Sebelum perdagangan maritim dengan melalui rute rempah-rempah (spice route) berkembang semenjak awal abad Masehi, rempah-rempah dari kepulauan Indonesia belum menjadi komoditi perdagangan global. Rempah-rempah yang dikonsumsi oleh bangsa Mesir, Yunani, dan Romawi awal tentu tidak berasal dari kepulauan Indonesia tetapi berasal dari daerah lain seperti lada dari Gujarat (India) dan kayu manis dari Srilangka.
Pada awal abad Masehi, ekonomi Eropa menjadi semakin baik menyusul terbangunnya Pax Romana. Hal ini juga mengkondisikan terjadinya kenaikan permintaan terhadap berbagai komoditi dagang dari negeri-negeri seberang. India barangkali tidak mampu lagi memenuhi permintaan untuk pasar Eropa. Lagi pula rempah-rempah dari India tidaklah lengkap karena hanya menyediakan lada. Dalam hal ini kepulauan Indonesia menghasilkan semua jenis rempah-rempah baik lada, kayu manis, pala, cengkeh, dan sebagainya. Jadi revolusi transportasi maritim pertama kali di Nusantara terjadi pada awal abad masehi ketika terjadi perubahan rute perdagangan dari rute daratan (jalan sutra) ke jalan maritim (jalan rempah-rempah). Perubahan rute perdagangan global ini di samping dipicu oleh ketidakamanan jalan darat melalui Asia Tengah juga permintaan produk rempah-rempah yang semakin meningkat yang mampu dihasilkan juga daerah daerah kepulauan di Nusantara. Sejak saat itu geliat perdagangan rempah-rempah menjadi sangat spektakuler. Perdagangan rempah-rempah ini menjadi driving force bagi kegiatan perdagangan dan pelayaran secara umum selama berabad abad. Perdagangan maritim telah memberikan dampak bagi lahirnya berbagai emporium di Nusantara seperti Sriwijaya, Majapahit, Demak, Ternate, Tidore, Makassar, dan sebagainya.
Portugis, Spanyol dan bangsa-bangsa Barat lainnya datang di Nusantara ketika kerajaan maritim (dan sekaligus kerajaan pertanian) besar di kepulauan Indonesia sudah mengalami kehancuran. Duarte Barbosa, seorang penulis dan sekaligus pejabat Portugis di Cannanore (India) yang pernah singgah di Jawa pada perempatan pertama abad XVI mengatakan bahwa di samping memiliki jung-jung untuk pelayaran samudera, orang-orang Jawa juga memiliki kapal yang ‘well-built light vessels propelled by oars’ yang biasanya digunakan untuk aktivitas perompakan. Kemampuan armada dagang Majapahit tidak dapat diragunakan lagi untuk melayari laut-laut di Nusantara tetapi juga samudera lepas dalam perdagangan internasional. Orang Portugis lain yang bernama Tome Pires yang datang di Jawa pada awal abad XVI mengatakan bahwa seratus tahun sebelum ia datang, Jawa memiliki kekuasaan yang sangat besar di mana kapal-kapalnya berlayar hingga mencapai Aden dan Majapahit memiliki hubungan dagang utama dengan kerajaan Keling (India), Benggala, dan Pasai (Sumatera). Ia mengatakan bahwa:
‘it had the whole of the trade at that time…gathered together such great merchants with so much trade along its sea coasts, that nowhere else so large so rich was known. Some of them were Chinese, some arabs, Parsees, Gujaratees, Belgalees and many other nationalities’.
Kerajaan Majapahit berkembang bukan hanya dari basis ekonomi pertanian namun juga pengembangan kegiatan pelayaran dan perdagangan sebagai sebuah negara maritim. Perdagangan laut itu bukan hanya dilakukan antara satu daerah dengan daerah lain di Nusantara, tetapi juga perdagangan internasional dengan kawasan yang lebih luas. Pigeaud berpendapat bahwa barang-barang impor telah dikenal oleh masyarakat Majapahit hingga pedalaman seperti tekstil dari India dan barang-barang dari Cina seperti mata uang, barang-barang pecah belah dan batu mulia. Chao Ju-Kua memberikan kesaksian bahwa komoditas Cina yang dibeli oleh para pedagang Jawa mencakup emas, perak, sutera, pernis, dan porselin. Begitu berkembangnya daya beli para pedagang Jawa sehingga menyebabkan Kekaisaran Cina pernah melarang perdagangan dengan Jawa karena menyebabkan terjadinya penyedotan mata uang Cina ke Jawa melalui perdagangan rempah-rempah, khususnya lada.
Penelitian antropologis di Kelantan (Malaysia) telah membuktikan bagaimana pengaruh magis kekuasaan Majapahit sangat besar di kawasan ini. Di kawasan ini banyak ditemukan ‘pitis Jawa’ atau ‘jimat Jawa’ (Javanese amulets) atau bahkan disebut ‘Pitis Semar’ yang masih diyakini memiliki kekuatan gaib dan memiliki kekuatan untuk menyembuhkan berbagai penyakit.
