Manado - Menorah yang menjadi simbol ×Yahudil, berdiri megah setinggi 20 meter di sebuah bukit di Manado, Sulawesi Utara. Di kota ini para penganut agama ×Yahudi hidup tenang.
Menorah tersebut berdiri di atas sebuah bukit, dimana bisa terlihat pemandangan ke seluruh kota Manado. Bendera-bendera Israel terlihat hampir dimana-mana. Ada pula sebuah sinagog atau rumah ibadah Yahudi yang dibangun enam tahun lalu.
Tempat itu baru saja direnovasi, termasuk simbol bintang Israel, Star of David, tergambar di langit-langitnya. Semua ini, sebagaimana diberitakan dalam laporan eksklusif New York Times, dibayar oleh pemerintah daerah.
Pemerintahan Minahasa Utara, wilayah mayoritas Kristen, adalah pendiri menorah yang dibangun pada 2009 itu. Menurut Kepala Dinas Pariwisata setempat, Margarita Rumokoy, seperti dilaporkan New York Times, menorah itu menelan biaya hingga US$150 ribu atau sekitar Rp1,3 miliar.
Seorang pejabat setempat, Denny Wowiling, mengaku inspirasi menorah itu datang setelah ia melihat menorah di depan gedung parlemen Israel, Knesset. Ia berharap menorah itu bisa menarik turis dan pebisnis Eropa. "Juga untuk masyarakat Yahudi, agar bisa melihat simbol suci di luar negara mereka."
Manado dikenal sebagai kota yang mayoritas penduduknya Kristen. Kelompok-kelompok Kristen evangelical dan karismatik bermukim dengan nyamannya di ibukota Provinsi Sulawesi Utara ini.
Namun, sentimen Yahudi yang diwariskan oleh penjajah Belanda, beberapa waktu belakangan ini kembali menguat. Dengan restu pemda, komunitas ini mulai menyiapkan tempat khusus untuk mereka.
Sinagog yang terletak di luar Manado, didirikan oleh penduduk setempat yang baru sedikit mempelajari Judaisme. Kini, jamaahnya sudah mencapai 10 orang dan menjadi salah satu sinagog yang bertahan sejak lama.
Mereka mempertebal ilmu dengan berinternet, seringkali bercanda dan mengatakannya, “Bertanya pada Rabbi Google.” Taurat, kitab Yahudi, dikumpulkan dengan cara mencetak lembar demi lembar dari internet. Situs YouTube juga sering menjadi rujukan untuk ritual-ritual Yahudi.
“Kami hanya ingin menjadi Yahudi yang baik,” ujar Toar Palilingan (27), yang sering memakai jas hitam dan topi lebar, khas gaya ultra-ortodoks.
“Tapi jika dibandingkan dengan Yahudi di Jerusalem atau Brooklyn (New York), kami belum seperti mereka,” tutur pria yang juga dikenal sebagai Yaakov Baruch ini.
No comments:
Post a Comment