Thursday, July 18, 2013

Tidak Sah Islam Bagi Orang Yang Tidak Merealisasikan Tauhid



A. Kewajiban Mengetahui Tauhid

Al Bukhari rahimahullah berkata:
“Bab ilmu sebelum ucapan dan amal, berdasarkan firman Allah ta’ala: “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (yang berhak diibadati) selain Allah..” (Muhammad: 19) di mana Allah memulai dengan ilmu.”

Al Hafidh berkata:
(Ucapannya “di mana Allah memulai dengan ilmu” yaitu pembicaraan, berkata: “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (yang berhak diibadati) selain Allah..” kemudian berfirman “dan meminta ampunanlah bagi dosamu.” Khithab ini walaupun ditujukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun ia meliputi umatnya. Dan Sufyan Ibnu ‘Uyainah berdalil dengan ayat ini terhadap keutamaan ilmu, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah pada biografinya dari jalur Ar Rabi’ Ibnu Nafi’ darinya bahwa ia membaca ayat ini terus berkata: Apakah engkau tidak mendengar bahwa Allah memulai dengannya, di mana Dia berfirman “Maka ketahuilah” kemudian Dia memerintahkannya untuk beramal? Dan diambil darinya suatu dalil terhadap apa yang dikatakan oleh para ahli kalam perihal wajibnya ma’rifah, akan tetapi perselisihan itu adalah sebagaimana yang telah kamu ketengahkan yaitu hanya perihal pengwajiban mempelajari dalil-dalil sesuai cara-cara yang disebutkan di dalam kitab-kitab (ahli) kalam). [Fathul Bari dalam 3 jilid 1/287]

Maka perhatikanlah -semoga Allah merahmatimu- kepada apa yang diisyaratkan oleh Al Hafidh bahwa tidak ada perselisihan perihal wajibnya ma’rifah, yaitu ma’rifah (mengetahui) tauhid, namun yang diperselisihkan itu hanyalah perihal pengwajiban mempelajari dalil-dalil sesuai cara-cara yang telah ditetapkan oleh ahli kalam.

B. Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah

An Nawawi rahimahullah telah menukil ucapan yang panjang milik Al Qadli ‘Iyadl dan menilainya bagus, berkata: Al Qadli ‘Iyadl berkata: (....Dan Madzhab Ahlussunnah bahwa ma’rifah itu berkaitan dengan syahadatain, salah satu dari keduanya tidak bermanfaat dan tidak menyelamatkan dari neraka tanpa yang satunya lagi kecuali bagi orang yang tidak mampu mengucapkan syahadatain karena suatu cacat di lisannya atau tidak ada tenggang waktu cukup untuk mengucapkannya....) [Syarah Shahih Muslim, milik An Nawawi 1/219]

C. Kejahilan Terhadap Allah Adalah Kekafiran Bagaimanapun Keadaannya

Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah menuturkan dari Muhammad Ibnu Nashr Al Warwaziy, berkata: (Mereka, yaitu Ahlussunnah berkata: Dan tatkala mengetahui Allah itu adalah keimanan dan kejahilan terhadap-Nya adalah kekafiran, dan sedangkan mengetahui faraidl (hal-hal yang difardlukan) itu adalah keimanan dan kejahilan terhadapnya sebelum ia diturunkan adalah bukan kekafiran; karena sesungguhnya para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengakui Allah di awal waktu Allah mengutus Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka, sedangkan mereka belum mengetahui faraidl yang difardlukan terhadap mereka setelah itu- maka kejahilan mereka terhadap faraidl itu bukanlah kekafiran, kemudian Allah menurunkan faraidl terhadap mereka, maka pengakuan dan pengamalan mereka terhadapnya adalah merupakan keimanan, dan sedangkan orang yang mengingkarinya hanyalah dikafirkan karena sebab dia mendustakan khabar (peberitahuan) dari Allah, dan seandainya tidak datang khabar dari Allah tentulah dia tidak menjadi kafir dengan sebab kejahilan terhadapnya. Sedangkan setelah datangnya khabar maka orang muslim yang tidak mendengar khabar tersebut tidaklah menjadi kafir dengan sebab tidak mengetahuinya. Adapun kejahilan terhadap Allah adalah dalam setiap keadaannya merupakan kekafiran baik sebelum ada khabar maupun setelah datangnya khabar). [Majmu Al Fatawa 7/325]

