Thursday, March 7, 2013

Diri kita bukan milik kita lagi


Oleh : Syaikh Abu Mush'ab Al Zarqowi rahiimahullaah

Wahai para mujahidin…

Kalian telah jual nyawa kalian kepada Allaah ‘Azza Wa Jalla, kini di hadapan kalian hanya ada satu pilihan saja, yaitu engkau serahkan barang dagangannya kepada Sang Pembeli,

“Sesungguhnya Alloh telah membeli dari orang-orang beriman, jiwa dan harta mereka, dengan memberikan surga kepada mereka; mereka berperang di jalan Alloh lalu membunuh atau dibunuh. Sebagai sebuah janji yang benar di dalam kitab Taurat, Injil, dan Al-Quran. Dan siapakah yang lebih benar janjinya daripada Allah? Maka berikanlah kabar gembira dengan jual beli yang kalian adakan, dan itulah keberuntungan yang besar.” [At Taubah: 111]

Jika pembeli telah menerima barang dagangan, maka terserah mau Dia apakan dagangan tersebut. Terserah mau Dia letakkan di mana; kalau Dia berkehendak, akan diletakkannya di istana, kalau Dia berkendak akan diletakkannya di penjara, kalau Dia berkehendak akan diberinya pakaian paling mewah, kalau Dia berkehendak akan menjadikannya telanjang kecuali sebatas penutup aurat, kalau Dia berkehendak akan menjadikannya kaya, kalau Dia berkehendak akan dijadikannya fakir miskin, kalau Dia berkehendak akan dijadikanya tergantung di tiang gantungan, atau menjadikan musuh menguasainya, lantas membunuh atau mencin-cangnya.

Sayyid Qutb Rohimahullôh mengomentari kejadian yang menimpa Ashhâbul-Ukhdûd, beliau mengatakan, “Contoh seperti ini pasti terjadi, di mana orang beriman tidak ada yang selamat dan orang kafir tidak ada yang diazab. Hal ini agar tertancap dalam benak orang-orang beriman, para pelaku dakwah kepada Alloh, bahwa mereka bisa saja dituntut mengakhiri jalan yang ia tempuh menuju Allaah dengan kejadian seperti ini. Supaya mereka mengerti bahwa mereka sama sekali tidak memiliki kekuasaan sedikitpun mengatur urusan, urusan mereka dan urusan 'aqidah semata-mata dikembalikan kepada Alloh. Kewajiban mereka hanyalah melaksanakan kewajiban yang dibebankan kepada mereka, dan setelah itu…jalan. Kewajiban mereka adalah mengedepankan Allaah dan 'aqidah di atas kehidupan, merasa tinggi dengan imannya di atas berbagai fitnah, dan bersikap jujur kepada Allaah dalam beramal dan berniat. Setelah semua ini, Allaah akan memperlakukan diri mereka dan musuh mereka terserah yang Dia kehendaki terhadap dakwah dan agama-Nya, bisa saja mereka akan mengakhirinya dengan salah satu kejadian yang sudah terjadi dalam sejarah iman, atau mengakhirinya dengan cara lain sesuai yang dikehendaki dan dilihat oleh Alloh. Mereka adalah orang-orang yang bekerja di sisi Allaah, apa kemudian pantas orang yang menjual seekor kambing marah, atau hatinya tidak terima, ketika sang pembeli menyembelihnya?”

Bukankah engkau mendengar kejadian yang menimpa singa Allaah dan singa Rasul-Nya, Hamzah? Perutnya dibelah, hatinya dikeluar-kan, dan tubuhnya dicincang.

Bukankah engkau mendengar apa yang dialami manusia terbaik, Muhammad Shollallohu Alaihi wa Sallam, ketika perang Uhud?

Renungkanlah keadaan para nabi dan rasul yang merupakan makhluk-makhluk pilihan; nabi Ibrahim ‘Alaihi `s-Salâm dilemparkan ke dalam api, Nabi Zakariya digergaji tubuhnya, Nabi Yahya (yang berjuluk as-sayyid al-hashûr, yang artinya seorang teladan dan menahan hawa nafsu) disembelih, Nabi Ayyub berkutat dalam bala ujian selama bertahun-tahun, Nabi Yunus dikurung di dalam perut ikan hiu, Nabi Yusuf dijual dengan harga murah dan harus mendekam di penjara selama beberapa tahun.
Semua itu mereka jalani dengan rasa ridha terhadap rabb dan majikan mereka yang Maha benar.

Menerima takdir dengan ikhlas:
====================
Dulu, ada sebagian salaf yang mengatakan, “Seandainya tubuhku dipotong-potong dengan gunting, itu lebih aku sukai daripada mengomentari sesuatu yang sudah ditetapkan Alloh: Seandainya saja itu tidak terjadi.”

Oleh karena itu, wahai ikhwan-ikhwanku, jadilah orang-orang yang tidak mencampuri urusan Alloh –sang majikan— dalam mengurus dirimu, dan tidak menentang pilihan yang Alloh pilihkan untukmu. Contoh-contoh yang kami ceritakan di atas tidak pernah campur tangan dalam pengurusan Alloh terhadap kekuasaannya, dengan mengatakan: “Seandainya begini, tentu jadinya begini,” tidak juga mengatakan, “Seandainya,” “Jikalau,” dan “Kalau saja,”

Ingatlah kisah perang Badar, lalu renungkanlah baik-baik. Kala itu sebagian shahabat menginginkan peristiwa Badar sebagai saat yang tepat untuk menaklukkan kafilah dagang kaum Quraisy. Akan tetapi Alloh Ta‘ala memilihkan pasukan perang untuk mereka hadapi, padahal perbedaan antara keduanya sangat-sangat jauh. Apakah yang ada dalam kafilah dagang? Makanan yang disantab, setelah itu pergi ke tempat buang air, pakaian yang kemudian lusuh dan dibuang, serta dunia yang akan segera lenyap.

Ada pun menghadapi pasukan perang; di sanalah Allah pisahkan antara yang haq dan yang batil, kesyirikan kalah dan bertekuk lutut, ajaran tauhid menang dan tinggi, para pemuka kaum Quraisy yang selalu menghalangi Islam terbunuh, dan cukuplah ketika datang kabar gembira bahwa Allah melihat hati pasukan Badar kemudian berfirman: “Lakukanlah sesuka kalian, Aku telah ampuni kalian.

(KabarDuniaIslam/gashibu)

No comments:

Post a Comment