oleh : Ustadz M. Fachry
Hari ini, reformasi 1998 sudah berjalan 15 tahun. Tidak ada perubahan yang berarti di negeri mayoritas Muslim ini, tetap terpuruk bahkan kini berpredikat negara gagal. Sejatinya, hanya dengan revolusi Islam, sebagai sebuah keniscayaan, negeri ini akan betul-betul berubah menjadi negeri yang menerapkan syariat Islam secara utuh dan menghadirkan rahmat Islam ke segenap penjuru alam. Jadi, mengapa takut dan harus khawatir dengan Revolusi Islam (Arab Springs) karena dia adalah sebuah sunatullah, konfrontasi antara al haq melawan al batil. Berikut sebuah artikel yang dikutip dari Majalah Al-Muhajirun Edisi Sharia4TheWorld. Selamat menikmati!
Bagaimana Sebuah Revolusi Islam Bermula?
Revolusi Islam (Ats Tsaurah Al Islamiyah) adalah sebuah keniscayaan, karena dia adalah sebuah sunatullah konfrontasi antara al-haq melawan al-batil. Gelombang Tsunami Revolusi yang menimpa dunia Islam, atau “Arab Springs” pada hakikatnya adalah sebuah kebangkitan Islam yang menyeluruh yang merupakan realisasi dari sunatullah tersebut. Bagaimanakah sebuah revolusi Islam bermula?
Revolusi Islam, Sebuah Sunatullah!
Syekh Umar Bakri Muhammad pernah menyampaikan dalam salah satu artikelnya ketika mengomentari revolusi-revolusi yang terjadi di Timur Tengah. Menurut beliau, salah satu berkah dan rahmat Allah SWT., kepada kita adalah Dia SWT., menakdirkan ‘tradisi’ (sunatullah) tertentu atas kita. Salah satunya adalah tradisi atau sunnah tadaafu yang berarti kurang lebih konfrontasi. Ini merupakan bagian dari sifat manusia dimana ada fihak yang menjadi penindas dengan kekuatan dusta dan syirik serta kekufuran mengambil alih serta menindas yang lemah dan mereka yang mengikuti al haq (kebenaran). Maka, akan selalu ada konfrontasi antara tauhid dan syirik, iman dan kufur, dan antara sunnah dan bid’ah.
Syekh Yahya Ibrahim dalam Majalah Al Qaeda Inspire Edisi 5, menyatakan bahwa menurut kami, revolusi yang tengah mengguncang singgasana para diktator itu baik bagi orang-orang Islam, baik bagi mujahidin dan buruk bagi imperialis Barat dan cecunguk-cecunguk mereka di dunia Islam.
Sementara itu, Syekh Anwar Al Awlaki memberikan catatan penting dalam tulisannya di majalah yang sama bahwa “Revolusi mampu mematahkan ketakutan yang selama ini mendekam di hati dan benak kaum Muslimin bahwa para tiran tidak bisa dikalahkan.”
Sayap media Al Qaeda, As-Sahab, pernah merilis pesan audio Syekh Usamah bin Ladin, rahimahullah, terkait revolusi yang marak di dunia Arab. Menurut beliau, Tunisia telah menerbitkan matahari revolusi yang sebelumnya telah ditunggu-tunggu umat terbit di Timur. Maka umat Islam menyambut dengan suka cita revolusi tersebut dan para revolusioner membawa revolusi Tunisia ke lapangan At-Tahrir di Mesir. Maka terjadilah revolusi yang besar!
Revolusi apakah itu? Menurut Syekh Usamah, revolusi itu adalah revolusi yang menentukan nasib bagi seluruh umat Islam jika mereka berpegang teguh kepada tali agama Allah. Revolusi ini bukanlah revolusi makanan dan pakaian. Ia adalah revolusi kemuliaan dan harga diri, revolusi pengorbanan, menerangi seluruh kota dan desa sungai Nil dari wilayah dataran rendah hingga dataran tinggi. Maka kemuliaan putra-putra Islam mulai terlihat. Jiwa-jiwa mereka merindukan kejayaan nenek moyang mereka. Mereka memungut di lapangan At-Tahrir Kairo bara api untuk mengalahkan pemerintahan-pemerintahan yang lalim. Mereka tegak melawan kebatilan. Mereka angkat tinggi-tinggi kepalan tangan mereka sebagai perlawanan terhadap kebatilan. Mereka tiada gentar terhadap tentara kebatilan. Mereka saling berjanji dan mereka meneguhkan janji tersebut. Tekad mereka telah bulat, lengan tangan mereka saling menopang, dan revolusi pun menjanjikan kemenangan.