Perlu diingat bahwa Tome Pires yang berkunjung di pelabuhan-pelabuhan di Jawa pada awal abad XVI mendengarkan dengan telinganya sendiri bahwa kebesaran Majapahit sudah beredar di kalangan banyak orang pada waktu itu. Ia mengatakan bahwa:
They say that the island of Java used to rule as far as the Moluccas (Maluco) on the eastern side and (over) a great part of the west; and that it had almost all this for a long time past until about a hundred years ago, when its power began to diminish until it came to its present state.
Kemunduran Majapahit sebagai akibat dari perebutan kekuasaan di antara keluarga kraton mengakibatkan ketidakmampuannya untuk mengontrol daerah-daerah yang dikuasai sejalan dengan berkembangnya agama Islam di pelabuhan-pelabuhan yang dikuasai Majapahit. Kehancuran internal mendorong pelabuhan-pelabuhan itu memisahkan diri dari Majapahit dan mendapatkan vitalitas baru dari semangat agama Islam, seperti Tuban, Demak, Surabaya, Cirebon, Banten, Makassar, Ternate, Tidore, dan sebagainya. Meskipun entitas politik nasional di Nusantara hancur sejalan dengan hancurnya Majapahit pada akhir abad XV namun jaringan-jaringan dagang semakin berkembang justru karena proses sentrifugal kekuatan politik ini. Dalam hubungan ini proses sentrifugal dalam entitas politik justru diikuti oleh proses integrasi ekonomi.
Tuban merupakan sebuah bagaimana contoh yang tipikal mengenai proses perubahan dari kota pelabuhan yang sangat penting sejak masa kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa Timur menjadi pelabuhan yang juga penting pada awal berkembangnya kerajaan-kerajan Islam di pantai utara Jawa. Fungsi sebagai pelabuhan internasional inilah yang memungkinkan Tuban menjadi kota yang bersifat kosmopolitan. Bangsa-bangsa asing yang datang di Tuban antara lain Orang India Utara, India Selatan, Srilangka, Burma, Kamboja, dan Champa. Menurut cerita dalam Babad Tuban bahwa Aria Wilatikto adalah anak dan pengganti Aria Tejo, yaitu seorang ulama keturunan Arab yang erhasil meyakinkan Raja Tuban, Arya Dikara, untuk memeluk agama Islam. Oleh karena jasanya ia dinikahkan dengan putrinya. Nama Arab Aria Teja adalah Abdurrahman. Hal ini sesuai dengan kesaksian Tome Pires bahwa penguasa Tuban pada sekitar tahun 1500 adalah cucu raja islam yang pertama di kota Tuban.
Pada masa kejayaan Demak, sikap Tuban mendua. Di samping mengakui Demak sebagai kesultanan Islam, Tuban juga masih menjaga hubungan baik dengan Majapahit. Hal ini bisa dipahami karena letak Tuban tidak begitu jauh dari Majapahit sehingga masih ada kemungkinan Majapahit akan menghancurkannya jika Tuban melakukan penentangan secara frontal sebagaimana yang terjadi terhadap Juana. Setelah Majapahit hancur, Tuban masih tetap mengakui Sultan Demak sebagai Maharaja wilayah-wilayah Islam bahkan ketika Sultan Hadiwijaya memindahkan kratonnya di Pajang, Tuban masih mengakuinya. Namun demikian setelah Pajang dijatuhkan oleh Mataram, Tuban berusaha berdiri sendiri sebagai negara merdeka. Tuban merupakan kekuatan pantai utara Jawa yang menentang penaklukan Mataram. Beberapa kali Tuban diserang oleh Mataram sejak masa pemerintahan Senopati yaitu tahun 1587, 1598 dan 1599. Namun demikian baru tahun 1619, Tuban betul-betul takluk kepada Sultan Agung dari Mataram. Setelah itu bupati-bupati Tuban diangkat oleh Mataram.
Reputasi Tuban sebagai kota dagang di pantai utara Jawa masih bertahan hingga abad XVI ketika Islam memperoleh pijakan yang kuat di kota-kota di sepanjang pantai uatara Jawa. Pada awal abad XVI, seorang musyafir Portugis, Tome Pires, mengungkapkan bahwa Tuban merupakan salah satu bandar penting di Jawa. Jaringan perdagangan Tuban mencakup daerah-daerah dari Malaka hingga Maluku, termasuk Makassar, Banjarmasin, Palembang, Jambi. Bahwa Tuban memiliki hubungan dagang yang dengan Maluku dapat diketahui dari sebuah catatan Portugis bahwa ketika ada pedagang Portugis pada akhir abad XVI yang berusaha menemui Raja Tuban dalam usahanya untuk mencari pemandu setempat untuk mengantarkannya ke Maluku, Raja Tuban lancar berbahasa Portugis. Ia menyarankan agar pedagang Portugis itu tidak usah datang ke Maluku dan cukup menunggu di Tuban, karena tiga bulan lagi akan datang lebih dari 40 jung dari Maluku dengan membawa rempah-rempah. Ini berarti bahwa Tuban telah menjalin hubungan dagang secara reguler dengan Maluku dan Malaka.
