Thursday, July 18, 2013

Syarat-Syarat Laa Ilaaha Illallaah



Ketahuilah sesungguhnya syarat adalah sesuatu yang mesti dari ketidakadaannya adalah tidak adanya hukum, namun tidak mesti dari keberadaannya keberadaan hukum. Bila suatu syarat dari syarat-syarat (Laa Ilaaha Illallaah) ini tidak ada, maka orangnya tidak merealisasikan Laa ilaaha illallaah, sehingga saat itu tidak bermanfaatlah pengucapan kalimat ini.

Wahb Ibnu Munabbih ditanya:
أليس " لا إله إلا الله " مفتاح الجنة؟ قال بلى ولكن ما من مفتاح إلا وله أسنان فإن جئت بمفتاح له أسنان فتح لك و إلا لم يفتح لك
(Bukankah “Laa Ilaaha Illallaah” itu kunci surga? Beliau berkata: Ya, akan tetapi tidak satu kunci-pun melainkan ia itu memiliki gerigi, bila kamu datang dengan membawa kunci yang memiliki gerigi maka (pintu) dibukakan bagimu, dan bila tidak (ada geriginya) maka tidak dibukakan bagimu) [Ditururkan oleh Al Bukhari secara ta’liq dalam Kitab Al Janaiz: Bab barangsiapa akhir ucapannya “Laa Ilaaha Illallaah” 3/109]

A. Syarat Pertama:

Al Ilmu (mengetahui) makna yang dimaksudkan darinya berupa penafian (peniadaan) dan penetapan: yang menafikan kejahilan terhadap hal itu. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (yang berhak diibadati) selain Allah..” (Muhammad: 19).

Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
“...akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa'at ialah) orang yang bersaksi terhadap (tauhid) sedang mereka mengetahui(nya).” (Az Zukhruf: 86), yaitu bersaksi terhadap Laa ilaaha illallaah sedangkan mereka mengetahui dengan hati mereka apa yang mereka ucapkan dengan lisan mereka.

Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
“Allah bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga bersaksi terhadap hal itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Ali Imran: 18)

“Dari Utsman radliyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: "Barangsiapa mati sedangkan dia mengetahui bahwa tidak ada ilah (yang berhak diibadati) selain
Allah, maka dia pasti masuk surga." [HR Muslim dalam Kitabul Iman 26]

B. Syarat Kedua:

Yaqin yang menafikan keraguan: Dan maknanya bahwa orang yang mengucapkan kalimat ini adalah harus meyakini apa yang ditunjukan kalimat ini dengan keyakinan yang pasti, karena sesungguhnya keimanan itu tidak bermanfaat kecuali dengan ilmul yaqin bukan ilmu adh dhann (ilmu perkiraan). Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
”Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang jujur.” (Al Hujurat: 15)

Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang berhak diibadati) selain Allah dan bahwa Aku adalah Rasulullah, tidak seorang hamba-pun menjumpai Allah dengan membawa keduanya seraya dia tidak ragu, kemudian dia terhalang dari surga.” [HR Muslim dalam Kitabul Iman 27.]

Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu dalam hadits yang panjang: (....Siapa saja orangnya yang kamu jumpai di belakang kebun ini sedang dia bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang berhak diibadati) selain Allah seraya hatinya yakin dengannya, maka berilah dia kabar gembira dengan surga). [HR Muslim dalam Kitabul Iman 31]

C. Syarat Ketiga:

Qabul (penerimaan) terhadap apa yang dituntut oleh kalimat ini dengan hatinya dan lisannya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengkisahkan kepada kita dari kabar umat terdahulu berupa penyelamatan orang-orang yang menerima kalimat ini dan pengadzaban-Nya terhadap orang-orang yang menolaknya dan enggan menerimanya, sebagaimana firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
“Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak- bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka". (Rasul itu) berkata: "Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?" Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya." Maka Kami binasakan mereka maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.” (Az Zukhruf: 23-25)

Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: "Laa ilaaha illallah" (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri,” (Ash Shaffat: 35)

D. Syarat Keempat:

Inqiyad (tunduk) terhadap apa yang ditunjukannya, yang menafikan sikap meninggalkan hal itu. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.” (An Nisa: 125)

Dan firman-Nya juga:
“Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. dan hanya kepada Allah lah kesudahan segala urusan.” (Luqman: 22) yaitu berpegang kepada Laa ilaaha illallaah.