Dalam tulisan tersebut, kita bisa mengambil beberapa pelajaran khusus terkait dengan revolusi-revolusi yang terjadi saat ini. Dalam artikel tersebut Syekh Usamah Bin Ladin, rahimahulah, mengingatkan kepada orang-orang yang jujur bahwa membentuk sebuah majelis yang memberikan pendapat dan musyawarah kepada bangsa-bangsa muslim dalam seluruh aspek yang urgen merupakan sebuah kewajiban syar’i. Kewajiban itu lebih tegas lagi atas diri para aktivis Islam yang memiliki ghirah, yang sejak lama mereka telah memberi nasehat urgensi mencabut pemerintahan-pemerintahan yang zalim ini sampai ke akar-akarnya.
Para aktivis Islam tersebut memiliki tingkat kepercayaan (dukungan) yang luas di kalangan kaum muslimin. Maka mereka harus memulai program ini dan mengumumkannya dengan segera, jauh dari dominasi para penguasa diktator. Mereka harus membuat ‘kamar operasi’ (lembaga riset dan litbang, pent) yang memantau (mengikuti) perkembangan kejadian agar bekerja melalui langkah-langkah yang seimbang (terukur) yang mencakup seluruh kebutuhan umat Islam. Mereka harus mengambil manfaat dari saran-saran para tokoh cendekiawan umat ini, dan meminta bantuan lembaga-lembaga kajian yang profesional serta orang-orang bijak nan ahli umat ini untuk menyelamatkan umat ini yang tengah berjuang dalam rangka menjatuhkan para penguasa taghut, sedang putra-putra umat ini menghadapi berbagai pembantaian. Mereka harus membimbing dan mengarahkan bangsa-bangsa muslim —yang tengah berjuang untuk menjatuhkan penguasa dan pilar-pilarnya— dengan langkah-langkah yang seharusnya (tepat) untuk melindungi revolusi ini dan merealisasikan tujuan-tujuannya.
Demikian juga wajib saling membantu dengan bangsa-bangsa yang belum memulai revolusi, untuk menentukan hari H dan apa yang harus dikerjakan sebelumnya. Sebab, keterlambatan akan menyebabkan hilangnya kesempatan. Sebaliknya, tergesa-gesa sebelum saatnya hanya akan menambah jumlah korban. Saya perkirakan angin perubahan akan melanda seluruh dunia Islam, dengan izin Allah. Maka para pemuda wajib mempersiapkan hal-hal yang semestinya untuk menghadapi peristiwa tersebut. Janganlah mereka memutuskan sebuah perkara sebelum mereka bermusyawarah dengan para ahli yang berpengalaman lagi jujur, yang jauh dari solusi-solusi ‘titik temu’ (saling menguntungkan dengan taghut, pent) dan berkompromi dengan para penguasa zalim.
Di akhir artikelnya, Syekh Usamah memberikan ucapan selamat bagi siapa yang keluar dengan niat yang agung ini. Jika ia terbunuh, maka ia menjadi pemimpin para syuhada’. Dan jika ia hidup, maka ia mulia dan Berjaya. Maka perjuangkanlah kebenaran dan janganlah menghiraukan resikonya!
Roda Islam Terus Berputar
Untuk melengkapi pemahaman kita tentang revolusi Islam, maka kita bisa mengkaji sebuah artikel yang ditulis oleh Syekh Hasan Umar berjudul “Ruha al-Islam Dairah” dari Global Islamic Media Front (GIMF) terkait revolusi kaum Muslimin di negara-negara Arab, dan kemudian diterjemahkan oleh Muhib Al-Majdi dari arrahmah.com dengan judul “Roda Islam Terus Berputar).