Komoditi dagang yang diperdagangkan di pasar lokal di Tuban antara lain lada (yang didatangkan dari Banten dan Palembang), bermacam-macam jenis burung, tulang penyu, cula badak, gading, mutiara, kayu cendana, rempah-rempah, kapur barus, dan sebagainya. Pada masa Majapahit komoditi dagang lokal yang utama adalah beras. Sementara itu barang impor yang paling disukai masyarakat setempat adalah porselen pola biru dari Cina, gading, kain sutera bersulam emas, dan manik-manik. Kelompok orang kaya di Tuban juga menyukai bahan pakaian impor yang mahal seperti dari Cina. Selera tinggi ini sudah muncul sejak jaman Majapahit hingga abad XVI ketika agama Islam berkembang di kota ini. Komoditi lain yang juga diperjualbelikan oleh masyarakat Tuban pada abad XVI adalah emas, perak, berbagai macam piring dari emas dan perak, kain damas, dan barang-barang pecah belah dari porselen. Perkembangan Tuban tersebut seiring dengan kedatangan dan rangkaian penaklukan yang dilakukan oleh Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris.
Sementara itu, kerajaan Demak sedang dalam puncak kejayaan ketika Portugis datang di perairan Nusantara, meskipun hal itu tidak berlangsung lama. Menurut Tome Pires dalam bukunya Suma Oriental, kakek raja Demak yang memerintah pada tahun 1513 adalah seorang budak belian dari Gresik yang telah mengabdi di Demak saat masih menjadi vasal Majapahit. Dalam karirnya dia diangkat menjadi capitan dan dipercaya memimpin ekspedisi melawan Cirebon, sehingga dapat berhasil pada tahun 1470.
Secara geografis, Demak memiliki letak yang sangat menguntungkan baik untuk perdagangan maupun pertanian. Pada waktu itu Kerajaan Demak merupakan kerajaan maritim yaitu sebuah kerajaan yang perekonomiannya lebih didasarkan atas sektor perdagangan dan pelayaran. Berdsarkan geo-morfologi bahwa pada abad XV kota Demak berada di tepi pantai dan memiliki pelabuhan yang dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai negara. Menurut cerita babad dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, pengganti Raden Patah adalah Pangeran Sabrang Lor. Nama itu ternyata berasal dari daerah tempat tinggalnya di seberang utara, yaitu Jepara sebuah daerah yang pada waktu itu masih terpisah oleh sebuah selat dengan Demak. Sementera itu menurut Tome Pires penguasa kedua di Demak adalah Pate Rodim Sr. Dia mempunyai armada laut yang terdiri dari 40 kapal jung.
Kekuatan Demak terpenting adalah kota pelabuhan Jepara, yang merupakan kekuatan laut terbesar di laut Jawa dan sekaligus juga pemasok beras yang utama ke Malaka. Pada masa Trenggana, dia berusaha memimpin suatu koalisi Islam yang mungkin menghancurkan kerajaan Hindu-Budha utama terakhir yang berpusat di Kediri. Ia memang tidak merebut suatu kerajaan Jawa yang mapan, tetapi sekembali di pusat kekuasaannya di Demak Sultan Trenggana terus-menerus menyerang sejumlah musuh yang masih memeluk agama Hindu. Gelar Sultan yang menurut tradisi disandangnya sejak tahun 1524 dengan hak (otorisasi) yang di bawa Sunan Gunung Jati dari Mekkah merupakan indikasi bahwa Demak adalah sebuah kerajaan berbentuk baru di Jawa. Gambaran itu menunjukkan bahwa Demak benar-benar merupakan kekuatan yang signifikan di Jawa pada abad ke-16. Pada masa Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor, tepatnya tahun 1512 dan 1513, Demak menyerang Malaka yang pada waktu itu dikuasai oleh Portugis dengan menggunakan gabungan seluruh angkatan laut bandar-bandar Jawa, dan Sumatra namun berakhir dengan hancurnya angkatan laut dari Jawa.
Menurut kesaksian Tome Pires, pelabuhan Demak banyak dikunjungi oleh pedagang-pedagang Persia, Arab, Gujarat, Melayu, dan sebagainya. Dengan kegiatan dagangnya mereka menjadi kelompok sosial yang kaya. Mereka membangun masjid dan membangun solidaritas keislaman serta melakukan perkawinan campur dengan masyarakat setempat. Sebagai bandar utama di Nusantara, jangkauan jaringan pelayaran Demak mencakup hampir seluruh wilayah Nusantara dari Maluku hingga Malaka. Bahkan dengan datangnya pedagang asing sebagaimana yang disebutkan di atas berarti jaringan perdagangan Demak juga telah mencapai kawasan di sebelah barat Selat Malaka hingga dunia Arab.
Sejalan dengan perpindahan pusat kekuasaan dari kota Demak ke Pajang dan proses perubahan ekologi di ‘Selat Muria’ yang menempatkan Demak tidak lagi sebagai kota pelabuhan, maka kehidupan maritim Demak menjadi mundur. Fungsi Demak digantikan oleh Jepara hingga VOC mengalihkan kegiatan dagang dari Jepara ke Semarang pada abad XVII. Akibat dari situasi ini, maka pelabuhan laut kota Demak menjadi kurang berarti pada akhir abad ke-16. Namun sebagai produsen beras dan hasil pertanian lain daerah Demak masih lama mempunyai kedudukan penting dalam perekonomian kerajaan Mataram.
