Friday, December 28, 2012

Membongkar Syubhat Para Pembela Thaghut

Oleh : ~SYAIKH ABU MUHAMMAD AL MAQDISIY~

Syubhat ke 5

Diudzur Karena Kejahilan.

Al Mujadiluun (orang-orang yang membela) bala tentara qawaaniin itu berkata: Sesungguhnya para tentara adalah orang-orang jahil yang sangat membutuhkan orang yang mengajari mereka, mendakwahi mereka, dan memberikan penjelasan kepada mereka. Mereka tidak mengetahui bahwa pimpinan-pimpinan (atasan-atasan) mereka itu adalah thawagiit, dan mereka tidak mengetahui bahwa ketaatan mereka kepada atasan-atasannya di dalam tasyrii’ itu adalah ibadah dan syirik, maka dengan alasan ini sesungguhnya loyalitas mereka kepada atasan-atasannya itu serta usaha mereka menjaga undang-undang itu bukanlah kekafiran.

Jawab: Tidak ada perbedaan akan pentingnya dan dianjurkannya mendakwahi para tentara itu dan yang lainnya, dan itu adalah tergolong amalan yang paling baik, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Siapakah yang lebih baik perkataannya dari pada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Fushshilat [41]: 33)

Akan tetapi semuanya adalah musyrik terhadap Allah dalam ibadah[34] sebelum didakwahi, saat didakwahi dan setelahnya selama mereka itu tidak komitmen dengan tauhid serta tidak kafir terhadap thaghut-thaghut itu, mereka semua adalah musyrikin.

Jadi pernyataan akan pentingnya mendakwahi mereka itu tidaklah merubah status mereka, dan pernyataan itu tidaklah merubah mereka menjadi muwahhidiin, atau nama musyrik itu diangkat dari mereka, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَعْلَمُونَ

“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, Maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (QS. At Taubah [9]: 6).

Allah telah menamakan mereka sebagai kaum musyrikin sebelum mereka mendengar firman Allah, dan Allah mensifati mereka dengan (nama musyrik) itu padahal sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak mengetahui (yaitu jahil).

Dan perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada Nabi-Nya untuk mendakwahi mereka, memperdengarkan (wahyu) kepada mereka, shallallaahu ‘alaihi wa sallam serta menyampaikan dakwah kepada mereka, tidaklah merubah sedikitpun dari status itu, baik sebelum mendakwahinya, atau saat mendakwahinya, atau setelah didakwahi selama mereka itu masih memegang kemusyrikan lagi tidak komitmen dengan tauhid. Itu dikarenakan sesungguhnya syirik akbar yang menolak al haniifiyyah assamhah –yaitu memalingkan sesuatu dari ibadah dhahirah kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala– adalah masalah yang pelakunya itu sama sekali tidak diudzur karena kebodohannya. Sungguh Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menegakan hujjah-Nya yang nyata dari berbagai sisi yang telah di sebutkan para ulama, di antaranya:

1. Dalil-dalil kauniyyah yang nampak yang menunjukan akan wahdaaniyyah Allah. Di mana rubuubiyyah-Nya bisa digunakan sebagai dalil akan wahdaaniyyah-Nya Subhanahu Wa Ta’ala, Dzat yang telah menciptakan, memberi rezeki, membentuk tubuh, dan yang mengatur segala urusan adalah Dia saja yang wajib diibadati dan yang berhak membuat hukum, dan tidak boleh –baik menurut akal menurut syari’at– satu macam ibadah itu dipalingkan kepada selain-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:

أَلا لَهُ الْخَلْقُ

“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah.” (QS: Al A’raaf: 54).

2. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengambil kesaksian terhadap Bani Adam dalam hal itu, yang mana Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengeluarkan mereka dari punggung ayah mereka Adam sebagai keturunannya, Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ (١٧٢) أَوْ تَقُولُوا إِنَّمَا أَشْرَكَ آبَاؤُنَا مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا ذُرِّيَّةً مِنْ بَعْدِهِمْ أَفَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ الْمُبْطِلُونَ

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan), atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang Kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?” (QS. Al A’raaf [7]: 172-173).

Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak mengudzur mereka dengan klaim lalai, tidak tahu (jahil), dan taqlid kepada leluhur dalam masalah syirik yang nyata lagi jelas ini setelah Dia mengambil kesaksian mereka untuk tidak menjadikan tuhan lain selain-Nya.

3. Fitrah Allah yang Dia tetapkan manusia di atasnya serta Dia tumbuhkan di dalam hati hamba-hamba-Nya yang mengakui bahwa Sang Pencipta lagi Pemberi rizki adalah satu-satunya yang berhak disembah lagi berwenang membuat hukum dan aturan, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

(كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهوِّدانه أو ينصِّرانه أو يمجِّسانه)، وفي رواية: (ويشركانه)

“Setiap anak yang terlahir itu berada di atas fitrah, kemudian kedua orang tuanya meyahudikannya, atau menasranikannya, atau memajusikannya,” dan dalam riwayat Muslim: “Dan memusyrikannya.”

Juga dalam hadits Qudsiy yang diriwayatkan Muslim:

إني خلقت عبادي حنفاء فجاءتهم الشياطين فاجتالتهم عن دينهم فحرّمت عليهم ما أحللت لهم

“Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (bertauhid), kemudian datang syaitan kepada mereka, terus syaitan menyesatkan mereka dari diennya, dan mengharamkan atas mereka apa yang telah Aku halalkan bagi mereka.”

4. Dan di samping itu Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengutus para rasul seluruhnya untuk menegakan tujuan yang agung ini.

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu” (QS. An Nahl [16]: 36)

Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:

رُسُلا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ

“(mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu.” (QS. An Nisaa’ [4]: 165)

Orang yang tidak sampai kepadanya risalah nabi, maka ia mendengar dengan (hujjah) lainnya. Karena semua rasul itu meskipun syari’at-syari’at mereka bermacam-macam akan tetapi dakwah mereka kepada perealisasian tauhid dan penghancuran syirik dan tandiid adalah satu.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman:

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولا

“Dan Kami tidak akan meng’azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS: Al Israa [17]: 15).

Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menepati janjinya dan Dia mengutus para rasul kepada seluruh umat manusia, serta Dia menutup mereka dengan Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dengan Dia telah menjelaskan jalan dan menegakan hujjah, sedangkan tidak bakal ada seorang rasulpun setelahnya.

5. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menurunkan semua kitab-kitab-Nya yang mengajak kepada tujuan yang agung ini. Dan Dia memungkaskannya dengan kitab yang tidak mungkin hilang dengan air, tidak akan lapuk, dan tidak akan punah, karena Dia telah menjamin untuk selalu menjaganya hingga hari kiamat. Sedang Dia mengaitkan peringatan dengan sampainya Al Qur’an itu dalam banyak masalah-masalah dien ini.

Maka apa gerangan dengan masalah yang paling agung dan paling rentan, yaitu tauhid, Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman:

وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَذَا الْقُرْآنُ لأنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ

“Dan Al Qur’an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya.” (QS. Al An’aam [6]: 19)

Dan firman-Nya:

لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ

“Orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.” (QS Al Bayyinah [98]: 1)

Kemudian Allah menjelaskan bukti yang nyata (bayyinah) dan hujjah itu dengan firman-Nya:

رَسُولٌ مِنَ اللَّهِ يَتْلُو صُحُفًا مُطَهَّرَةً

“(yaitu) seorang Rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (Al Quran)” (QS. Al Bayyinah [98]:2)

Sehingga siapa saja orangnya yang telah sampai kepadanya Al Qur’an yang mulia ini, maka berarti hujjah dan peringatan itu telah tegak atasnya, terutama dalam masalah dien yang paling jelas ini yang dimana para rasul diutus karenanya.

