Monday, May 20, 2013

Tolong Ajari Aku, Ibu


Oleh : Ummu Fauzi

Sebenarnya sudah agak lama saya ingin menulis hal ini, tapi karena kemudian tertutup hal-hal dan tulisan lain, jadi terus tertunda. Dan sebenarnya juga, saya meniatkannya untuk mengajak pembaca Al-Mustaqbal.net untuk belajar bersama-sama. Belajar bersama-sama biasanya akan lebih optimal hasilnya karena setiap “error” dari proses belajar itu bisa diminimalisasi dengan saling mengingatkan.

Sosok yang saya panggil “Ibu” dalam tulisan saya kali ini bukanlah ibu kandung saya dan saya mengaku-aku saja, atau, minta diakui sebagai “anak” lebih tepatnya. Sosok ini bukan juga satu orang wanita, tapi lebih tertuju kepada beberapa wanita yang saya kagumi setelah mengenalnya. Betapa tidak, para wanita ini bukanlah wanita dengan pendidikan tinggi yang biasa memberi ceramah atau menulis makalah. Tidak ada gelar apapun mengiringi nama sederhana mereka. Tapi, saya yang merasa sudah capek sekolah sampai di universitas dan tiap hari berkutat dengan buku merasa bahwa saya ini tidak ada apa-apanya dibanding mereka dalam ilmu dan amal.

Kekaguman ini bermula ketika saya mendapat bagian untuk membuat wawancara dengan para ummahat yang nota bene adalah istri para syuhada. Kekaguman ini terasa sangat wajar karena mereka adalah wanita-wanita dengan pemahaman Islam yang teraplikasi dalam setiap aspek kehidupan. Mereka telah istiqomah menghadapi segala macam ujian kehidupan dan tidak pernah berbalik mundur selangkah pun. Wajar jika saya kagum karena ilmu dan amal mereka yang luar biasa.

Namun, kekaguman saya mulai menjadi berlebih ketika saya bertemu dengan ibu dari seorang mujahid yang telah syahid beberapa tahun lalu. Saya menebak usia beliau sudah mendekati enam puluhan dan penampilan beliau amat sangat bersahaja, sebagaimana penampilan para ibu-ibu di kampung saya. Tapi ketika saya duduk di dapur di rumahnya sambil melihat beliau menyalakan api di tungku, pertanyaan-pertanyaan langsung meluncur dari bibir saya mewakili seluruh keingin tahuan. Lalu terjadilah apa yang kemudian terjadi, yaitu saya tahu beliau bukan wanita biasa.

Mula-mula saya menanyakan apa beliau tidak takut dengan seluruh stigma buruk masyarakat terhadap mereka yang berjuang untuk dien ini dan dengan enteng sambil memasukkan kayu bakar ke dalam tungku beliau menukas kalau tidak apa-apa orang tidak suka. Beliau sudah biasa menerima ketidak sukaan masyarakat, ketika menolak ikut sedekah bumi dan ketika tidak mau ikut beberapa ritual bid’ah. Namun lama-lama masyarakat bisa menerima.

Lalu saya menanyakan dari siapa ibu mendapat semua pemahaman tersebut karena ini sesuatu yang “ajaib”. Di kampung saya setiap malam Jum’at orang mengaji, dan itu belum termasuk berbagai pengajian umum dan tabligh akbar, tapi bid’ah tidak pernah berkurang dari waktu ke waktu. Orang tetap merasa aneh ketika ada yang tidak mau ikut yasinan atau tidak mengadakan selamatan mayit dengan hitungan sekian dan sekian. Lalu beliau bilang kalau pemahaman itu didapat dari pengajian rutin. Nah kan?! Pengajian itu mampu membuat seorang wanita kampung bersahaja memahami tauhid dengan benar dan mengaplikasikan langsung dalam kehidupan. Kenapa pengajian di kampung saya seperti informasi numpang lewat saja dan nyaris tidak berpengaruh dalam memberantas syirik dan bid’ah. Mungkin pengajiannya memang “istimewa”, tapi satu hal yang telah lebih dahulu saya ketahui, wanita di depan saya ini memang istimewa.

Beliau memahami perjuangan menegakkan dien ini, memahami dan siap menghadapi resikonya dan bahkan merelakan putranya menempuh jalan fie sabilillah. Jujur, sampai air yang dijerang beliau mendidih, keheranan dan ketakjuban saya belum berhenti. Tinggal di kampung kecil ini, tidak pernah menempuh pendidikan tinggi, tapi jawaban-jawaban beliau ketika saya menanyakan bagaimana menghadapi tanggapan masyarakat ketika putranya syahid, sungguh menunjukkan kalau beliau paham dan istiqomah. Lantas saya berpikir, kepada wanita-wanita seperti inilah saya seharusnya banyak belajar, belajar tentang keberanian mengambil resiko ketika mengikrarkan diri sebagai seorang muslim dengan konsekuensi dari taklif yang kita pikul.

Meskipun saya sempat belajar hingga universitas, tapi entah kenapa saya tidak pernah kagum dengan pemikiran profesor-profesor bahkan yang mengajarkan saya beberapa mata kuliah sekaligus. Mungkin ini disebabkan saya masuk kuliah bersamaan dengan masuk dalam kegiatan masjid kampus. Saya juga tidak pernah takjub dengan orang yang banyak ilmu agama tapi kemudian menjadi “aneh” dengan sikap dan pernyataan mereka. Tapi sungguh,kekaguman saya kepada wanita-wanita bersahaja yang telah mengambil bagian dalam perjuangan fie sabilillah ini begitu menghunjam.

Lalu saya berjumpa dengan “Ibu” yang lain. Usianya juga tidak muda dan bukan juga tokoh organisasi wanita atau pengajar ini itu. Tapi saya jadi merasa makin bukan apa-apa ketika beliau berkisah tentang kesabaran, tentang perjuangan mencari nafkah dan menjadi orang tua tunggal ketika kepala keluarga sedang tertawan, belum lagi kisah pedih menghadapi kedzaliman aparat. Dan tiba-tiba saya seperti terlempar dalam perasaan yang sulit saya lukiskan ketika pembicaraan kami meluas ke dalam pandangan beliau yang tidak mau ikut dalam kegiatan deradikalisasi. Ketika tauhid al haq telah terhunjam ke dalam dada, memahami deradikalisasi ternyata hanyalah bagian kecil ketika kita harus menempatkan Al Wala’ wal Bara’ kita dengan benar.

Ah, saya memang harus belajar lagi agar bisa memperbaiki diri dan mengambil bagian dari da’wah ini. Betapa apa yang saya saksikan di kota-kota, kaum Muslimin lebih mudah terbawa ke dalam arus kehidupan modern yang sebagiannya bertentangan dengan syari’at dan sebagiannya menyeret pemuda-pemudi muslim untuk mengikuti dan meniru budaya barat. Rasanya menjadi pemikiran yang asing untuk sekedar membayangkan betapa “mengerikannya” resiko yang mesti kita hadapi ketika kita mau ikut ambil bagian dari menegakkan Dien ini, tidak seperti para wanita bersahaja yang saya temui itu. Itulah sebabnya, sekali lagi saya ingin bilang “Tolong ajari aku, Ibu”.

(KabarDuniaIslam/Al-mustaqbal.org)

No comments:

Post a Comment