yang mereka buat, dan Dia mencap hukum buatan itu sebagai wahyu (bisikan) syaitan di dalam firman-Nya:

“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kalian; dan jika kalian mentaati mereka, sesungguhnya kalian tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (Al An’am: 121)

Al Imam Al Hakim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dengan sanad yang shahih bahwa kaum musyrikin mendebat kaum muslimin agar menyetujui mereka perihal penghalalan bangkai seraya mengatakan: “Apa yang disembelih kalian dengan tangan kalian adalah halal, sedangkan apa yang disembelih Allah dengan tangan-Nya yaitu ─bangkai─ adalah haram”. Dengan ucapan ini mereka mendesak kaum muslimin agar menyetujui penghalalan bangkai, namun Allah ta’ala menghati-hatikan kaum muslimin dengan firman-Nya: “dan jika kalian mentaati mereka, sesungguhnya kalian tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (Al An’am: 121)

Di dalam ayat ini Allah menetapkan beberapa hal:

1. Hukum yang bukan dari Allah adalah bisikan syaitan,

2. Orang-orang yang membuat hukum adalah wali-wali (kawan-kawan) syaitan,

3. Membuat atau menyetujui satu hukum saja adalah merupakan kemusyrikan,

4. Peribadatan kepada pembuat hukum selain Allah ta’ala adalah dengan ketaatan, kepatuhan, kesetiaan kepada hukum tersebut,

5. Orang yang menyetujui hukum buatan walaupun hanya satu hukum saja, maka dia adalah orang musyrik.

Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithiy rahimahullah berkata saat menjelaskan ayat tersebut: “Bahwa setiap orang yang mengikuti aturan, undang-undang dan hukum yang menyelisihi apa yang Allah syari’atkan lewat lisan Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia itu musyrik kepada Allah, kafir lagi menjadikan yang diikutinya itu sebagai rabb (tuhan)”, (Al Hakimiyyah Fi Tafsir Adlwaul Bayan: … )

Bila anda telah memahami bahwa pengklaiman keberhakkan membuat hukum adalah pengklaiman ketuhanan, maka anda akan memahami bahwa ketuhanan yang diklaim Fir’aun itu adalah ketuhanan semacam ini, yaitu bahwa dirinyalah yang berhak membuat hukum dan hukumnyalah yang paling tinggi [“Akulah tuhan kalian yang paling tinggi” (An Nazi’at: 24)] serta tidak ada tuhan pembuat selain dirinya [“Dan berkata Fir'aun: “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui Tuhan bagi kalian selain aku” (Al Qashash: 38)], dan barangsiapa yang mengikuti hukum selainnya maka akan mendapat ancaman penjara:

“Fir’aun berkata: “Sungguh jika kamu menyembah Tuhan selain Aku, benar-benar aku akan menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan”. (Asy Syu’ara: 29)

Dan anda juga memahami bahwa peribadatan kaum Fir’aun kepadanya adalah bukan dengan shalat dan do’a kepadanya, akan tetapi dengan kepatuhan, ketaatan, kesetiaan kepada produk hukumnya:

“Maka Fir’aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya”. (Az Zukhruf: 54)

Fir’aun dan para pembesar kaumnya berkata perihal Musa dan Harum ‘alaihimas salam:

“Dan mereka berkata: “Apakah (patut) kita percaya kepada dua orang manusia seperti kita (juga), Padahal kaum mereka (Bani Israil) adalah orang-orang yang menghambakan diri kepada kita?” (Al Mukminun: 47)

Para ulama tafsir menjelaskan bahwa ayat: “Orang-orang yang menghambakan diri” adalah orang-orang yang mentaati, sebagaimana firman-Nya:

“Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu”. (Yasin: 60)

Makna menyembah syaitan adalah mengikuti atau mentaati syaitan.

