A. Definisi Taqlid Dan Larangannya.
Asy Syaukani rahimahullah berkata tentang taqlid: “Taqlid adalah mengamalkan pendapat orang lain tanpa hujjah.” [Irsyadul Fuhul 441]. Dan berkata juga setelah menuturkan sebagian ucapan para ulama tentang hal itu: “Dan dengan ini diketahui bahwa larangan dari taqlid itu bila bukan ijma, maka ia itu adalah pendapat jumhur ulama.” [Irsyadul Fuhul 445].
B. Taqlid Dalam Tauhid.
Asy Syaukani rahimahullah berkata di awal kitabnya Assailul Jarrar: Sesungguhnya ucapannya “al far’iyyah/hal yang bersifat furu’ (cabang)” adalah mengeluarkan al ashliyyah yaitu perasalahan ushuluddien dan ushulul fiqh, dan ini adalah pendapat jumhur apalagi dalam ushuluddien. Bahkan Al Ustadz Abu Ishaq telah menghikayatkan dalam Syarh At Tartib: “Bahwa larangan dari taqlid di dalamnya adalah ijma para ulama dari kalangan ahlul haq dan kelompok lainnya.” Abul Hasan Ibnul Qaththan berkata: “Kami tidak mengetahui penyelisihan perihal larangan dari taqlid di dalam tauhid,” dan hal ini dihikayatkan oleh Ibnu Assam’aniy dari semua ahli kalam dan sejumlah fuqaha. Imam Al Haramain berkata dalam Asy Syamail: “Tidak berpendapat bolehnya taqlid di dalam ushul kecuali hanabilah.” Al Isfirayiniy berkata: “Tidak menyelisihi dalam hal ini kecuali Ahlu Adh Dhahir.” Dan Ibnul Hajib tidak menghikayatkan penyelisihan dalam hal itu kecuali dari Al ‘Anbariy, dan menghikayatkannya dalam Al Mahshul dari banyak para fuqaha. Jumhur berdalil atas larangan taqlid dalam hal itu dengan pernyataan bahwa umat telah ijma atas wajibnya ma’rifah (mengetahui) Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan bahwa ma’rifah itu tidak terealisasi dengan taqlid, karena sesungguhnya orang yang taqlid itu tidak memiliki kecuali mengambil pendapat orang yang dia taqlid kepadanya, sedangkan dia tidak mengetahui apakah dia itu benar atau salah.” [Assailul Jarrar, cetakan pertama dalam satu jilid hal 12]
Al Qurthubiy rahimahullah berkata dalam tafsirnya pada surat Al A’raf di ayat Mitsaq: “Dan tidak ada udzur bagi muqallid dalam tauhid.” [Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an 7/319]
C. Nasib Akhir Orang Yang Taqlid Dalam Aqidah.
Al Bukhari telah meriwayatkan dari hadits Qatadah dari Anas bahwa ia menyampaikan kepada mereka bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
”Sesungguhnya seorang hamba bila diletakkan di dalam kuburannya dan kawan-kawannya telah meninggalkannya -sesungguhnya dia itu benar-benar mendengar suara derap sandal mereka- maka dia didatangi oleh dua malaikat, terus keduanya mendudukan dia dan berkata kepadanya: Apa yang dahulu kamu katakan tentang pria ini? kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam? Adapun orang mukmin maka dia berkata: “Saya bersaksi bahwa ia adalah hamba dan utusan Allah,” maka dikatakan kepadanya: Lihatlah tempat dudukmu dari neraka sungguh Allah telah menggantikannya bagimu dengan tempat duduk dari surga,” maka diapun melihat kedua tempat duduk itu semuanya.” Qatadah berkata: Dan dituturkan kepada kami bahwa dilapangkan baginya di dalam kuburnya, kemudian ia (Qatadah) kembali kepada hadits Anas, berkata: Dan adapun orang munafiq dan orang kafir, maka dikatakan kepadanya: Apa yang dahulu kamu katakan tentang pria ini? Maka dia berkata: Saya tidak mengetahui, dahulu saya mengatakan apa yang dikatakan manusia,” maka dikatakan kepadanya: “Kamu tidak mengetahui dan kamu tidak membaca,” dan diapun dipukul satu pukulan dengan pukulan besi, sehingga dia berteriak dengan teriakan yang didengar oleh makhluk yang ada di sekitarnya selain manusia dan jin.” [Shahih Al Bukhari, Kitabul Janaiz 1374]
Al Hafidh Ibnu Hajar berkata: “dan di dalam hadits ini ada celaan terhadap taqlid di dalam i’tiqadat (keyakinan-keyakinan) karena pemberian sangsi kepada orang yang mengucapkan: Saya dahulu mendengar manusia mengucapkan sesuatu, maka sayapun mengucapkannya....” [Fathul Bari (1/806) cetakan 3 jilid]