Di awal artikel tersebut, Syekh Hasan Umar mengutip hadits dari Muadz bin Jabal yang berkata: “Saya mendengar Rasululah SAW bersabda:
Dari Muadz bin Jabal berkata: “Saya mendengar Rasululah SAW bersabda:
“Sesungguhnya roda pengilingan Islam terus berputar, maka hendaklah kalian berputar bersama kitab Allah kemanapun ia berputar. Ketahuilah, sesungguhnya al-Qur’an akan berpisah dengan kekuasaan, maka janganlah kalian memisahkan diri dari Al-Qur’an.Ketahuilah, sesungguhnya akan datang kepada kalian para penguasa yang memutuskan perkara untuk kepentingan diri mereka sendiri dan tidak memutuskannya untuk kepentingan kalian. Jika kalian tidak menaati mereka, niscaya mereka akan membunuh kalian. Namun jika kalian menaati mereka, niscaya mereka akan menyesatkan kalian.”
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah yang harus kami lakukan?”
Beliau SAW menjawab, “Lakukanlah sebagaimana hal yang dilakukan oleh para pengikut setia nabi Isa bin Maryam. Mereka digergaji dengan gergaji besi dan disalib di atas sebatang kayu. Mati di atas ketaatan kepada Allah lebih baik daripada hidup dalam kemaksiatan kepada Allah.” (HR. Ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir dan Musnad asy-Syamiyin serta Abu Nu’aim al-Asbahani dalam Hilyah al-Awliya’. Imam Al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawaid, 5/231, berkata: Perawi Yazid bin Martsad tidak mendengar hadits dari Mu’adz. Perawi Wadhin bin ‘Atha’ dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Hibban dan lain-lain. Sementara seluruh perawi lainnya adalah para perawi yang tsiqah)
Setiap muslim dan muslimah harus memperhatikan hadits yang agung di atas, yang mengungkapkan semangat revolusi Islam. Hadits ini menjelaskan bahwa kekuasaan sering kali membenci syariat Allah, kitab Allah, dan dien Allah. Kenapa? Karena kepentingan-kepentingan para penguasa bertabrakan dan menyelisihi dien Allah, kitab Allah, dan para pengikut kebenaran. Andai saja para penguasa membiarkan para pengikut kebenaran atau membuka pintu bagi mereka untuk mengemukakan pendapat dan mengingkari kemungkaran. Namun para penguasa itu menindas masyarakat dan memberikan tekanan hebat kepada para pengikut kebenaran. Karena selalu ada pertarungan antara dua manhaj; manhaj dien Allah di bawah panji kitab Allah dan manhaj setan dan penguasa yang batil di bawah panji-panji jahiliyah dengan beragam nama baik pada masa dahulu maupun masa sekarang.
Setelah menjelaskan panjang lebar dalil-dalil sunatullah konfrontasi antara al-haq melawan al-batil, Syekh Hasan Umar menyimpulkan beberapa point penting untuk dijadikan pelajaran, yaitu :
1. Nabi SAW memerintahkan umatnya untuk berpegang teguh dengan Islam dalam segala keadaan, baik dalam kondisi susah maupun senang, kondisi sulit maupun lapang.
2. Nabi SAW menjelaskan bahwa Al-Qur’an dan para penguasa akan berpisah. Para penguasa tidak akan menerapkan syariat Allah, sebagaimana dilakukan oleh para penguasa zaman sekarang.
3. Nabi SAW menjelaskan bahwa para penguasa yang tidak menerapkan Al-Qur’an sebagai undang-undang tersebut adalah orang-orang yang tersesat dan menyesatkan. Barangsiapa menaati mereka niscaya akan tersesat dari kebenaran dan mengikuti setan. Pembelaan para ulama su’ dan berbagai udzur (alasan pembenaran) untuk para penguasa tersebut sama sekali tidak member manfaat bagi para penguasa tersebut. Status mereka tetap saja adalah para pemimpin kesesatan, dan Nabi SAW menyatakan ‘Jika kalian menaati mereka, niscaya mereka akan menyesatkan kalian.”
