Wednesday, July 25, 2012

Suu Kyi di simpang jalan, antara Rohingya atau politik



2012 menjadi tahun bersejarah buat Myanmar. Junta Militer negara itu akhirnya mau melakukan reformasi bidang politik demi dicabutnya embargo ekonomi internasional selama ini membelit mereka. Tidak hanya itu, pejuang sekaligus ikon demokrasi dunia, Aung San Suu Kyi, berhasil terpilih menjadi anggota parlemen Maret lalu. Tetapi persoalan besar menghadang di depan mata.

Cita-cita demokrasi luhur Suu Kyi bakal diuji dengan cara dia menangani permasalahan konflik orang Rohingya. Kaum minoritas itu mengalami diskriminasi dan penindasan dari rezim militer lebih dari tiga dekade. 

Pertengahan Juni lalu pecah konflik antara warga Buddha Rakhine dan muslim Rohingya di Sittwe, Arakan. Diperkirakan 50 orang Rohingya tewas dalam kerusuhan itu, seperti dikutip dari majalah the Irrawaddy, Senin (15/6).

Sebagian warga Myanmar menganggap muslim Rohingya sebagai orang asing dan bukan bagian dari etnis Burma mayoritas. Bahkan, beberapa dari mereka menganggap orang Rohingya setara hewan atau mahkluk jelek dalam cerita dongeng. Kebencian mereka sudah sampai ubun-ubun dan siap memusnahkan etnis itu. Mereka selalu mempersoalkan warna kulit orang Rohingya yang gelap sebagai pembenaran sikap mereka. 

Kebijakan pemerintah Junta Myanmar pun tidak jauh berbeda dari sikap rakyatnya. Sejak pemberontakan Jenderal Ne Win pada 1962 mereka tidak menganggap keberadaan orang Rohingya. Hak kewarganegaraan mereka dicabut. Alhasil, mereka tidak bisa bekerja, sekolah, dan memiliki tempat tinggal. Padahal jika ditelusuri, etnis muslim itu sudah hidup di Burma turun-temurun sejak masa kolonial Inggris. Kebanyakan bekerja sebagai buruh dan petani. Lebih memprihatinkan lagi saat kaum muslim minoritas itu dibuang ke Bangladesh. Negara itu pun sama buruknya memperlakukan muslim Rohingya.

Saking tidak tahu harus ke mana lagi mencari tempat tinggal, muslim Rohingya nekat mendirikan tenda darurat di wilayah perbatasan antara Myanmar dan Bangladesh. Tetapi perlakuan tentara Junta Myanmar tetap kejam. Diam-diam mereka dikumpulkan dan dinaikkan dalam sebuah perahu lalu ditarik hingga ke tengah lautan kemudian ditinggalkan begitu saja. Pemerintah Thailand pun pernah melakukan hal sama, tapi mereka membantah hal itu.

Tidak sampai di situ, wartawan, peneliti, penulis, dan pesohor Myanmar ramai-ramai menyamakan orang Rohingya sebagai sekumpulan muslim garis keras seperti organisasi Al-Qaidah dan Taliban. Tidak pernah ada yang membela mereka. Kadang terbersit di benak orang-orang Rohingya apa salah mereka sampai-sampai mereka harus mendapat perlakukan seperti itu. 

Suu Kyi sebagai ikon pejuang demokrasi pun malu-malu saat ditanya wartawan terkait konflik berdarah dan perlakuan diskriminatif negaranya terhadap muslim Rohingya. "Tanpa penegakan hukum, tindak kekerasan itu tetap terus terjadi. Situasi seperti sekarang ini membutuhkan penanganan sensitif," kata Suu Kyi. Tidak terlihat nada bicara berapi-api seperti di masa lalu saat dia berbicara kepada para pendukungnya dari balik pagar rumahnya. Entah apakah semangat perjuangan itu sudah luntur atau semata cari aman.

Sentimen anti-Rohingya seakan menempatkan Suu Kyi dalam posisi sulit. Dia dan partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi, baru saja 

memenangkan pemilihan parlemen dan sedang giat meraup dukungan rakyat sebanyak mungkin. Tetapi, apakah pantas jika cita-cita luhur tentang keadilan, kejujuran, dan keterbukaan selama ini dia gaungkan seakan menguap begitu saja tertiup sedikit gempita demokrasi.

Pertanyaannya sampai kapan Suu Kyi seolah menutup mata terhadap penindasan muslim Rohingya. Jika anak dari pahlawan Burma, Jenderal Aung San, itu tidak tergerak membereskan masalah itu, maka seluruh perjuangan dia selama ini patut dipertanyakan.

No comments:

Post a Comment