Sedangkan tidak ada jalan untuk merealisasikan inqiyad dan sampai kepada tujuannya kecuali dengan mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyelisihi hawa nafsu serta segala yang menghalangi hal itu. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An Nisa: 65)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya terhadap ayat ini:
(Allah ta’ala bersumpah dengan Diri-Nya Yang Maha Mulia lagi Maha Suci bahwa sesorang tidak beriman sampai dia menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hakim (pemutus) dalam semua urusan, sehingga apa yang diputuskannya adalah kebenaran yang wajib tunduk kepadanya baik bathin maupun lahir, oleh sebab itu Allah berfirman:
”kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” yaitu bila mereka menjadikanmu sebagai hakim maka mereka mentaatimu di dalam bathin mereka juga, sehingga mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka tunduk kepadanya di dalam dhahir dan bathin sehingga mereka menerima hal itu dengan sepenuh hati tanpa penolakan dan penentangan, sebagaimana di dalam hadits:
“Demi Dzat Yang jiwaku ada di Tangan-Nya, tidaklah seseorang di antara kalian beriman sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” [Tafsir Ibnu Katsir 2/306, dan hadits ini dihasankan oleh An Nawawi dan didlaifkan oleh Ibnu Rajab dan yang lainnya, namun tidak diragukan perihal keshahihan maknanya]

E. Syarat Kelima:

Ash Shidqu (kejujuran) yang menafikan kebohongan: Yaitu dia mengatakannya dengan kejujuran dari lubuk hatinya, hatinya selaras dengan lisannya, karena sesungguhnya orang-orang munafiqin itu mengucapkannya akan tetapi tidak dengan kejujuran, di mana Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan tentang mereka:
“Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian," pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.” (Al Baqarah: 8 )

Dari Mu’adz Ibnu Jabal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Tidak seorangpun bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang berhak diibadati) selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah secara jujur dari lubuk hatinya melainkan Allah haramkan neraka terhadapnya.” [Al Bukhari dalam Kitabul Ilmi 128]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
“Pembenaran terhadap Laa ilaaha illallah adalah menuntut ketundukan dan pengakuan kepada hak-haknya, yaitu syari’at syari’at Islam yang merupakan rincian kalimat ini, dengan cara membenarkan seluruh berita-berita-Nya, merealisasikan perintah perintah-Nya serta menjauhi larangan-larangan-Nya.... Orang yang membenarkannya secara sebenar-benarnya adalah orang yang mendatangkan hal itu semuanya, sedangkan sudah diketahui bahwa keterjagaan harta dan darah itu secara total tidak terealisasi kecuali dengannya dan dengan menunaikan hak-haknya. Dan begitu juga keselamatan dari adzab secara total tidak terealisasi kecuali dengannya dan dengan haknya.” [At Tibyan Fi Aqsamil Qur’an hal 43]

F. Syarat Keenam:

Ikhlash, yaitu mentauhidkan Allah dalam tujuan (al qashdu), dan membersihkan amal dengan pelurusan niat dari semua noda-noda syirik. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).” (Az Zumar: 3)

Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala juga:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus,” (Al Bayyinah: 5)

Al Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: “Manusia yang paling bahagia mendapatkan syafa’atku adalah orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah seraya tulus (murni) dari lubuk hatinya.” [Al Bukhari dalam Kitabul Ilmi 99]

G. Syarat Ketujuh:

Mahabbah (mencintai), kalimat ini dan apa yang dituntut olehnya serta apa yang ditunjukan olehnya, dan mencintai para penganutnya yang mengamalkannya lagi komitmen dengan syarat-syaratnya, serta membenci apa yang membatalkan hal itu. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (Al Baqarah: 165)

Dan di dalam Ash Shahihain dari hadits Anas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Tiga hal yang barangsiapa ada pada dirinya, maka dia pasti mendapatkan manisnya iman; Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai dari selain keduanya, dia mencintai seseorang seraya tidak mencintainya kecuali karena Allah, dan dia tidak menyukai kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya darinya sebagaimana dia tidak menyukai dilemparkan ke dalam neraka.” [Al Bukhari, Al Iman 16 dan Muslim, Al Iman 43]

Al Hakami berkata: )
“Dan tanda kecintaan si hamba kepada Rabb-nya adalah dia mengedepankan apa yang dicintai-Nya walaupun menyelisihi hawa nafsunya, membenci apa yang dibenci Rabb-nya walaupun hawa nafsunya cenderung kepadanya, loyal kepada orang yang loyal kepada Allah dan Rasul-Nya dan memusuhi orang yang memusuhi-Nya, mengikuti Rasul-Nya, meneladani jejaknya serta menerima tuntunannya.” [Ma’arijul Qabul 1/383, silahkan rujuk Al Wala Wal Bara hal 28 sampai 38 dan Ma’arijul Qabul 1/377 sampai 383]

oleh: Syaikh Muhammad Salim Walad Muhammad Al Amin Al Majlisiy hafidzahullah

Alih Bahasa: Ustadz Abu Sulaiman Aman Abdurrahman hafizhahullah
 

No comments:

Post a Comment