Di Banten, perkembangan perniagaan kaum Muslim memberikan kontribusi yang sangat signifikan dalam proses formasi kekuatan politik Islam. Perpaduan antara perkembangan perdagangan dan kekuatan politik akhirnya menempatkan kerajaan sebagai sebuah imporium yang besar di kawasan Selat Sunda yang mendasarkan perekonomiannya pada pelayaran dan perdagangan.
Banten memiliki posisi geografis yang sangat strategis sebagai sebuah kota pelabuhan. Kota Banten yang terletak di ujung bagian Barat pulau Jawa dan berada di pintu Selat Sunda ini dapat dikatakan berfungsi sebagai pintu gerbang barat dari kepulauan Nusantara. Penaklukan Malaka oleh Portugis pada tahun 1511 dapat dikatakan sebagai blessing in disguise bagi Banten. Sejak saat itu, para pedangang Muslim yang sebelumnya biasa berdagang di Malaka memindahkan pusat kegiatan mereka ke Banten yang pada akhirnya menyebabkan Banten berkembang menjadi pelabuhan transito komoditi-komoditi yang diperdagangkan oleh para pedagang Islam. Tome Pires juga pernah datang ke Banten antara tahun 1512-1513. Dalam catatannya, Tome Pires menggambarkan Banten sebagai suatu pelabuhan yang ramai. Banyak perahu jung Cina yang berlabuh di tempat tersebut. Disebutkannya komoditi yang diperdagangkan di Banten adalah beras, bahan makanan dan lada. Hubungan antara Banten dengan Demak memang sangat erat. Proses Islamisasi yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati dan putranya dapat berhasil secara baik karena dibantu oleh kekuatan militer dari Demak. Dalam pertengahan abad ke-16 dapat dikatakan bahwa Demak telah dapat menggalang kekuasaan politik yang membentang di sepanjang pantai Jawa bagian Barat yaitu dari Cirebon, Sunda Kelapa hingga ke Banten.
Perdagangan lada membuat Banten menjadi kota pelabuhan yang penting. Kapal-kapal dagang Cina, India dan Eropa singgah dan berdagang di Banten. Dalam melaksanakan perdagangan, Banten menerapkan sistem perdagangan terbuka. Artinya semua pedagang dari berbagai bangsa dibebaskan untuk berdagang di Banten. Masa kejayaan Banten sebagai pelabuhan pusat perdagangan di bagian Barat Nusantara berlangsung dari pertengahan abad ke-16 hingga menjelang akhir abad ke-17. Puncak kurun niaga yang disebut oleh sejarawan Anthony Reid berlangsung antara tahun 1570 hingga 1630 rupanya bertepatan dengan masa kejayaan Banten sebagai kota palabuhan.
Selain komoditi utama berupa lada, komoditi rempah-rempah lainnya seperti cengkeh dari Maluku Utara maupun pala dari Banda juga diperdagangkan di Banten. Tidak hanya rempah-rempah yang diperdagangkan di Banten namun juga komoditi-komoditi lainnya seperti beras, keramik dan tekstil. Berbagai barang dagangan tersebut di bawa ke Banten oleh para pedagang yang datang dari berbagai penjuru dunia. Pedagang dari berbagai bangsa bertemu dan saling melakukan kontak budaya. Dalam masa kejayaannya Banten dapat dikatakan sebagai pelabuhan dagang terbesar di Nusantara. Di Banten ditemukan para pedagang dari berbagai bangsa seperti Bugis, Jawa, Melayu, Portugis, Arab, Turki, Cina, Keling, Pegu, Bengali, Gujarat, Malabar dan Abesenia.
Semaraknya kegiatan perdagangan di Banten telah menarik kedatangan para penduduk dari berbagai suku bangsa untuk menetap di sana. Sebagaimana lazimnya kota-kota pelabuhan di Nusantara pada saat itu, di Banten juga terdapat perkampungan orang-orang Cina yang disebut dengan Pecinan. Pada abad XVII di kota Banten terdapat komunitas etnis lainnya seperti orang-orang Jawa, Makassar, Melayu, Bengal, Arab, Gujarat dan sebagainya. Bahkan orang-orang Eropa juga turut bermukim dan membuka kantor dagang di Banten. Di kota pelabuhan tersebut terdapat kantor dagang milik orang Portugis, Perancis, Denmark, Inggris dan kantor dagang milik orang Belanda.
Sebagai penunjang bagi keberhasilan dari kegiatan perdagangan internasional, Banten juga menjalin hubungan diplomatik dengan berbagai bangsa. Pada tahun 1681 tercatat bahwa Banten memiliki seorang duta besar yang ditempatkan di kota London, Inggris. Keberadaan duta besar Banten di Inggris itu mencerminkan bahwa kesulatanan Banten pada abad ke-17 mendapat pengakuan internasional dan dipandang sejajar dengan negara-negara besar berdaulat lainnya.