‘Alauddien Abu Bakar Mas’ud Ibnu Ahmad Al Kasaniy berkata: Sesungguhnya Abu Yusuf meriwayatkan dari Abu Hanifah rahimahullah ungkapan ini: Di Mana Abu Hanifah berkata: “Tidak ada udzur bagi seorang makhluk-pun dalam kejahilan dia terhadap ma’rifah (mengenal) Ar Rabb Subhanahu Wa Ta’ala dan pentauhidan-Nya dikarenakan apa yang dilihatnya dari penciptaan langit dan bumi, penciptaan dirinya serta penciptaan apa yang telah Allah subhanahu ciptakan. Adapun faraidl (syari’at-syari’at yang difardlukan), barangsiapa yang tidak mengetahuinya dan hal itu belum sampai kepadanya, maka sesungguhnya orang ini belum tegak kepadanya hujjah hukmiyyah.” [Badaiush Shanai Wa Tartibusy Syarai 7/132]

D. Pembatasan Kejahilan Yang Diudzur Itu Adalah Selain Pada Tauhid

Ucapan-ucapan ulama salaf adalah sangat banyak dalam hal ini, di mana sesungguhnya mereka membatasi kekafiran dengan kejahilan itu hanyalah dalam hal meninggalkan faraidl (syari’at syari’at yang difardlukan) bukan dalam hal tauhid. Abdullah Ibnu Ahmad berkata: Telah menyampaikan kepada kami Suwaid Ibnu Sa’id Al Harawiy, berkata: Kami telah bertanya kepada Sufyan Ibnu ‘Uyainah tentang Irja, maka ia berkata:
“Mereka (Ahlussunnah) mengatakan: Iman itu adalah ucapan dan amalan, sedangkan Murji’ah menetapkan surga bagi orang yang bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang berhak diibadati) selain Allah seraya ia bersikukuh dengan hatinya atas peninggalan faraidl (kewajiban-kewajiban syari’at), dan mereka menamakan peninggalan faraidl itu sebagai dzanb (dosa) sama seperti melakukan hal-hal yang diharamkan. Padahal tidaklah sama, karena sesungguhnya melakukan hal-hal yang diharamkan tanpa istihlal (penghalalan) adalah maksiat sedangkan meninggalkan faraidl (kewajiban-kewajiban syari’at) secara sengaja bukan karena kejahilan dan tanpa udzur adalah kekafiran.” [Assunnah milik Abdullah Ibnu Ahmad 1/347-348]

E. Tuntutan Syahadat Dan Apa Yang Ditunjukannya

Dari ‘Ubadah Ibnu Ash Shamit berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang berhak diibadati) selain Allah saja lagi tidak ada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, dan bahwa Isa adalah hamba Allah dan utusan-Nya dan kalimat-Nya yang Dia masukan kepada Maryam serta ruh dari-Nya, dan (bahwa) surga adalah haq serta (bahwa) neraka adalah haq, maka Allah memasukannya ke dalam surga atas apa yang ada darinya berupa amalan.” [Assunnah milikAl Bukhari, Kitabul Anbiya 3435, dan Muslim, Kitabul Iman 28,46]

Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan berkata:
“Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang berhak diibadati) selain Allah, yaitu barangsiapa mengucapkannya seraya dia mengetahui maknanya lagi mengamalkan konsekuensinya lahir batin, karena dua kalimah syahadat ini harus disertai ilmu (mengetahui), yaqin dan mengetahui kandungannya, sebagaimana firman-Nya ta’ala: “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (yang berhak diibadati) selain Allah..” (Muhammad: 19), dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala: “...akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa'at ialah) orang yang bersaksi terhadap (tauhid) sedang mereka mengetahui(nya).” (Az Zukhruf: 86)”. Adapun pengucapannya tanpa disertai pengetahuan terhadap maknanya, dan tanpa yaqin serta tanpa pengamalan terhadap konsekuensinya berupa sikap kebelepasan diri dari syirik dan pengkikhlashan ucapan dan amalan, yaitu ucapan hati dan lisan serta amalan hati dan anggota badan, maka pengucapan itu tidak bermanfaat berdasarkan ijma.” [Mili Fathul Majid 51 tahqiq Ahmad Hamid Al Faqiy, ta’liq Ibnu Baz.]

Dan beliau berkata setelah menuturkan ucapan para ulama tentang makna laa ilaaha illallaah: ”Maka Laa ilaaha illallaah menunjukan terhadap penafian ketuhanan dari selain Allah siapa saja dia itu dan penetapan ketuhanan bagi Allah saja tidak bagi selain-Nya. Inilah tauhid yang didakwahkan para rasul dan yang ditunjukan oleh Al Qur’an dari awal sampai akhir, sebagaimana firman Allah ta’ala tentang jin: “Katakanlah (hai Muhammad): "Telah diwahyukan kepadamu bahwasanya: telah mendengarkan sekumpulan jin (akan Al Quran), lalu mereka berkata: Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al Quran yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya, dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seseorangpun dengan Tuhan kami.” (Al Jin: 1-2). Maka laa ilaaha illallaah tidak berguna kecuali bagi orang yang mengetahui apa yang dikandungnya berupa penafian dan penetapan, meyakini hal itu, menerimanya dan mengamalkannya. Adapun orang yang mengucapkannya tanpa ilmu, keyakinan dan amal, maka telah lalu dalam ucapan para ulama bahwa hal ini adalah kejahilan yang murni, di mana ia adalah hujjah terhadapnya tanpa keraguan. Di mana sabdanya di dalam hadits “Dia saja lagi tidak ada sekutu bagi-Nya” adalah penekanan dan penjelasan bagi kandungan maknanya, dan Allah telah menjelaskan hal itu dan menjabarkannya di dalam kisah-kisah para nabi dan para rasul dalam Kitab-Nya yang nyata, maka alangkah bodohnya para ‘Ubbadul Qubur terhadap keadaan mereka, dan alangkah dasyatnya kemusyrikan yang mereka terjatuh di dalamnya yang menafikan kalimatul ikhlash “laa ilaaha illallaah”. Sesungguhnya kaum musyrikin arab dan yang lainnya mengingkari “laa ilaaha illallaah” secara lafadh dan makna, sedangkan kaum musyrikin itu (maksudnya para pelaku kemusyrikan yang mengaku muslim) adalah mengakui kalimat itu secara lafadh namun mengingkarinya secara makna, di mana engkau mendapatkan seseorang dari mereka mengucapkannya sedangkan dia mempertuhankan selain Allah dengan bermacam-macam ibadah.” [Ah Fathul Majid 54]

F. Tidak Sah Syahadat Kecuali Bila Disertai Ilmu

Al ‘Alim Al Muhaddits Sulaiman Ibnu Abdillah berkata di dalam kitabnya yang diberi judul Taisirul ‘Azizil Hamid Syarh Kitabit Tauhid saat menjelaskan hadits ini:
Sabdanya “Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang berhak diibadati) selain Allah” yaitu barangsiapa mengucapkan kalimat ini seraya mengetahui maknanya lagi mengamalkan konsekuensinya lahir bathin sebagaimana yang ditunjukan oleh firman-Nya ta’ala: “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (yang berhak diibadati) selain Allah...” (Muhammad: 19), dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala: “...akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa'at ialah) orang yang bersaksi terhadap (tauhid) sedang mereka mengetahui(nya).” (Az Zukhruf: 86)”. Adapun pengucapannya tanpa disertai pengetahuan terhadap maknanya, dan tanpa pengamalan terhadap konsekuensinya, maka pengucapan itu tidak bermanfaat berdasarkan ijma. Dan di dalam hadits ini ada hal yang menunjukan terhadap hal ini yaitu sabdanya “Barangsiapa bersaksi” karena bagaimana bersaksi sedangkan dia tidak mengetahui, sedangkan sekedar pengucapan sesuatu tidaklah dinamakan kesaksian terhadapnya. [Taisirul ‘Azizil Hamid hal 72]

Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata dalam pembicaraannya tentang hadits Mu’adz pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “maka hendaklah suatu yang paling pertama engkau ajak mereka kepadanya adalah kesaksian bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadati selain Allah”:
“Mereka itu mengucapkannya akan tetapi mereka jahil terhadap makna yang ditunjukan olehnya berupa pemurnian ibadah bagi Allah saja dan meninggalkan peribadatan kepada selain-Nya, sehingga pengucapan mereka terhadap laa ilaaha illallaah itu tidaklah bermanfaat bagi mereka karena kejahilan mereka terhadap makna kalimat ini, seperti keadaan mayoritas orang-orang masa kini dari umat ini, di mana sesungguhnya mereka itu mengucapkannya padahal di waktu yang sama mereka itu melakukan kemusyrikan berupa peribadatan kepada orang-orang yang sudah mati, orang-orang yang ghaib, para thaghut dan kuburan-kuburan yang dikeramatkan, sehingga mereka itu mendatangkan suatu yang membatalkannya, di mana mereka menetapkan apa yang dinafikannya berupa kemusyrikan dengan keyakinan mereka, ucapan mereka dan perbuatan mereka, dan menafikan apa yang ditetapkannya berupa pemurnian ibadah.... sedangkan telah lalu bahwa Laa ilaaha illallaah itu diberi syarat di dalam Al Kitab dan Assunnah dengan syarat-syarat yang berat, di antaranya al ilmu, al yaqin, al ikhlash, kejujuran, kecintaan, al qabul (penerimaan), al inqiyad (ketundukan) dan sikap ingkar terhadap segala yang diibadati selain Allah. Bila syarat-syarat ini terpenuhi pada diri orang yang mengucapkannya, maka kalimat ini bermanfaat baginya, namun bila syarat-syarat ini tidak terkumpul padanya maka tidak berguna baginya, sedangkan manusia itu bertingkat-tingkat dalam kadar pengetahuan terhadap (makna)nya dan (dalam) pengamalannya, di mana di antara mereka itu ada orang yang bermanfaat baginya pengucapan kalimat itu dan di antara mereka ada juga yang tidak bermanfaat baginya pengucapannya, sebagaimana hal ini tidak samar lagi.” [Qurratu ‘Uyunil Muwahhidin hal 48]

G. Kesalahan Di Dalam Memahami Hadits-Hadits Orang Yang Mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah

Ini adalah ungkapan-ungkapan yang bercahaya dalam membantah orang yang keliru dalam memahami hadits-hadits wa’ad (janji) bagi orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah di mana mereka menghukumi keislaman orang yang mengucapkannya walaupun dia tidak melepaskan diri dari peribadatan selain Allah sebagaimana yang dilakukan oleh para ‘Ubbadul Qubur dan yang lainnya.