Adapun bila yang dimaksud dengan sampai dan tegaknya hujjah itu adalah setiap orang didatangi di tempatnya, terus hujjah ditegakan kepadanya, maka ini adalah apa yang Allah ingkari dalam firman-Nya tentang orang-orang musyrik:

فَمَا تَنْفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ (٤٨) فَمَا لَهُمْ عَنِ التَّذْكِرَةِ مُعْرِضِينَ (٤٩) كَأَنَّهُمْ حُمُرٌ مُسْتَنْفِرَةٌ (٥٠) فَرَّتْ مِنْ قَسْوَرَةٍ (٥١) بَلْ يُرِيدُ كُلُّ امْرِئٍ مِنْهُمْ أَنْ يُؤْتَى صُحُفًا مُنَشَّرَةً

“Maka mengapa mereka (orang-orang kafir) berpaling dari peringatan (Allah)?, seakan-akan mereka itu keledai liar yang lari terkejut, lari dari pada singa. Bahkan tiap-tiap orang dari mereka berkehendak supaya diberikan kepadanya lembaran-lembaran yang terbuka itu diberikan kepadanya.” (QS. Al Muddatstsir [74]: 48-52)

Dan suatu yang telah diketahui dari perjalanan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bahwa yang beliau lakukan dalam mendakwahi kelompok-kelompok yang memiliki kekuatan, adalah beliau hanya mengirimkan surat kepada pimpinan-pimpinannya saja tidak kepada masing-masing rakyatnya, dan beliau tidak pernah mensyaratkan atau memerintahkan para utusannya dan para panglimanya agar mendatangi satu-persatu orang-orang itu untuk menegakan hujjah atas mereka, terutama orang-orang kafir harbiy. Dan sesungguhnya keadaan sekarang menurut para ulama setelah tersebar dan merebaknya Islam di belahan bumi ini tidaklah seperti keadaan saat mulai munculnya dakwah Islam, atau seperti orang yang baru masuk Islam.

Sedangkan para thaghut dan para pengusungnya dari kalangan aparat-aparat hukum, mereka itu mengikuti jejak-jejak kaum musyirikin terdahulu dalam hal keberpalingan mereka dari Al Qur’an yang mengandung ajaran tauhid dan dalam hal melalaikannya, mereka lari dari mendengarkan kebenaran seperti larinya keledai liar dari singa, sehingga mereka berstatus sebagai orang-orang musyrik yang jahil dengan kejahilan yang mereka usahakan sendiri dengan sebab keberpalingannya dari peringatan Allah dan dari hujjah-Nya yang telah tegak di hadapan mereka, bukan karena kejahilan yang penyebabnya adalah belum sampainya risalah, atau kejahilan yang penyebabnya adalah idiot, gila, atau masih kecil atau mawaani’ ahliyyah (penghalang-penghalang taklif) lainnya, di samping itu sesungguhnya mereka adalah orang-orang kafir harbiy yang menolak komitmen akan syari’at Islam dengan kekuatan senjata, sedangkan termasuk sesuatu yang ma’lum adalah bahwa orang kafir harbiy semacam itu tidaklah wajib ditegakkan hujjah atas mereka, oleh sebab itu para ulama dalam masalah ini membedakan antara orang yang melakukan peperangan karena membela diri dengan orang yang melakukan perang untuk tujuan memperluas kekuasaan. Sehingga ternyata datang sekelompok manusia yang membela-bela orang-orang yang memerangi dienullah dan para auliyaa-Nya dengan tujuan menutupi kekafiran para thaghut itu, mereka mengklaim bahwa hujjah itu belum tegak atas mereka. Lazim dari pernyataan ini –yang padahal di dalamnya terkandung kejahilan– adalah bertentangan dan bersebrangan dengan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

قُلْ فَلِلَّهِ الْحُجَّةُ الْبَالِغَةُ فَلَوْ شَاءَ لَهَدَاكُمْ أَجْمَعِينَ

“Katakanlah: “Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat; maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya”. (QS. Al An’aam [6]: 149)

Sedangkan anda telah mengetahui bahwa hujjah Allah itu tegak dalam masalah tauhid dari beberapa sisi dan segi. Oleh sebab itu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata tatkala seseorang bertanya tentang ayahnya:

(إن أبي وأباك في النار) [رواه مسلم]

“Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka”. Diriwayatkan oleh Muslim, ini padahal sesungguhnya mereka itu tergolong orang-orang yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala firmankan tentang mereka itu:

لِتُنْذِرَ قَوْمًا مَا أُنْذِرَ آبَاؤُهُمْ فَهُمْ غَافِلُونَ

“Agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang bapak-bapak mereka belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai. (QS. Yasiin [36]: 6)

Ini tidak lain karena sesungguhnya ashlut tauhid dan peringatan dari syirik serta ibadah kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah Allah tegakan atasnya hujjah yang terang lagi kuat dari berbagai sisi sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya dan dengan Allah mengutus para rasul seluruhnya.

Meskipun ini adalah masalah yang sangat jelas, akan tetapi datang sebagian orang yang tidak mengetahui dari dien ini kecuali sekedar nama dan tidak mengetahui dari syi’ar-syi’arnya kecuali sekedar ritual, mereka menuntut adanya penegakan hujjah dalam masalah syirik yang jelas lagi nyata dan dalam masalah tauhid yang merupakan hak Allah atas hamba-hamba-Nya, dan yang karena untuk merealisasikannya para rasul diutus dan seluruh kitab diturunkan, serta hujjah- hujjah diadakan dengan begitu banyak.

Dan bisa jadi menegakan syubhat atas hal itu dengan ayat-ayat qur’aniyyah yang mereka tempatkan bukan pada tempatnya, seperti firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولا

“Dan Kami tidak akan meng’azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. Al Israa [17]: 15)

Mereka memaksudkan: bahwa tidak ada pengkafiran kecuali setelah menegakan hujjah dalam setiap permasalahan, termasuk dalam syirik akbar yang jelas lagi terang.

Di dalam ayat ini sama sekali tidak ada dilaalah (dalil) untuk pernyataan mereka yang rusak ini, karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak mengatakan:

وما كنّا مكفرين حتى نبعث رسولاً

“Dan kami tidak akan mengkafirkan sebelum Kami mengutus seorang rasul! ”

Dia hanya mengatakan:

معذِّبين

“..akan meng’adzab.”

Dan yang dimaksud dengannya adalah adzab pembumi hangusan di dunia ini, yaitu seperti firmannya Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

وَمَا كَانَ رَبُّكَ مُهْلِكَ الْقُرَى حَتَّى يَبْعَثَ فِي أُمِّهَا رَسُولا يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِنَا

“Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka.” (QS. Al Qashash [28]: 59)

Atau adzab akhirat sebagaimana firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:

كُلَّمَا أُلْقِيَ فِيهَا فَوْجٌ سَأَلَهُمْ خَزَنَتُهَا أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيرٌ (٨) قَالُوا بَلَى

“Setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang kafir), penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka: “Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?” Mereka menjawab: “benar ada,” (QS: Al Mulk [67]: 8-9).

Adapun takfiir terutama dalam masalah syirik akbar dan peribadatan kepada selain Allah, maka ia bukanlah yang dimaksud dengan hal itu, sebab orang kafir itu ada kafir mu’aanid (membangkang) seperti orang-orang yang dimurkai Allah yang mana mereka itu mengetahui kebenaran dan terus kafir terhadapnya, dan ada orang kafir jahil atau yang disesatkan seperti orang-orang sesat yang disesatkan oleh ulama-ulama mereka.

Tidak setiap orang kafir, kekufurannya itu di atas dasar tahu dan pengingkaran akan kebenaran, akan tetapi mayoritas orang-orang kafir adalah juhhal (bodoh) lagi sesat, dan yang menjerumuskan mereka ke dalam api neraka tidak lain adalah taqlid mereka kepada orang-orang panutan, tokoh-tokoh dan leluhur mereka, serta mereka itu menduga bahwa mereka itu berbuat yang benar.