Sementara itu proses Islamisasi dan formasi politk Islam di Cirebon juga tidak banyak berbeda dengan Demak dan Banten. Hanya saja sumber-sumber tradisional mengesankan adanya transfer kekuasaan dari Hindu ke Islam secara elegan dalam sebuah proses kontinuitas. Sumber-sumber tradisional setempat menyebutkan bahwa pendiri dinasti Cirebon yaitu Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) bukanlah orang dari Pasai tetapi dia adalah cucu raja Siliwangi dari Pajajaran dan menantu Walangsungsang, seorang penguasa pelabuhan Muara Jati. Di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah inilah Cirebon yang sudah Islam memutuskan hubungan dengan kerajaan Galuh yang masih Hindu dengan di bawah perlindungan kerajaan Demak. Dengan begitu berdirilah kerajaan Islam Cirebon yang mendasarkan perekonomiannya pada aktivitas perniagaan. Baru setelah periode itu, perluasan kekuasaan kerajaan Cirebon dilakukan. Pada tahun 1528 kerajaan Galuh bisa ditaklukkan demikian juga daerah Kuningan pada tahun 1530. Sementara itu daerah Babadan, Luragung, Indramayu dan Krawang menerima daulah Islamiyah dengan cara damai.
Perkembangan pelabuhan Cirebon didukung oleh beberapa faktor antara lain geografis dan kekayaan alam di daerah pedalaman. Hal ini bisa dijumpai pada kesaksian Tome Pires:
‘This Cherimon has a good port… It has a great deal of rice and abundant foodstuffs. This place has better wood for making junks than anywhere else in Java’.
Perkembangan pelabuhan Cirebon pada masa Islam didorong oleh beberapa faktor antara lain: pertama, Cirebon bertindak sebagai penyedia barang kebutuhan bekal perjalanan kapal. Di samping itu Cirebon juga mengekspor beras ke Malaka sebelum jatuh ke tangan Portugis. Kedua, Cirebon telah menjadi tempat bermukimnya para pedagang besar. Setelah Portugis menguasai Malaka, beberapa pedagang mulai berpindah ke pelabuhan Islam lainnya termasuk Cirebon. Tome Pires waktu itu memperkirakan bahwa penduduk Cirebon sekitar 1000 orang. Di kota pelabuhan ini tinggal kurang lebih 7 orang pedagang besar, satu di antaranya adalah Pate Quedir seorang bangsawan pedagang yang pernah menjadi kepala perkampungan Jawa di Malaka yang diusir oleh tentara Portugis karena dituduh berkomplot dengan tentara Demak yang menyerbu Malaka.
Sebelum dianeksasi oleh VOC, pelabuhan Cirebon memiliki peranan sebagai pusat perdagangan yang cukup besar. Pelabuhan ini memiliki hubungan dagang dengan Batavia. Arsip-arsip Belanda menginformasikan dengan cukup detail mengenai aktivitas pelabuhan Cirebon dengan Batavia. Barang-barang yang dibongkat di Batavia yang berasal dari Cirebon adalah beras, padi, lada, kayu jati, gula merah, tembakau, minyak kelapa, ikan, garam, bawang merah, bawang putih kelapa, buah pinang, kapas, sapi, kambing, kulit kerbau, kulit rusa, tembikar, rotan, dan sebagainya. Sudah tentu komoditi ini tidak semuanya diproduksi oleh Cirebon tetapi juga berasal dari pelabuhan di sekitarnya seperti Pekalongan dan Tegal dan pelabuhan-pelabuhan di Jawa Timur dan Madura serta dari Palembang. Sebaliknya dari pelabuhan-pelabuhan lain, khususnya dari Batavia, pelabuhan Cirebon mengimpor pakaian, candu, arak, gula putih, porselin, lilin, tembaga, besi tua, panci besi, perunggu Jepang dan sebagainya.
Pada tahun 1681, Mataram menyerahkan Cirebon kepada VOC. Dengan tampilnya penguasa baru ini, perdagangan pribumi mendapatkan pengawasan dan tekanan yang ketat. Dalam perjanjian tahun 1681 itu disebutkan bahwa Kumpeni mendapatkan hak monopoli impor pakaian, kapas, opium, dan monopoli ekspor untuk komoditi lada, kayu, gula, beras, dan produk apapun yang dikehendaki Kumpeni yang semuanya itu bebas bea ekspor dan impor yang sebelumnya pernah dikenakan sebesar 2% dari nilai barang. Perjanjian itu juga mengatur bahwa pelayaran pribumi harus mendapatkan lisensi dari VOC dan sangat dibatasi. Tidak semua kapal boleh masuk, kecuali atas ijin Kumpeni. Tanaman lada yang diusahakan di wilayah Cirebon diatur oleh Kumpeni dan Kumpeni pula yang menetapkan harganya.
Makassar memberikan sebuah contoh kasus bagaimana penguasa tradisional mampu merespon secara cerdas terhadap perkembangan dan peluang bisnis di bidang pelayaran dan perdagangan semasa awal berkembangnya Islam di kawasan ini. Sebetulnya hingga akhir abad XV Makassar belum merupakan pusat perdagangan di Indonesia Timur. Pelabuhan ini hanya merupakan rendezvous bagi pedagang Jawa yang sedang dalam perjalanan lalu-lalang ke kepulauan Maluku dan sekitarnya untuk mencari rempah-rempah. Perubahan besar segera terjadi pada abad XVI ketika terjadi eksodus pedagang muslim dari Malaka yang direbut oleh Portugis pada tahun 1511 menuju ke Makassar. Menetapnya para pedagang muslim di Makassar merupakan fondasi berkembangnya kekuatan politik dan ekonomi maritim di Makassar.
