Situasi kehidupan agamis yang timpang di negara-negara nasrani barat menjadi lingkungan potensial dan lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya pohon sekularisme. Bangsa Perancis pasca peristiwa revolusinya yang terkenal merupakan negara pertama yang melandasi undang-undang negara di atas pemikiran sekular. Sebenarnya, peristiwa munculnya pemikiran sekular dan keterkaitan dengannya –beserta segala apa yang terkandung di dalamnya baik penyimpangan dan pemisahan agama dari segala ruang hidup, ditambah lagi kebencian terhadap agama, dan permusuhan terhadap pemeluknya-, hal ini bukanlah suatu kejadian baru dan janggal. Yang demikian, karena agama yang mereka anut saat itu tidak mencerminkan wahyu Allah yang benar, yang telah Dia wahyukan kepada hamba dan rasul-Nya, Isa bin Maryam ‘alaihi wasallam. Sejatinya, agama tersebut telah tercemari oleh usaha pemutarbalikkan dan pemalsuan untuk mengganti (ajaran agama) dengan merubah, menambahi, dan mengurangi.
Maka diantara akibat perbuatan itu adalah bahwa agama gubahan tersebut bertolak belakang dengan kemaslahatan manusia dalam kehidupan dunia dan interaksi sosial di antara mereka. Sekaligus juga, bertentangan dengan kebenara-kebenaran ilmu pengetahuan yang tetap yang telah teruji. Gerejapun –sebagai pihak yang berwenang melaksanakan ajaran agama menurut penganut nasrani- belum merasa puas dengan usaha para pendeta dan rahib-rahibnya dalam melakukan pemutarbalikkan dan penggantian (agama). Lebih jauh lagi dewan gereja menetapkan hal itu sebagai (bagian) agama yang harus dipegang dengan kesungguhan dan penuh tanggung jawab , dan mengadili (serta menyiksa) para ilmuwan, para peneliti, dan para sarjana karena penemuan ilmiah mereka yang bertentang dengan agama gubahan. Pihak gereja melemparkan tunduhan zindiq (atheis) dan penyimpangan kepada mereka yang akhirnya ada yang dibunuh, dibakar, dan ada pula yang dipenjarakan.
Di sisi lain, gereja –sebagai yang berwenang melaksanakan agama menurut keyakinan kristiani- menjalin persekutuan busuk dengan penguasa dzalim, memberikan label-label kesucian dan kemaksuman dari kesalahan kepada mereka serta memperkenankan (melegalkan) segala tindak kejahatan dan penindasan yang mereka lakukan terhadap rakyat, dengan penuh keyakinan bahwa langkah ini adalah ajaran agama yang sepantasnya semua orang harus patuh dan menerimanya.
Bertolak dari sini, di sana orang mulai mencari pelarian untuk menyelamatkan diri dari penjara dan kesewenang-wenangan gereja. Tidak ada jalan keluar yang bisa mereka pilih pada waktu itu selain menentang agama –yang memerangi ilmu pengetahuan dan dan mendukung para pelaku kriminal- tersebut, dengan jalan membangkang, mengasingkan dan menyingkirkannya dari seluruh sisi kehidupan politik, ekonomi, ilmiah, moralitas dan lain sebagainya.
Duhai, sekiranya mereka yang memberontak terhadap agama gubahan ini mereka mendapat petunjuk kepada agama islam, namun mereka ternyata memproklamirkannya (paham sekularisme) untuk memerangi semua agama.
Bilamana realita yang telah terjadi di negara kristiani barat ini bukan sesuatu hal yang aneh, maka hal itu tidak mungkin terjadi pada agama Islam bahkan tidak pula terbayangkan. Wahyu Allah dalam agama Islam tidak akan tersusupi kebatilan dari depan atau belakangnya, sehingga tidak mungkin ada pemutarbalikkan dan penggantian. Pula tidak bisa ditambah atau dikurangi. Bersamaan dengan itu, wahyu Allah tidak memihak kepada seseorang, apakah itu penguasa atau rakyat biasa, semua memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum syari’atnya. Ia menjaga kepentingan-kepentingan manusia yang hakiki (primer), maka tidak ada satu pemberlakuan undang-undangpun yang kontradiktif dengan maslahat umat manusia. Selain itu Islam juga memotivasi dan mendorong untuk (menimba) ilmu pengetahuan serta serta tidak ada satupun nash syar’i yang terbukti keshahihannya bertolak belakang dengan kebenaran ilmiyah. Jadi semua ajaran Islam adalah benar, baik dan mencerminkan keadilan. Dari pemahaman ini, maka semua arus pemikiran dan paham yang lahir di negara-negara barat pasca gerakan pengucilan agama dan permusuhannya, tidak berhak muncul bahkan tidak akan menemukan telinga-telinga yang mau mendengarkannya di negara-negara muslim, andai bukan karena aktivitas-aktivitas ghazwul fikri (perang pemikiran) yang terstruktur rapi, yang kebetulan pada waktu itu menimpa hati-hati yang hampa dari hakikat iman, akal-akal yang tidak mampu berfikir dengan benar dan kehidupan dunia yang tertinggal dan terlantar dalam hal peradaban.