Sedangkan masalah syirik akbar yang nyata sungguh Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menegakan hujjah-hujjah-Nya yang jelas lagi terang, maka orang jahil tidak diudzur di dalamnya, karena kejahilannya itu tidak lain adalah karena sebab keberpalingan dia dari dien ini dan dari mempelajari kewajiban yang paling inti yang karenanya dia diciptakan, dan bukan kejahilan orang yang belum tegak hujjah atasnya.

Di dalam kisah Zaid Ibnu ‘Amr Ibnu Nufail ada pelajaran, dia telah merealisasikan tauhid tanpa ada seorang rasul khususpun yang diutus di zamannya, dan itu terjadi sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus. Dia termasuk ke dalam orang yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala firmankan tentangnya:

لِتُنْذِرَ قَوْمًا مَا أَتَاهُمْ مِنْ نَذِيرٍ مِنْ قَبْلِكَ

“Agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang belum datang kepada mereka orang yang memberi peringatan sebelum kamu” (QS: Assajdah [32]: 3)

Meskipun demikian Zaid itu adalah hanif (muwahhid) yang berada di atas Millah Ibrahim, dia mendapat petunjuk kepada tauhid dengan fitrahnya, sehingga dia berlepas diri dari thaghut-thaghut kaumnya, dia menjauhi dari ibadah kepadanya dan dari mendukungnya, dan hal itu sudah cukup untuk keselamatannya (dari api neraka). Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa dia itu dibangkitkan sebagai ummah waahidah (satu umat), dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melihatnya telah dihidangkan kepada Zaid daging yang disembelih untuk berhala, maka dia enggan untuk memakannya seraya berkata:

إني لست آكل مما تذبحون على أنصابكم

“Saya tidak akan memakan apa yang kalian sembelih untuk tujuan berhala kalian.”

Dia juga mencela orang-orang Quraisy karena sembelihan mereka, dia berkata:

(الشاة خلقها الله وأنزل لها من السماء الماء، وأنبت لها من الأرض ثم أنتم تذبحونها على غير اسم الله، إنكاراً لذلك وإعظاماً له) [رواه البخاري].

“Kambing itu telah Allah ciptakan, Dia telah menurunkan baginya air dari langit, dan Dia menumbuhkan rumput-rumputan baginya di bumi ini, kemudian kalian malah menyembelihnya dengan selain Nama Allah (sebagai pengingkaran terhadap perbuatan mereka dan mengherankannya).” Diriwayatkan oleh Al Bukhari…

Perhatikanlah bagaimana tauhid itu telah tertanam di dalam fitrahnya dan bahwa syirik itu adalah hal yang muncul kemudian yang telah dibuat-buat manusia dan mereka cenderung kepadanya.

Zaid ini adalah orang yang tidak pernah datang kepadanya nabi khusus di zamannya, namun demikian dia telah mengetahui tauhid dan merealisasikannya, sehingga diapun selamat dan diudzur dalam hal rincian-rincian syari’at dan ibadat yang tidak bisa diketahui kecuali lewat hujjah risaliyyah. Dan dia itu pernah berkata sebagaimana dalam riwayat Ibnu Ishaq:

(اللهم لو أعلم أحب الوجوه إليك لعبدتك به، ولكني لا أعلمه، ثم يسجد على الأرض براحته)

“Ya Allah, seandainya saya mengetahui tata-cara ibadah yang paling Engkau cintai, tentulah saya telah beribadah kepada engkau dengannya, akan tetapi saya tidak mengetahuinya, kemudian dia sujud diatas tanah dengan telapak tangannya”.

Dia diudzur dalam hal meninggalkan shalat, shaum dan syari’at-syari’at lainnya yang tidak bisa diketahui kecuali lewat jalan para rasul.

Padahal orang-orang yang sezaman dengannya tidaklah diudzur, dan di antara mereka itu adalah kedua orang tua Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, karena sesungguhnya mereka tidak merealisasikan tauhid dan tidak berlepas diri dari kemusyrikan, kekafiran, dan tandiid, padahal belum pernah datang kepada mereka itu seorang pemberi peringatanpun sebagaimana yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala kabarkan.

