Ummu Fauzi untuk Al-Mustaqbal.net
“Anak tidak bisa merasakan dan menikmati cinta dan kasih sayang orang tua, jika tidak dibuktikan. Bagaimana membuktikannya ?
“Keterlaluan !” Kata ibu suatu ketika. “Disuruh mengembalikan sepatu ke tempatnya,eh, malah berani mengata-ngataiku.” Di waktu lain, Bu Didin bercerita tentang Andri yang tak pernah mau merapikan kasur, tak juga memebereskan kamarnya sendiri. Pokoknya hampir seluruh permintaan ibunya tak dilakukan, menyebabkan terjadinya pertengkaran demi pertengkaran yang biasanya terjadi saban hari.
Saat itu Andri baru saja selesai bermain mobil-mobilan dengan dua temannya. Diapun dengan santai melangkah hendak pergi meninggalkan dua belas mobil-mobilannya berserakan di ruang tengah. Ibunya spontan menegur, “Andri, bereskan dulu mainanmu.”
“Nanti saja Bu!” Kata Andri santai saja.
“Hei ! Ayo kembali. Rapikan dulu ruang tengah ! Dasar bandel. Bisanya membantah saja.” Kata ibu. Nada suaranya meninggi.
“Nanti Bu, aku ditunggu teman-teman di luar itu lo.” Andri menjawab jengkel.
“Berapa puluh kali harus ibu katakan, kau harus membereskan mainanmu sendiri. Kau ini memang anak malas.” Sergah ibu.
Didamprat ibunya seperti itu tak membuat Andri surut. Ia justru mengeluarkan maki-makian dari mulutnya sambil tetap melenggang santai.
Sulit dibayangkan, ada anak yang begitu berani terhadap ibunya. Bahkan sorot mata si bocah cilik itu tampak sekali terbersit kebencian dan kemarahan yang luar biasa. Adakah si ibu membenci anak satu-satunya itu? Besar kemungkinan, tidak. Yang telah terjadi hanyalah kesalahpahaman antara ibu dan anak.
Bu Didin mencintai Andi, itu dikatakannya ratusan kali pada siapapun. Akan tetapi sayang, ternyata nyonya muda ini salah dalam mengkomunikasikan rasa sayangnya. Gara-gara sikapnya yang emosional dan perkataannya yang kasar, anak tak menangkap adanya suasanan kasih sayang,
Mengapa Harus Lembut ?
Rasulullah saw mengibaratkan anak seperti kertas putih bersih, tergantung pada orang tuanya, mau ditulis dengan tinta warna merah, hijau atau jingga. Orang tua terlalu cepat memvonis nakal, malas, bandel atau bahkan durhaka terhadap anak-anaknya sendiri, padahal merekalah yang paling dominan membentuk karakter dan kepribadiannya. Kalaupun itu benar, bukankah para orang tua yang lebih bertanggung jawab atas sifat-sifat buruk itu ?
Realitas ini perlu diketahui, sebab sering terjadi, orang tua yang sangat mencintai anaknya harus kecewa melihat kenyataan si anak menjadi bengal dan pembantah. Orang tua merasa telah mengorbankan apa saja demi anaknya, tapi justru mereka menjadi pemberontak. Para orang tua banyak yang salah memilih metode pendidikan. Sebagian orang tua menganggap bahwa untuk meluruskan sikap anak yang kurang baik harus ditempuh cara-cara yang keras, seperti menghukum, berkata-kata keras dan kasar. Cara seperti itu tak mungkin berhasil, malah sebaliknya dapat menimbulkan dendam pada diri anak.
Dalam Al Qur’an Allah swt mengingatkan secara khusus kepada Rasulullah saw agar meninggalkan cara-cara kasar, sebab kekasaran bukan mendekatkan ummat kepadanya, tapi justru akan menjauhkannya. Allah berfirman,
“Maka karena rahmat dari Allah, engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka, sekiranya engkau berlaku keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauh dari sekitarmu. Maka maafkanlah mereka dan mohonkan ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam sesuatu urusan.” (Q.S Ali Imran ; 159)
Meskipun ayat ini ditujukan kepada Rasulullah saw dalam membina ummatnya, tapi pembinaan itu bersifat universal. Ayat di atas juga berlaku bagi orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Jika mereka ingin agar anaknya lebih mendekat, maka jalan yang mestinya ditempuh adalah mendidik dengan lemah-lembut, tidak keras dan kasar.
Berbuat lembut kepada anak, sama sekali bukan berarti harus menuruti semua permintaan anak. Orang tua terlebih dulu memahami pendapat dan keinginan anak yang sering konyol serta tidak masuk akal, kemudian dengan penuh kasih sayang mengarahkannya untuk mengert batas antara boleh dan tidak.
Perkataan kasar dan pemberian hukuman, adalah hal yang tidak diingini semua anak, walaupun menurut orang tua semua itu demi kebaikan anak semata. Yang dirasakan anak hanyalah bahwa kemarahan itu menjadi bukti ketidak-senangan orang tua kepadanya. Maka, satu kuncik paling ampuh dalam ilmu mendidik anak adalah dengan berlaku lemah-lembut penuh cinta kasih, walau dalam keadaan marah sekalipun.