Bila anda telah memahami macam ketuhanan yang diklaim Fir’aun, maka mari kita mengenal Fir’aun-Fir’aun zaman sekarang di negeri ini…

Untuk mengetahui Fir’aun-Fir’aun di negeri ini adalah sangat mudah, cukup dengan membuka kitab yang diimani kaum musyrikin di negeri ini dan yang lebih mereka sucikan daripada Al Qur’an Al Karim, yaitu Undang Undang Dasar 1945 yang selalu mereka junjung tinggi dalam setiap kesempatan.

Setiap orang atau lembaga yang diberi kewenangan pembuatan hukum atau undang-undang, maka ia itu adalah yang dipertuhankan, sama dengan Fir’aun, di antaranya adalah MPR berdasarkan Undang Undang Dasar bab III pasal 3 (1):

“Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang Undang Dasar”

Lembaga Fir’aunisme yang lain adalah DPR berdasarkan Bab VII pasal 20 (1):

“Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”

Juga sebagaimana yang dikatakan dalam bab VII pasal 21 (1):

“Anggota DPR berhak mengajukan usul rancangan undang-undang”

Juga di dalam Bab III pasal 5 (1):

“Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”

Serta pasal-pasal lainnya yang memberikan hak ketuhanan (baca: pembuatan hukum) kepada orang atau lembaga-lembaga tertentu.

Bila anda memahami ketuhanan semacam ini, maka anda akan mengetahui bahwa gedung-gedung Parlemen itu adalah sama dengan candi-candi tempat pemujaan kaum musyrikin. Bila di candi-candi itu dipajang patung-patung berhala yang diibadati dengan sujud, do’a dan pesembahan sesajian, maka di gedung Parlemen itu dipenuhi oleh berhala-berhala hidup yang diibadati dengan ketaatan terhadap hukum dan undang-undang yang mereka gulirkan.

Bila dahulu sebagian kaum musyrikin Arab membuat tuhan dari adonan roti yang mereka sembah dan bila lapar maka mereka memakannya dan kemudian membuat yang baru lagi untuk mereka sembah, maka demikian juga kaum musyrikin hukum; mereka membuat hukum lalu mereka mengibadatinya dengan ketaatan, dan bila sudah tidak layak lagi maka mereka menyantapnya berama-ramai dengan amandemen dan revisi, kemudian mereka membuat adonan hukum baru, mereka menggodoknya dan terus mereka menggulirkannya untuk diibadati… “Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”.

Umar ibnul Khaththab radliyallahu’anhu berkata: “Ikatan-ikatan Islam ini hanyalah terurai satu demi satu bila tumbuh di dalam Islam ini orang yang tidak mengenal Jahiliyyah”

Adapun kejahatan Fir’aun dahulu adalah membunuh anak-anak laki-laki dari keluargaorang-orang yang beriman, menngancam orang-orang yang membangkang kepada undang-undang dan ajarannya dengan ancaman pembunuhan dan penjara, menuduh orang-orang yang beriman sebagai penebar ajaran sesat dan kerusakan, menuduh mereka ingin merampas kekuasaan dari tangannya, serta tuduhan lainnya…

Adapun pembunuhan setiap anak laki-laki, maka seperti dikatakannya: [“Bunuhlah anak-anak orang-orang yang beriman” (Al Mukmin: 25)]. Karena jika dibiarkan, Fir’aun khawatir anak-anak itu membawa petaka bagi kekuasaannya di masa mendatang, namun walaupun mereka dibunuh fisiknya, tapi mereka berada di atas fithrahnya yang bersih, sehingga mereka insyaAllah masuk surga berdasarkan hadits-hadits shahih perihal anak orang mukmin yang meninggal sebelum akil baligh.