Sungguh, para pemeluk kristen arab yang berdomisili di negara-negara muslim memiliki kontribusi besar dan pengaruh penting dalam pengusung pemikiran sekular ke negeri-negeri kaum muslimin, memasarkan dan turut andil menyebarkannya melalui media-media informasi yang beragam. Begitu juga misi-misi pendidikan (seperti pertukaran pelajar) yang menuntut mahasiswa-mahasiswa muslim pergi ke negara-negara barat untuk mempelajari berbagai disiplin ilmu modern, memiliki peran yang besar dalam mengusung pemikiran sekular beserta aspek-aspek riilnya ke negeri-negeri Islam. Para mahasiswa tersebut diliputi rasa kagum terhadap apa yang mereka saksikan disana berupa fenomena-fenomena nyata dari kemajuan ilmu pengetahuan dan hasilnya. Kemudian mereka kembali ke negeri masing-masing dengan membawa segala apa yang mereka saksikan, baik berupa adat, tradisi, tatanan sosial, dan ekonomi, selanjutnya berusaha mensosialisasikan dan mempropagandakannya kepada masyarakat. Ironisnya, masyarakat bersamaan dengan itu menyambutnya dengan penuh semangat akibat kesalahpahamanmereka bahwa para lulusan barat tersebut telah dianggap sebagai pembawa “ilmu yang bermanfaat” dan penyandang pengetahuan yang benar. Padahal adat istiadat, tatanan dan tradisi yang diserap dan mereka agung-agungkan oleh para utusan tersebut tidak lain hanyalah adat istiadat, tradisi dan tatanan masyarakat yang menolak segala hal yang memiliki kaitan atau hubungan dengan ajaran agama.
Penjelasan singkat ini, selain menunjukkan kepada kita akan cara masuk paham sekular ke negeri-negeri muslim juga mengingatkan kita kepada dua masalah penting:
1. Bahaya pemeluk keyakinan selain Islam baik kaum kristiani dan yang lainnya yang hidup di negara-negara muslim dan bagaimana mereka melancarkan tipu daya terhadap Islam beserta penganutnya, hal ini mengharuskan kita untuk selalu waspada dan menempatkan mereka pada posisi yang telah Allah tetapkan buat mereka. Maka kita tidak boleh memberikan tampuk kepemimpinan dan jabatan serendah apapun kepada mereka di negara-negara muslim. Sebagaimana halnya seluruh media informasi dan komunikasi harus tertutup di depan mereka, sehingga mereka tidak bisa mempublikasikan jati diri mereka di tengah-tengah masyarakat muslim. Tetapi siapa yang berani melakukan itu! Kebanyakan undang-undang yang ada banyak memberikan tempat terhormat bagi mereka menebarkan racun (sekularisme) ini. Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung.
2. Bahaya pengiriman generasi-generasi muda kaum muslimin untuk belajar (ke negeri-negeri barat). Sudah berapa banyak kaum muslimin yang pergi ke sana kemudian kembali dengan membawa roman muka yang berbeda dengan roman muka ketika mereka berangkat dan hati yang tidak sama dengan hati di saat mereka berangkat. Dan memang apabila ada faktor-faktor yang mendorong sebagian muslimin untuk pergi ke sana untuk menimba ilmu pengetahuan dalam disiplin ilmu-ilmu eksperimen –ilmu eksakta/alam-, bagaimana kita bisa menyetujui kepergian sebagian muslim lain untuk memperoleh gelar pendidikan (akademis) dalam disiplin ilmu-ilmu syari’at pada umumnya dan bahasa Arab pada khususnya?!
Bahasa Arab itu bahasa mereka atau bahasa kita (umat Islam)?! Dan apakah al-Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka atau bahasa kita?!
Masuk akalkah apabila seorang muslim berharap memperoleh pengetahuan yang benar seputar ilmu-ilmu Islam dan syari’atnya dari orang-orang yang notabene manusia-manusia paling kufur dan dengki terhadap Islam dan pemeluknya?!
Wallahu a’lam bis shawab.
*Muhammad Syakir Syarif
No comments:
Post a Comment