Syaikh Muhammad Hamid Al Faqiy berkata:
“Banyak orang keliru dalam memahami hadits-hadits “Barangsiapa mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah maka dia pasti masuk surga” di mana mereka mengira bahwa pengucapannya saja cukup bagi keselamatan dari api neraka dan untuk masuk surga, padahal tidaklah demikian, karena sesungguhnya orang yang mengira hal itu dari kalangan orang-orang yang terpedaya tidaklah memahami Laa ilaaha illallaah karena dia tidak mentadabburinya, karena sesungguhnya hakikat maknanya adalah keberlepasan diri dari segala yang diibadati dan berjanji untuk memurnikan seluruh macam ibadah hanya bagi Allah saja, serta menegakkannya sesuai cara yang dicintai dan diridlai-Nya. Oleh sebab itu barangsiapa tidak menegakkan haknya berupa ibadah atau dia menegakkan sebagian macam ibadah kemudian dia beribadah juga kepada yang lain di samping dia beribadah kepada Allah, seperti berdoa kepada para wali dan orang-orang shalih, nadzar bagi mereka serta hal serupa itu, maka sesungguhnya dia itu menggugurkannya, sehingga klaim keislamannya itu tidaklah berguna dan tidak bermanfaat sama sekali baginya. Dan seandainya sekedar pengucapan kalimat itu adalah cukup, tentu tidak akan terjadi dari kaum musyrikin itu apa yang terjadi berupa sikap memerangi Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memusuhinya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (yang berhak diibadati) selain Allah...” (Muhammad: 19) dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala: “...akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa'at ialah) orang yang bersaksi terhadap (tauhid) sedang mereka mengetahui(nya).” (Az Zukhruf: 86)”. Barangsiapa tidak memenuhinya dan tidak mengamalkan konsekuensinya, maka pelafalannya tidaklah bermanfaat bagi dia. Dan setiap orang yang memalingkan sesuatu dari ibadah kepada selain Allah, maka dia itu bisa jadi orang yang jahil terhadap maknanya atau orang yang dusta dalam klaim imannya, sedangkan mereka itu adalah orang-orang yang terpedaya lagi yang paling rugi amalannya “Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (Al Kahfi: 104) [Catatan kaki Fathul Majid: 72]

Dan beliau rahimahullah berkata:
“Banyak orang dari kalangan pengklaim ilmu tidak mengetahui Laa ilaaha illallaah sehingga mereka menghukumi keislaman orang yang mengucapkannya walaupun dia itu terang-terang melakukan kekafiran yang nyata, seperti peribadatan kepada kuburan, orang-orang yang sudah mati dan berhala, penghalalan hal-hal yang diharamkan yang pengharamannya diketahui secara pasti dari dien ini (Ma’lum minaddien bidldlarurah), berhukum dengan selain apa yang telah Allah turunkan, dan menjadikan para ulama dan rahib sebagai arbab (tuhan-tuhan/pembuat hukum) selain Allah. Seandainya orang-orang jahil itu memiliki hati yang dengannya mereka memahami tentulah mereka mengetahui bahwa makna Laa ilaaha illallaah itu adalah keberlepasan diri dari peribadatan kepada selain Allah serta pemberian janji dan sumpah untuk menunaikan hak Allah di dalam ibadah. Hal itu ditunjukan oleh firman Allah ta’ala “Barangsiapa yang kafir terhadap thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang teguh kepada ikatan tali yang sangat kokoh yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Al Baqarah: 256). Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersaksi bahwa Khawarij itu banyak melakukan shalat, shaum dan membaca Al Qur’an yang sarat dengan kalimat Laa ilaaha illallaah, namun demikian beliau telah menghukumi mereka kafir dan beliau berkata: “Seandainya saya mendapatkan mereka tentu saya telah membunuhi mereka seperti pembunuhan yang terjadi terhadap kaum ‘Aad” sebagaimana di dalam Ash Shahihain. Dan seandainya sekadar pengucapan Laa ilaaha illallaah itu cukup tentu tidak akan terjadi peperangan dan permusuhan antara Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kaum musyrikin yang lebih memahami makna Laa ilaaha illallaah daripada para pengklaim ilmu pada zaman ini, akan tetapi Allah mengunci hati mereka sehingga mereka tidak memahami.” [Catatan kaki Fathul Majid 258]

oleh: Syaikh Muhammad Salim Walad Muhammad Al Amin Al Majlisiy hafidzahullah

Alih Bahasa: Ustadz Abu Sulaiman Aman Abdurrahman hafizhahullah

No comments:

Post a Comment