Berbeda halnya dengan Fir’aun-Fir’aun zaman sekarang dimana mereka itu lebih jahat daripada Fir’aun zaman dulu. Fir’aun-Fir’aun zaman sekarang membunuh fithrah anak-anak melalui pendidikan-pendidikan di sekolah-sekolah milik thaghut, menjauhkan anak-anak dari tauhid dan mendoktrin mereka agar loyal dan setia kepada Fir’aun zaman sekarang dan undang-undangnya, karena orang yang mati fithrah tauhidnya maka hakikatnya adalah orang yang sudah mati:

“Dan Apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu Dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya?” (Al An’am: 122)

Mereka tumbuh dewasa sebagai orang-orang musyrik yang setia kepada system dan perundang-undangan yang dibuat Fir’aun itu, dan andai mereka mati di atas keadaan seperti ini maka mereka mati dalam keadaan kafir yang mana hal itu mengkekalkan di dalam neraka. Jadi nyata dan jelas bahwa Fir’aun-Fir’aun zaman sekarang lebih jahat daripada Fir’aun zaman dahulu.

Dan saat Fir’aun-Fir’aun zaman sekarang tidak mampu merubah fithrah anak kaum muslimin, baik karena kaum muslimin paham akan hal ini dan menjauhkan anak-anak mereka dari sekolah-sekolah Fir’aun serta mendidiknya di atas tauhid, ataupun saat dewasa anak-anak itu Allah ta’ala bukakan hatinya untuk menerima tauhid dan berbalik memusuhi dan menentang Fir’aun dan sistemnya, maka Fir’aun-Fir’aun itu akan menggunakan cara-cara yang pernah digunakan Fir’aun zaman dulu, yaitu seperti:

Pembunuhan:

“Dan berkata Fir’aun (kepada pembesar-pembesarnya): “Biarkanlah aku membunuh Musa”. (Al Mukmin: 26)

Penyiksaan yang sadis, sebagaimana yang dilakukan kepada para mantan tukang sihir (ansharnya) yang sadar:

“Maka sesungguhnya aku akan memotong tangan dan kaki kalian dengan bersilang secara bertimbal balik, dan sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian pada pangkal pohon kurma dan sesungguhnya kalian akan mengetahui siapa di antara kita yang lebih pedih dan lebih kekal siksanya”. (Thaha: 71)

Pemberantasan dan pengejaran:

“Dan Kami wahyukan (perintahkan) kepada Musa: “Pergilah di malam hari dengan membawa hamba-hamba-Ku (Bani Israil), karena sesungguhnya kalian akan dikejar”. Kemudian Fir’aun mengirimkan orang yang mengumpulkan (tentaranya) ke kota-kota. (Fir’aun berkata): “Sesungguhnya mereka (Bani Israil) benar-benar golongan kecil, dan sesungguhnya mereka membuat hal-hal yang menimbulkan amarah kita, dan sesungguhnya kita benar-benar golongan yang selalu berjaga-jaga”. (Asy Syu’ara: 52-56)

Ancaman penjara:

“Fir’aun berkata: “Sungguh jika kamu menyembah Tuhan selain aku, benar-benar aku akan menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan”. (Asy Syu’ara: 29)

Tuduhan ingin merubah idiologi negara dan penebar kerusakan:

“Sesungguhnya aku khawatir dia (Musa) akan menukar dien kalian atau menimbulkan kerusakan di muka bumi”. (Al Mukmin: 26)

Sedangkan makna dien adalah undang-undang sebagaimana firman Allah ta’ala:

“Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut dien (undang-undang) Raja” (Yusuf: 76)

Jadi, Fir’aun khawatir Musa ‘alaihissalam menukar undang-undang atau idiologi negaranya, juga tuduhan ingin merebut kekuasaan:

“Mereka berkata: “Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya, dan supaya kamu berdua mempunyai kekuasaan di muka bumi?” (Yunus: 78)