D. Taqlid Adalah Sebab Bagi Kesesatan.
Bukankah penyakit banyak makhluk ini adalah taqlid? Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“.....Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?" Mereka menjawab: "Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya". (Al Anbiya: 52-53)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
"Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka". (Az Zukhruf: 22)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
“Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).” (Al Ahzab: 67)
Asy Syaukani rahimahullah berkata: “Yang dimaksud dengan السادة dan الكبراء adalah para pemimpin dan para komandan yang mana bawahan melaksanakan perintah mereka di dunia dan mengikuti mereka. Di dalam hal ini terdapat penjeraan yang dasyat dari taqlid, berapa banyak di dalam Al Kitabul Aziz terdapat pengingatan terhadap hal ini, penghatihatian darinya dan penjauhan darinya, akan tetapi hal itu bagi orang yang memahami makna firman Allah dan mengikutinya serta bersifat jujur terhadap dirinya sendiri, tidak bagi orang yang berwatak seperti hewan ternak dalam keburukan dalam memahami, kedunguan yang sangat dan bersikap panatik buta.” [Fahul Qadir 4/441]
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". Dan Apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?.” (Al Maidah: 104)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “yaitu: Bila mereka diajak kepada dienullah dan syari’at-Nya serta apa yang diwajibkan-Nya dan diajak untuk meninggalkan apa yang diharamkan-Nya, maka mereka berkata: Cukup bagi kami apa yang kami dapatkan dari apa yang dianut oleh nenek moyang kami berupa ajaran dan tuntunan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman “Dan Apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” yaitu mereka itu tidak memahami kebenaran, tidak mengetahuinya dan tidak mendapatkan petunjuk kepadanya, maka bagaimana mereka mengikutinya padahal keadaannya seperti ini? Tidak mengikuti mereka kecuali orang yang lebih bodoh dari mereka dan lebih sesat jalannya.” [Tafsir Al Qur’anil ‘Adhim 2/108-109]
Dan para ulama muhaqqiqun telah bersepakat untuk berdalil dengan ayat-ayat (semacam) ini -walaupun ia itu datang berkenaan dengan orang-orang musyrik (asli)- dan menuturkannya pada orang-orang yang taqlid dengan bentuk taqlid tercela macam apa saja, maka bagaimana gerangan dengan taqlid di dalam syirik akbar dan kekafiran?
E. Taqlid Adalah Sebab Bagi Pendustaan Dan Pembangkangan.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
“Bahkan yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna Padahal belum datang kepada mereka penjelasannya. Demikianlah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul). Maka perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim itu.” (Yunus: 39)
Asy Syaukani berkata: “Dia pindah menjelaskan bahwa mereka itu bergegas untuk mendustakan Al Qur’an sebelum mentadabburinya dan sebelum memahami makna-maknanya dan apa yang dikandungnya. Begitulah tindakan orang yang membatu di dalam taqlid dan tidak peduli dengan apa yang dibawa oleh orang yang mengajak kepada al haq dan berpegang teguh dengan prinsip obyektifitas, akan tetapi dia menolaknya dengan sekedar bahwa hal itu tidak sejalan dengan seleranya dan tidak sesuai dengan keinginannya sebelum dia mengenal maknanya dan mengetahui kandungannya, sebagaimana yang bisa engkau lihat dan engkau ketahui secara nyata. Walhasil bahwa orang yang mendustakkan hujjah yang terang dan bukti yang nyata sebelum dia mengetahuinya secara jelas, maka dia itu tidak berpegang kepada sesuatupun di dalam pendustaan ini kecuali sekedar kejahilan dia terhadap apa yang didustakkannya itu, sehingga dengan pendustaan semacam ini berarti dia telah mengumumkan kepada khalayak dengan suara lantang perihal kebodohan dia, dan mencatat dengan catatan yang jelas perihal kebodohan dia dari bisa memahami hujjah, sedangkan hujjah dan orang yang membawanya itu sama sekali tidak merasa rugi sedikitpun dengan pendustaan dia itu.