Kerajaan kecil Goa dan Tallo pada akhirnya dapat menangkap peluang ini dengan mengorganisir mereka dalam rangka untuk menjadikan Makassar sebagai pusat pengumpulan dan distribusi rempah-rempah. Untuk membuat para pendatang betah tinggal di Makassar, mereka mendapatkan jaminan tertulis atas keselamatan dan keamanan dari penguasa. Tidak seperti sebelumnya yang hanya berpangku tangan menunggu pedagang yang datang, kerajaan Goa-Tallo juga mengirimkan orang-orangnya ke Maluku untuk melakukan perdagangan dan barter dengan produsen rempah-rempah secara langsung.
Jaringan perdagangan yang demikian ini jelas merupakan ancaman bagi Portugis yang memiliki ambisi untuk menguasai jalur perdagangan rempah-rempah. Namun demikian pada abad XVI Portugis kurang memiliki kekuatan untuk memaksakan monopoli karena mereka kekurangan kapal dan angkatan laut untuk melakukan patroli di perairan yang luas di kawasan Nusantara khususnya di perairan sekitar Maluku. Bahkan pada tahun 1641 Malaka yang dikuasai Portugis berhasil direbut oleh Belanda. Sangat menarik bahwa sekali lagi Makassar bertindak sebagai penampung para pedagang pengungsi sebagaimana ketika Malaka direbut oleh Portugis tahun 1511. Pada saat itu pedagang Portugis lah yang mengungsi ke Makassar. Tidak kurang dari 3000 orang pengungsi Portugis kemudian bertempat tinggal di pelabuhan Makassar. Demikian juga orang-orang India banyak yang bermukim di sini dan menjadi salah satu kelompok ‘moneylender’ dan pedagang yang utama di kota ini. Beberapa kerajaan yang berdaulat di Asia juga mengirimkan perwakilan mereka ke Makassar seperti dari Aceh dan Golconda (India) untuk membantu warga mereka yang berdagang di kota ini. Dengan cepat Makassar tumbuh sebagai kota dagang yang kaya yang didasarkan pada kebijakan terbuka untuk pedagang asing sebagaimana kerajaan Malaka pada dua abad sebelumnya. Para pedagang Melayu, Portugis, pedagang lokal, pedagang Denmark, dan Inggris, semuanya terlibat aktif dalam perdagangan tekstil India dengan rempah-rempah Maluku yang harus berhadapan dengan sistem monopoli VOC.
Dasar-dasar kemajuan ekonomi Makassar pada waktu itu tidak hanya terletak pada posisinya yang strategis sebagai intrepôt perdagangan yang menghubungkan kawasan dagang Laut Jawa, Selat Makassar, Laut Sulawesi, Laut Banda, dan jaringan perdagangan lokal lainnya serta berhubungan erat dengan perdagangan jarak jauh dengan Cina dan India bahkan Eropa, tetapi juga sebagai produsen komoditi perdagangan penting seperti beras. Jangkauan jaringan perdagangannya telah mencapai hampir seluruh kawasan Nusantara, Australia Utara, kepulauan Filipina, Makao, Cina, dan beberapa kota pelabuhan di Semenanjung Malaya.
Sementara itu, Banjarmasin mulai muncul dalam panggung sejarah diperkirakan baru pada awal abad XV. Ada bukti bahwa sekitar tahun 1400 terdapat pemukiman masyarakat penganut Hindu di kawasan ini. Banjarmasin memiliki hubungan dengan kerajaan Majapahit di Jawa. Pada waktu itu Banjarmasin mengakui kekuasaan Majapahit yang dieratkan dengan hubungan perkawinan antara penguasa Banjarmasin dan seoramg putri dari Majapahit. Pada awal abad XVI masuklah pengaruh Islam di Banjarmasin yang disebarkan oleh para mubaligh dari Kesultanan Demak.
Pada awal abad XVI mulailah babak baru dalam sejarah Banjarmasin dengan datangnya bangsa Belanda di Kesultanan ini. Pada tahun 1606 bangsa Belanda untuk pertama kali datang di Banjarmasin dan menyampaikan keinginannya menjalin hubungan dagang dengan Kesultanan Banjarmasin. Orang Belanda membeli lada, bijih emas, rotan, dan berbagai hasil hutan. Pada awalnya perdagangan berjalan dengan normal. Namun demikian pada akhirnya Belanda berhasil melakukan infiltrasi ke dalam Kesultanan Banjarmasin setelah timbul perpecahan-perpecahan internal. Setelah melibatkan diri dalam perang Banjarmasin (1859 - 1862) melawan Pangeran Antasari, Belanda akhirnya berhasil menguasai Banjarmasin.
Sementara itu, Aceh merupakan kerajaan maritim yang tampaknya tidak memiliki basis historis sebagai kekuatan politik dan kultural pra-Islam yang kuat. Berdasarkan sumber searah lokal, yaitu kitab Adat Aceh dikisahkan bahwa pada tahu 601 Hijriyah Aceh di-Islamkan oleh seseorang yang bernama Sultan Jauhansyah yang datang dari “negeri di atas angin”. Bersamaan dengan proses islamisasi tersebut diangkatlah seorang sultan yang pertama dengan gelar Sultan Johan Syah. Pada sekitar awal abad ke-16 kesultanan Aceh yang masih kecil berhasil melepaskan diri dari pengaruh negara tetangganya, Pedir. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya kesulatanan Aceh berkembang menjadi semakin besar setelah berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan Islam kecil yang ada di sekitarnya.
Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, para pedagang Islam yang biasa mengunjungi Malaka untuk berdagang mulai menghindari kota pelabuhan tersebut. Salah satu pelabuhan terdekat yang paling potensial untuk dijadikan pelabuhan pengganti sebagai tempat tujuan berdagang di Selat Malaka adalah Aceh. Sejak saat itu Aceh menjadi bandar dagang utama bagi para pedagang Islam yang membawa cengkeh dan pala dari Maluku dan Banda serta Lada dari Sumatra Selatan dan Aceh sendiri ke laut Merah di Asia Barat. Dari Laut Merah barang-barang dagangan tersebut diangkut menuju Eropa. Di Aceh terdapat beraneka ragam hasil alam yang diperdagangkan seperti minyak tanah, belerang, kapur, kemenyan, dan emas. Komoditi yang cukup diandalkan selain lada adalah sutera.
Para pedagang yang telah sejak lama berdagang di Aceh adalah para pedagang dari Arab dan India. Mereka senang berdagang di Aceh karena kesultanan ini menganut agama Islam, sama dengan agama yang mereka yakini. Para pedagang India membawa komoditi seperti tembikar, besi, baja, kapas dan intan. Di Aceh, mereka membeli kemenyan, kapur dari Barus, lada dan porselen dari Cina. Perahu-perahu dagang Cina (jung) juga banyak terdapat di Aceh. Selain memperdagangkan porselen, orang-orang Cina memperkenalkan cara budidaya sutera kepada orang Aceh. Selain mereka terdapat pula para pedagang dari Turki, Siam, Jawa dan orang-orang Eropa yang terdiri dari orang Portugis, Perancis dan Inggris.
Ketika orang Inggris pertama kali mendarat di Aceh, mereka mendapat kesan bahwa Aceh adalah sebuah kota yang besar. Mengenai seberapa banyak jumlah penduduk Aceh kiranya sukar untuk diperkirakan. Namun demikian menurut kesaksian orang Perancis yang mengunjungi Aceh dinyatakan bahwa sultan Iskandar Muda dapat mengerahkan sekitar 40.000 pasukan. Sebagaimana kota-kota pelabuhan lainnya di Asia Tenggara pemukiman penduduk di kota Aceh dikelompokkan menurut latar belakang etnis dari penghuninya. Oleh karena itu di Aceh terdapat nama-nama kampung seperti; kampung Portugis, kampung Gujarat, kampung Arab, kampung Bengali, kampung Cina dan kampung Pegu.
Pada awal abad ke-17 Sultan Aceh pernah mengirim utusan ke negeri Belanda. Perutusan itu merupakan balasan atas misi persahabatan yang dikirim oleh Prins Maurits dari Belanda ke Aceh. Delegasi yang dikirim Aceh ke Belanda terdiri dari Abdul Hamid sebagai ketua dengan anggota delegasi Laksamana Laut Sri Muhammad dan Mir Hasan. Pada tanggal 20 Juli 1602 perutusan Aceh tiba di Zeeland negeri Belanda. Pengiriman misi diplomasi tersebut merupakan perutusan pertama dari negara Asia yang memberi pengakuan kepada Belanda ketika mereka sedang terlibat perang 80 tahun (1568-1648) melawan Spayol dan Portugis. Dalam masa kunjungan di negeri Belanda ketua delegasi Abdul Hamid yang telah berusia 71 tahun wafat dan kemudian dikebumikan di gereja Saint Peter di Middelburg.
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, daerah kekuasaan Aceh meluas meliputi pelabuhan-pelabuhan di Pesisir Barat maupun Timur Sumatera seperti Pasai, Pedir, Deli, Aru, Pasaman, Tiku dan Pariaman. Di luar pulau Sumatera kekuasaan Aceh bahkan mencapai semenanjung Malaka yang meliputi wilayah Johor, Pahang, Kedah dan Perak. Sultan Iskandar Muda sangat menyadari bahwa daerah Sumatera barat sangat penting bagi perdagangan lada dan emas. Untuk dapat mengendalikan jalannya kegitan perdagangan di Sumatera Barat Iskandar Muda mengirimkan para panglima Aceh ke daerah-daerah penghasil emas dan lada dan pelabuhan-pelabuhan di mana barang-barang tersebut dikirimkan. Para pedagang asing tidak dijinkan untuk berdagang secara langsung ke daerah-daerah penghasil lada dan emas. Mereka hanya dijinkan untuk memperdagangkan komoditi tersebut di pelabuhan Aceh di bawah pengawasan langsung dari para pegawai sultan.
Masa kejayaan Sultan Iskandar Muda mulai menurun ketika pasukan yang dikirimnya untuk merebut Malaka dari tangan Portugis menderita kekalahan. Sebagai upaya untuk mendapat dukungan dari kekuatan lain, ia kemudian menjalin kerjasama dengan orang-orang Belanda dengan memberi mereka ijin untuk selama 4 tahun berdagang di seluruh wilayah Aceh dengan tanpa dikenakan pajak. Supremasi politik maupun ekonomi Aceh di kawasan Selat Malaka semakin merosot ketika pada tahun 1641 orang-orang Belanda dapat merebut Malaka.