Bagitulah, semua orang kafir melakukan hal yang serupa terhadap kaum mukminin, dimana Fir’aun-Fir’aun masa sekarang, baik dia itu nengaku muslim maupun tidak, mereka melakukan pembunuhan terhadap para penegak Laa ilaaha illallaah, bisa dengan pembunuhan misterius, pembunuhan masal ataupun lewat jalur persidangan hukum thaghut mereka, penjara, penahanan, penggerebekan, dan pengejaran adalah lumrah bisaa dilakukan para kaki tangan Fir’aun negeri ini dan negeri-negeri lainnya. Lisan mereka mengatakan “Akulah tuhan kalian yang paling tinggi, tidak ada tempat bagi hukum Allah di negeri ini, dan hanya hukum dan idiologi kamilah yang paling tinggi di negeri ini”. Apakah mereka tidak mngetahui bahwa di sana ada hari penentuan dan pembalasan yang penyiksaannya tidak sebanding dengan penyiksaan mereka, penjaranya adalah Jahannam yang mengerikan, penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, tiada kematian dan istirahat, namun yang ada hanyalah penyiksaan abadi…

Wahai Fir’aun dan bala tentaranya:

“Untuk kalian kerajaan pada hari ini dengan berkuasa di muka bumi. Siapakah yang akan menolong kita dari azab Allah jika azab itu menimpa kita?!” (Al Mukmin: 29)

Kami mengajak kalian kepada hukum Allah ta’ala yang merupakan keselamatan dari siksa-Nya, namun kalian malah mengajak kami untuk setia kepada hukum buatan yang kafir yang menghantarkan ke dalam neraka…

Kalian mengajak kami untuk kafir kepada Allah dan menyekutukan-Nya dalam hak hukum… Kami lebih peduli terhadap keselamatan kalian daripada kepedulian kalian terhadap keselamatan kami, namun kalian membalas kepedulian baik kami dengan sikap buruk kalian kepada kami…

“Hai kaumku, bagaimanakah kamu, aku menyeru kalian kepada keselamatan, tetapi kamu kalian menyeru aku ke neraka?. (Kenapa) kalian menyeruku supaya kafir kepada Allah dan mempersekutukan-Nya dengan apa yang tidak kuketahui padahal aku menyeru kalian (beriman) kepada yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun?. Sudah pasti bahwa apa yang kalian seru supaya aku (beriman) kepadanya tidak dapat memperkenankan seruan apapun baik di dunia maupun di akhirat. dan sesungguhnya kita kembali kepada Allah dan sesungguhnya orang-orang yang melampaui batas, mereka itulah penghuni neraka. Kelak kalian akan ingat kepada apa yang kukatakan kepada kalian. Dan aku menyerahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha melihat akan hamba-hamba-Nya”. (Al Mukmin: 41-44)

Kalian malah membalas air susu dengan air tuba !, kami mengajak agar kalian tidak masuk ke dalam penjara neraka, tapi kalian malah menjebloskan kami para penyeru tersebut ke dalam penjara-penjara kalian…

Ingat, hakikat kehidupan adalah ridha Allah dan masa depan yang sebenarnya adalah masa depan akhirat, maka janganlah sekali-kali kalian menukarnya dengan kehidupan yang sesaat dan penuh kekeruhan…

“Janganlah sekali-kali kamu terperdaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya”. (Ali Imran: 196-197)

Ingat, hakikat kemenangan dan keberhasilan adalah dijauhkan dari neraka dan dimasukan kedalam surga:

“Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung” (Ali Imran: 185)

Lakukanlah apa yang kalian suka terhadap ajaran Allah dan para pemeluknya, tapi ingat cahaya tauhid pasti akan menerangi bumi Allah ta’ala dan kekuasaan hukum kafir kalian akan sirna…

“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki melainkan menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai”. (At Taubah: 32)

Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarga dan para shabat, walhamdulillahi rabbil ‘alamin…

LP. Sukamiskin Bandung, 22 Rajab 1428 H

Abu Sulaiman Aman Abdurrahman


SUMBER : http://millahibrahim.wordpress.com/2007/11/02/firaunisme-tuhan-macam-apa-yang-diklaim-oleh-firaun/

No comments:

Post a Comment