4. Hadits tersebut menjelaskan prinsip tidak adanya ketaatan kepada makhluk jika diperintahkan untuk bermaksiat kepada Allah SWT.
5. Hadits tersebut menjelaskan bahwa para penguasa yang menyimpang dari jalan Allah tersebut adalah para pembuat kehancuran dan kerusakan. Mereka merusak urusan dunia dan agama rakyat. Mereka tidak sungkan untuk menumpahkan darah rakyat tanpa alasan yang dibenarkan oleh agama. Maka tepatlah sifat mereka dalam hadits di atas: “Jika kalian tidak menaati mereka, niscaya mereka akan membunuh kalian. Namun jika kalian menaati mereka, niscaya mereka akan menyesatkan kalian.”
6. Hadits tersebut memerintahkan kesabaran memegang teguh agama Allah meski apapun resiko yang akan menimpa seorang hamba. Sabda Nabi SAW: Lakukanlah sebagaimana hal yang dilakukan oleh para pengikut setia nabi Isa bin Maryam. Mereka digergaji dengan gergaji besi dan disalib di atas sebatang kayu.” Semua resiko tersebut tidak memalingkan mereka dari dien Allah SWT.
7. Hadits tersebut menjelaskan kaitan yang erat antara ujian dengan keimanan. Sebagaimana firman Allah SWT:
أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ * وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: Kami telah beriman, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS. Al-Ankabut (29): 2-3)
Juga seperti sabda Nabi SAW:
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاءً ؟ قَالَ : ” الْأَنْبِيَاءُ ، ثُمَّ الصَّالِحُونَ ، ثُمَّ الْأَمْثَلُ ، فَالْأَمْثَلُ مِنَ النَّاسِ ، يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ ، فَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ صَلابَةٌ زِيدَ فِي بَلائِهِ ، وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ خُفِّفَ عَنْهُ
“Manusia yang paling berat ujiannya adalah para nabi kemudian orang-orang shalih kemudian orang-orang yang keimanannya di bawah mereka. Setiap orang akan diuji sesuai kadar agama (keimanan)nya. Jika ia teguh memegang agama, niscaya ujian untuknya akan ditambah.Jika agamanya lemah, niscaya ujiannya juga akan diringankan.” (HR. Ahmad, ad-Darimi, ath-Thayalisi, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan lain-lain)
Beliau SAW juga bersabda:
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ ، وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ ، مَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا ، وَمَنْ سَخَطَ فَلَهُ السَّخَطُ
“Sesungguhnya besarnya pahala sesuai dengan besarnya ujian. Sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum, niscaya Allah akan menimpakan ujian kepada mereka. Barangsiapa yang ridha dengan ujian Allah, niscaya Allah ridha kepadanya. Dan barangsiapa marah kepada ujian Allah, niscaya Allah marah kepadanya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Baihaqi, al-Qudha’i, Abu Ya’la, dan lain-lain)
8. Hadits di atas menunjukkan bahwa Islam melakukan revolusi terhadap para penguasa yang menyelisihi kitab Allah dan menzalimi hamba-hamba-Nya, bagaimanapun besarnya kekuasaan mereka.
9. Selama para penguasa yang menyelisihi kitab Allah adalah orang-orang yang tersesat dan barangsiapa menaati mereka niscaya mereka akan menyesatkannya; maka para ulama yang mengajak rakyat untuk menaati para penguasa tersebut, tidak melawan mereka, dan bahkan menampakkan indah kondisi para penguasa tersebut dengan menyebut mereka sebagai ulil amri bagi kaum muslimin dan menuduh orang-orang yang melawan mereka adalah Khawarij…maka para ulama tersebut adalah orang-orang yang tersesat, bahkan mereka adalah para ulama tukang menyesatkan umat Islam. Mereka menyembunyikan kebenaran dan juga mencampur adukkan antara kebenaran dan kebatilan. Mereka menyodorkan kepada masyarakat agama ‘privat’ yang tidak mengandung jihad, amar ma’ruf, dan nahi munkar.