Ternate muncul dalam pangung sejarah sebagai salah satu pelabuhan dagang di kepulauan Maluku Utara berkaitan erat dengan interaksi yang semakin intensif diantara kota-kota pelabuhan di Asia Tenggara sebagai akibat dari munculnya jaringan emporium di kawasan tersebut. Pemicu dari maraknya kegiatan perdagangan di Maluku Utara adalah ekspedisi kapal-kapal Cina yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho dari tahun 1371 hingga 1435 Masehi. Meskipun ekspedisi tersebut tidak mencapai daerah Maluku Utara, namun mulai saat itu nampaknya orang-orang Ternate mulai menyadari nilai ekonomi dari komoditi cengkeh yang mereka hasilkan. Kata cengkeh sendiri berasal dari bahasa Mandarin Zhi Jia atau dalam dialek Kanton Zhen Ga yang artinya adalah paku. Kata cengkeh mulai umum digunakan dalam bahasa Melayu sejak abad ke-16.
Ternate merupakan salah sebuah pulau yang termasuk wilayah Maluku Utara. Ternate dan wilayah maluku pada umumnya memang merupakan wilayah penghasil utama dari komoditi cengkeh. Sebagai salah satu daerah utama penghasil cengkeh Ternate sepanjang abad ke-16 hinggga 18 menjadi ajang pertarungan kepentingan hegemoni ekonomi yang pada akhirnya sering berujung pada pertarungan politik maupun militer.
Pada abad ke-15 ada empat pusat perdagangan cengkeh di Maluku Utara yaitu Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo (Halmahera). Pulau-pulau lainnya yang mengahasilkan cengkeh lambat laun terkait dalam jaringan perdagangan melalui salah satu di antara keempat pusat perdagangan tersebut. Munculnya empat buah pusat perdagangan berkait erat dengan struktur tradisional masyarakat Maluku Utara. Sistem empat penguasa di Maluku Utara dilembagakan ke dalam suatu konsep tradisional yang disebut ‘Maluku Kie Raha’ atau Maluku Empat Gunung. Konsep ini mengacu pada adanya hubungan federatif yang damai di antara empat kekuatan politik utama di Maluku Utara demi kepentingan perdagangan cengkeh.
Sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa pada abad ke-16, Ternate melakukan perdagangan cengkeh dengan para pedagang yang datang dari Jawa, Melayu, Makassar, Bugis, dan Banten. Bangsa Eropa yang pertama kali tiba di Ternate ialah orang-orang Portugis. Mereka tiba pertama kali pada tahun 1512 di bawah pimpinan Fransisco Serrao. Pada tahun 1570 pecah pertempuran antara Ternate dengan Portugis yang menyebabkan Sulatan ternate Hairun terbunuh. Pengganti Sultan Kahirun, Sultan Baabullah berhasil mengusir Portugis dari Maluku pada tahun 1577.
Dalam masa pemerintahan Sultan Baabullah Ternate mencapai masa kejayaanya. Armada perahu Ternate yang terkenal dengan sebutan kora-kora melakukan ekspedisi militer untuk memperluas wilayah kerajaan. Daerah yang dapat dikuasai Ternate terbentang dari Maluku Utara sampai pulau Buru, Seram, Sulawesi Utara dan beberapa tempat di sekitar Teluk Tomini. Wilayah-wilayah yang telah ditaklukkan diwajibkan untuk membayar pajak tahunan kepada Ternate dan penduduknya diwajibkan untuk membantu Ternate jika sewaktu-waktu terjadi peperangan.
Pada tanggal 22 Mei 1599 dua buah kapal Belanda (Amsterdam dan Utrech) dengan 560 awak kapal di bawah pimpinan kapten Wybrant van Warwyk untuk pertama kali tiba di Ternate. Kunjungan ini disambut dengan hangat oleh pihak Ternate. Sultan bersama 32 armada kora-kora yang mengangkut para pendayung dan para penyanyi mengitari kapal-kapal Belanda tersebut sambil melantunkan lagu-lagu Ternate dan menari. Setelah terjadi penyambutan yang hangat, urusan transaksi dagang menjadi lancar. Kunjungan orang-orang Belanda berikutnya ke Ternate di bawah pimpinan pimpinan Laksamana Jacob van Neck berlangsung pula dengan mulus.
Cengkeraman Belanda melalui perusahaan dagang VOC semakin menguat di Ternate, setelah pada tanggal 23 Februari 1605 armada Belanda di bawah pimpinan laksamana Steven van der Hagen berhasil merebut benteng Portugis di Ambon. Selanjutnya Steven van der hagen dan para penggantinya mendapat perintah dari markas besar VOC di Amsterdam untuk menduduki seluruh Maluku dan mengusai perdagangan cengkeh. Berdasarkan perintah tersebut, maka dimulailah berbagai upaya VOC di Maluku untuk menerapkan sistem monopoli terhadap komoditi cengkeh.
No comments:
Post a Comment