Pahami Alasan Anak
Perintah bersikap lembut juga berlaku bagi orang tua yang menginginkan anaknya patuh. Perilaku inilah yang rupanya tidak dimiliki oleh bu Didin. Wanita ini memang bertipe perfeksionis, ingin semuanya serba sempurna. Dia mengharapkan anaknya bisa patuh seketika. Sifatnya yang kaku dan tidak sabaran mengakibatkannya segera bereaksi dengan kata-kata kasar disertai ancaman ketika anaknya melakukan sedikit kesalahan. Padahal kesalahan bagi anak-anak itu wajar, karena mereka masih dalam proses belajar.
Perlu diketahui bahwa semua anak mempunyai harga diri sebagaimana orang dewasa. Mereka tidak ingin harga dirinya diinjak-injak, walaupun oleh orang tuanya sendiri. Mereka tetap ingin menjaga harga dirinya, walaupun harus dengan cara melawan. Inilah hakekat manusia yang tidak hanya berlaku pada orang dewasa saja, tapi juga buat anak-anak.
Anak-anak mempunyai dunia sendiri. Salah dan benar mestinya diukur dari dunia mereka dan disesuaikan dengan tingkat perkembangan kejiwaannya. Bisa jadi menurut orang tua tindakan anaknya merupakan kesalahan fatal, tapi menurut anak-anak, hal itu bukan kesalahan. Mereka mempunyai alasan sendiri, kenapa begitu. Sebab ia hendak membereskannya nanti sepulang dari bermain. Sedang sekarang ia harus bergegas agar tak tertinggal teman-temannya yang sedang menunggu. Celakanya,niat yang menurutnya baik itu ternyata dinilai ibunya salah. Akibatnya ia harus menerima hukuman kehilangan uang saku.
Bandingkan akibatnya, bila bu Didin saat itu keluar menemui teman-teman Andri dan meminta dengan lembut untuk menunggu sebentar, kemudian digandengnya Andri ke ruang tengah sambil berkata, “Yuk ibu temani kamu membereskan mainan, Kamu kan biasanya menyukai rumah yang bersih dan rapi.”
Tak usah menjelek-jelekkan anak dengan tuduhan malas dan bandel, tak usah pula mengungkit-ungkit kesalahan mereka yang sebenarnya mereka sendiripun sudah tahu, bicaralah dengan lembut dan nada yang tenang, sambil tetap memberi senyuman.
Menahan Emosi ?
Kekasaran kata-kata dan kebiasaan marah, bisa dikarenakan orang tua tidak mampu menahan emosi. Padahal ketika berada dalam kondisi jiwa yang stabil, tidak terlalu sulit untuk bisa bersabar dan berlemah-lembut. Sayangnya, tugas dan kewajiban menangani tugas rumah tangga yang begitu berat, sebagai sebuah rutinitas yang membosankan, dan menghabiskan waktu lama dapat memperlemah kondisi kejiwaan ibu, sehingga menjadi emosional dan cepat marah.
Dibandingkan berbagai jenis pekerjaan lain, profesi ibu rumah tangga memang memiliki resiko kebosanan tingkat tinggi. Karena ibu harus menempuh profesi tersebut selama 24 jam dalam sehari, di kantor yang juga rumahnya, hanya bisa berpindah-pindah dari kamar ke kamar semata. Orang-orang yang ditemuinya pun tak berganti dari hari ke hari, selama bertahun-tahun ! Kondisi pekerjaan yang mengenaskan ini diperparah lagi dengan ketidak-pedulian suami serta masyarakat yang kerap melupakan, tidak mempedulikan kerja berat ibu atau istri. Masyarakat masih menilai pekerjaan rumah tangga sebagai urusan domestik yang sepele dan rendah.
Konflik antara suami istri ikut meramaikan suasana rumah, membuat keadaan menjadi lebih panas. Banyak kaum ibu yang tidak memiliki penyaluran yang baik untuk meredam emosinya, sehingga menjadikan anak sebagai sasaran pelampiasan emosi.
Adapula ayah ibu yang berperilaku kasar karena watak da karakter dasar yang membentuk kebiasaan hidupnya. Mereka yang dibesarkan dengan disiplin militer yang keras, misalnya, besar kemungkinan akan tumbuh dengan kepribadian kaku dan keras. Ada kecenderungan orang tua semacam itu akan berlaku keras dan kasar kepada anak-anaknya.
Selain itu, karakter kasar bisa terbentuk oleh lingkungan , terpengaruh oleh adat budaya masyarakatnya yang memang kasar. Beberapa suku bangsa di Indonesia memiliki budaya hidup yang lebih keras dan kasar dibanding suku yang lain. Penyebabnya bisa jadi karena tantangan hidup yang dihadapinya mengharuskan mereka berperilaku seperti itu.
Karakter dasar yang keras, kasar dan emosional tersebut, bisa jadi akan merusak pola pendidikan anak. Itu sebabnya, terhadap dirinya sendiri, para orang tua sebaiknya bermuhasabah, melakukan instropeksi dan mampu merubah karakter kasar yang merugikan tadi, sebelum menularkannya kepada anak-anaknya.
Ajaran Islam telah memberikan beberapa patokan pergaulan hidup yang beradab. Jika patokan tersebut dipenuhi, akan mampu mengalahkan pengaruh adat budaya yang negatif tadi. Beberapa aturan telah diajarkan Islam, seperti larangan mengeraskan suara kepada orang yang lebih tua, larangan bagi wanita untuk melengkingkan suara, anjuran untuk segera berwudhu jika marah, hingga larangan memanggil teman dengan gelar dan sebutan yang jelek.
Dikutip dari buku “Mendidik Dengan Cinta” oleh ibu Irawati Istadi, penerbit Pustaka Inti, Mei 2006.
Sumber : http://
No comments:
Post a Comment