Mereka adalah orang-orang yang dimurkai oleh Allah. Para ulama yang tersesat menyerupai orang-orang Yahudi yang dimurkai oleh Allah, karena mereka mengetahui kebenaran namun tersesat (tidak mengamalkan ilmunya). Mereka itu dilaknat Allah SWT sampai mereka bertaubat. Di antara syarat taubat mereka adalah menjelaskan kepada masyarakat kebenaran yang mereka sembunyikan. Sebagaimana firman Allah:
{إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِن بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَـئِكَ يَلعَنُهُمُ اللّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ * إِلاَّ الَّذِينَ تَابُواْ وَأَصْلَحُواْ وَبَيَّنُواْ فَأُوْلَـئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ }
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati pula oleh semua makhluk yang melaknati. Kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran yang mereka sembunyikan), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah (2): 159-160)
Allah SWT mempersyaratkan taubat mereka harus disertai sikap menjelaskan kepada masyarakat kebenaran yang mereka sembunyikan. Seperti disebutkan dalam ayat ini:
{إِلاَّ الَّذِينَ تَابُواْ وَأَصْلَحُواْ وَبَيَّنُواْ}
“Kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran yang mereka sembunyikan).”
Setelah itu kita memiliki sikap khusus kepada mereka dengan izin Allah.
Kita memohon kepada Allah semoga mengumpulkan kita di atas kebenaran dan mempekerjakan kita untuk memperjuangkan dien-Nya. Amin.
Metode Revolusi Islam
Sering menjadi pertanyaan, bagaimana cara Islam untuk melakukan Revolusi dan apakah revolusi itu sebuah metode yang Islami dalam Islam?
Dalam pandangan Islam, khususnya berdasarkan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, melakukan kudeta atau pemberontakan kepada penguasa yang telah jauh meninggalkan syariat Islam adalah sesuatu yang diperbolehkan, bahkan di kondisi tertentu menjadi wajib hukumnya.
Dalam hal ini, Ahli ilmu sepakat bahwa Imamah (kepemimpinan) diangkat berdasarkan tiga cara (kitab Al Ahkam Ash Sulthaniyah tulisan Imam Al Mawardi, dan Ghiyats Al Umam karya Imam Al Juwaini), yang salah satunya adalah melalui kudeta, atau revolusi.
Cara kudeta atau pemberontakan bersenjata dilakukan di zaman terjadinya fitnah dan kosongnya suatu zaman dari seorang imam, sedangkan Ahlul Halli wal ‘Aqdi lamban untuk mengangkatnya. Maka di saat seperti ini, kaum Muslimin yang berhasil mengambil alih kekuasaan dengan pedangnya, lalu menyeru untuk berbaiat, menampakkan kekuatan dan pengikut, dia menjadi Amirul Mukminin secara sah menurut syariat. Dia wajib ditaati dan dibai’at dan tidak boleh ada yang menentangnya.
Dalam penjelasan yang lain, cara atau metode kudeta ini disebut juga dengan Al-Qahru wa Al-Ghalabah (Perebutan kekuasaan, kudeta). Cara ini dilakukan oleh pejuang Muslim dalam masa-masa kekacauan. Pejuang Muslim yang menggulingkan imam yang sah dengan kekuatan senjata, lalu ia memerintah dan menegakkan syariat Allah, maka ia dihukumi sah sebagai imam dan wajib ditaati demi menjaga kemaslahatan yang lebih besar bagi umat Islam.
Sebab lain diterapkannya metode revolusi Islam adalah di saat penguasa telah menampakkan kekufuran yang nyata, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Abdullah bis Shamit.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil kami lalu membai’at kami, dan di antara bai’atnya agar kami bersumpah setia untuk mendengar dan taat baik kami dalam keadaan suka maupun tidak suka, dalam kesusahan maupun kemudahan dan dalam keadaan diperlakukan yang tidak adil, dan hendaklah kami tidak mencabut kepemimpinan dari pemiliknya, beliau berkata: kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata yang kalian memiliki dalil padanya dari Allah.” (HR. Imam Al Bukhari dan Imam Muslim)
Hadits Ubadah bin Ash Shamit radliallahu ‘anhu ini berfungsi sebagai qayd (pengikat) terhadap seluruh hadits-hadits yang memerintahkan kaum muslimin agar mendengar, taat, bersabar, menghormati, memuliakan dan sebagainya kepada para pemimpinnya dan yang melarang menentangnya, melawannya, keluar untuk memeranginya, mendoakan bunuh atasnya dan sebagainya.