Musuh tidak akan mencapai dari orang jahil
Apa yang dicapai orang jahil dari dirinya sendiri [Fathul Qadir dalam satu jilid cetakan pertama hal 765]
F. Orang Yang Mencari Kebenaran Pasti Mendapatkan Apa Yang Dicarinya.
Asy Syaukani rahimahullah berkata: “Bila telah terbukti jelas di hadapanmu bahwa orang awam itu adalah bertanya kepada ahli ilmu dan orang yang kurang bertanya kepada orang yang sempurna, maka dia wajib bertanya kepada ahli ilmu yang terkenal dengan keshalihan dan kewara’annya tentang orang yang alim terhadap Al Kitab dan Assunnah lagi memahami apa yang ada di dalam keduanya lagi menguasai ilmu-ilmu alat yang dia perlukan di dalam memahami keduanya, agar mereka mengarahkannya kepada orang alim itu, terus dia bertanya kepadanya tentang masalahnya seraya meminta darinya agar menyebutkan kepadanya dalil dari Kitabullah Subhanahu Wa Ta’ala atau dari Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga ia-pun mengambil al haq dari sumbernya dan mengambil faidah hukum dari tempatnya serta ia selamat dari pendapat orang yang mana orang yang berpegang kepadanya tidak aman dari keterjatuhan dalam kekeliruan yang menyelisihi syari’at lagi bersebrangan dengan al haq. Barangsiapa meniti manhaj ini dan menelusuri jalan ini maka dia pasti mendapatkan apa yang dicarinya dan tidak akan kehilangan orang yang menunjukannya kepada al haq.” [Irsyadul Fuhul hal 451]
Al ‘Allamah Abu Bithin mufti Diyar Najdiyyah rahimahullah berkata: “dan termasuk yang mengherankan adalah bahwa sebagian orang bila mendengar orang yang berbicara perihal makna kalimat (laa ilaaha illallaah) ini yang berisi penafian dan itsbat (penetapan), maka dia mencelanya dan malah berkata: Kami tidak diperintahkan untuk menilai manusia dan menjelaskan status mereka. Maka dikatakan kepadanya: Justeru kamu diwajibkan untuk memahami tauhid yang merupakan tujuan Allah dari menciptakan jin dan manusia dan yang mana semua rasul mengajak kepadanya, dan diwajibkan juga mengetahui lawannya yaitu syirik yang merupakan dosa yang tidak diampuni dan tidak
ada udzur bagi mukallaf dalam kebodohan terhadapnya serta tidak boleh taqlid di dalamnya, karena ia adalah ashlul ushul (pokok dari segala pokok). Barangsiapa tidak mengenal hal ma’ruf dan tidak mengingkari kemungkaran, maka dia itu binasa, apalagi hal ma’ruf terbesar yaitu tauhid dan hal mungkar terbesar yaitu syirik.” [‘Aqidatul Muwahhidin, Al Intishar Li Hizbillahil Muwahhidien: 11]
oleh: Syaikh Muhammad Salim Walad Muhammad Al Amin Al Majlisiy hafidzahullah
Alih Bahasa: Ustadz Abu Sulaiman Aman Abdurrahman hafizhahullah
No comments:
Post a Comment