Imam Al Bukhari meletakkan hadits ini dalam kitab shahihnya dalam kitab “Al Fitan” sesudah hadits Ibnu Abbas radliallahu ‘anhu:
“Barang siapa yang melihat sesuatu yang tidak ia sukai dari penguasanya, maka hendaklah ia bersabar, karena sesungguhnya barang siapa yang memisahkan diri dari jama’ah sejengkal saja, lalu ia mati, maka matinya dalam keadaan mati jahiliyah.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Maka hal ini sebagai isyarat yang menunjukkan bahwa hadits Ubadah sebagai pengikat terhadap hadits Ibnu Abbas radliallahu ‘anhum, maknanya batas kesabaran selama tidak melakukan kufur bawahan (kekufuran yang nyata).
Adapun penjelasan dari sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata yang kalian memiliki dalil padanya dari Allah.”
Sabda beliau dalam hadits tersebut maknanya jelas menunjukkan atas kekufuran artinya perbuatan yang dilakukan penguasa itu dosa mukaffir (dosa yang mengkafirkan). Juga pengertian adanya dalil, maknanya: adanya dalil syar’i yang jelas bahwa perbuatan yang dilakukan tersebut adalah mukaffir (mengkufurkan).
Imam Asy Syaukani rahimahullah berkata: Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, artinya ada nash dari ayat maupun hadits yang jelas yang tidak mengandung takwil, dan tuntutannya bahwasanya tidak boleh keluar atas mereka selama perbuatan mereka mengandungi takwil. (Nailul Authar 7/361)
Dari keterangan tersebut jelaslah bahwa seandainya mereka semula merupakan para pemimpin yang syah di sisi syari’at, maka dengan kufur bawahan yang mereka lakukan bahkan berbagai kufur akbar bawahan telah mereka lakukan, dengan demikian telah gugurlah imarah atau kepemimpinan dari tangan mereka.
Seterusnya apa yang wajib dilakukan kaum muslimin apabila mereka melihat penguasanya telah melakukan kufran bawahan (kufur yang jelas)? Mereka wajib keluar terhadapnya untuk menggulingkannya dan menggantikannya dengan pemimpin yang adil, adapun dalilnya sebagai berikut: yaitu nash hadits Ubadah bin Ash Shamit radliallahu ‘anhu di atas.
Maka tidak ada jalan lain bagi kaum muslimin untuk menghadapi penguasa thoghut selain “Jihad Fi Sabilillah” jika mampu, kalau tidak mampu wajib i’dad (persiapan untuk berjihad). Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: Sebagaimana wajibnya persiapan untuk berjihad dengan mempersiapkan kekuatan dan pacuan kuda pada masa gugurnya wajibnya jihad karena lemah, maka sesungguhnya sesuatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengannya maka ia wajib (Majmu’ul Fatawa 28/259)
Sebagai penutup kita sampaikan perkataan Syekh Athiyatullah, rahimahullah agar kita bisa mengevaluasi sekaligus mempersiapkan diri untuk memulai Ats Tsaurah Al Islamiyah atau Revolusi Islam.
“Hendaknya kita mengetahui kadar (kemampuan) kita semua, dan hendaknya kita bersungguh-sungguh dalam ta’wun di atas kebaikan, ketaqwaan dan jihad di jalan Alloh. Semua (bermula) dari tempatnya dan dengan apa yang dia mampu serta dengan apa yang sesuai dalam haknya. Sedangkan Alloh akan membuka dan menurunkan kelapangan dan pertolongan dengan kejujuran orang-orang yang jujur, ketulusan orang-orang yang ikhlash dan doanya orang-orang lemah yang dikalahkan.”
Wallahu’alam bis showab!
al-mustaqbal.org
No comments:
Post a Comment