Tadabburilah makna ini dengan baik dan ketahuilahn bahwa masalah ini (yaitu masalah al ‘udzru bil zahil/udzur jahil) telah banyak dibicarakan oleh para ulama dan orang-orang mutaakhkhir ikut nimbrung di dalamnya, dan tidak ada yang memahami dengan sebenar-benarnya, kecuali orang-orang yang menguasai maslah ini dari semua sisi-sisinya. Adapun orang yang hanya berpegang dengan satu nash darinya terus dia membangun di atasnya masalah-masalah yang sangat besar ini, maka dia telah menyelisihi kebenaran dan jauh menyimpang.

Dan ketahuilah setelah ini semua bahwa kekafiran thaghut-thaghut dan para pembelanya itu pada masa sekarang bukanlah karena sebab kejahilan yang bermakna belum sampainya hujjah risaliyyah kepada mereka, karena penutup para nabi telah diutus dan tidak mungkin ada rasul setelahnya, sedangkan Kitabullah yang dengannya Allah mengaitkan peringatan itu selalu terjaga yang tidak datang kepada kebatilan baik dari arah depan maupun dari belakang, dan ia itu ada di hadapan mereka, akan tetapi mayoritas manusia lebih mencintai kehidupan dunia atas akhirat, sehingga mereka berpaling dari mencari dan mengikuti kebenaran, maka kekafiran mereka itu adalah kufru i’raadl (kekafiran karena keberpalingan) dan bukan karena sebab tidak sampainya hujjah risaliyyah.

Kemudian ketahuilah sesungguhnya orang-orang yang {menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah} mereka itu tidaklah mengetahui (jahil) bahwa taat dalam tasyrii’ itu adalah ibadah dan syirik sebagaimana dalam hadits ‘Adi Ibnu Hatim yang shahih dengan semua jalannya, yang mana di dalamnya ada ungkapan ’Adi {mereka (orang-orang nasrani) itu tidaklah beribadah kepada mereka}, mereka itu tidak mengetahui bahwa taat dalam tahliil, tahrim, dan tasyrii’ itu adalah ibadah, namun demikian mereka semua menjadi kafir dengan sebab memalingkan hal itu kepada selain Allah, dan dengan sebab perbuatan itu mereka telah menjadi orang-orang yang mempertuhankan para ulama dan pendeta itu selain Allah, serta mereka itu tidaklah di’udzur dengan kejahilannya ini.

Karena hal itu bertentangan dengan fitrah yang mana Allah telah memfitrahkan manusia di atasnya. Dzat yang menciptakan, yang memberi rizki, yang membentuk dan yang mengadakan, Dia-lah Dzat yang tidak boleh satupun selain-Nya membuat hukum, memerintahkan dan memutuskan.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengutus seluruh rasul-rasul-Nya, dan telah menurunkan kitab-kitab-Nya dalam rangka mentauhidkan Allah dalam ibadah, mengesakan-Nya dalam hukum dan tasyrii’ (pembuatan/wewenang hukum), serta menjauhi ibadah kepada selain-Nya. Kemudian masalahnya pada masa sekarang kita ini telah lebih jelas dari semua itu, coba perhatikan perwira ini, atau polisi itu, atau para intelejen, atau aparat keamanan lainnya, bila engkau bertanya kepadanya tentang agamanya, maka dia mengaku bahwa agamanya Islam dan bahwa Kitabnya adalah Al Qur’an, serta dia juga membacanya di saat siang dan malam sebagai nilai tambah penegak hujjah!!!!!! Kemudian ternyata di samping itu semua dia menyepelekan Islam dan Al Quran, dia mengadili, memenjarakan, memata-matai orang yang berusaha untuk menegakkan aturan/hukum Islam dan membelanya, dia memerangi/memberangus setiap orang yang mendakwahkan tauhid dan baraa’ah dari syirik dan tandiid, dan di sisi lain dia membela dan melindungi hukum thaghut, aturan yang dibuatnya, dan undang undang dasarnya yang syirik yang menggugurkan/menghadang hukum-hukum syari’at, serta dia menyokong auliyaanya dari kalangan musuh-musuh tauhid, dia loyal kepada mereka dan membantu mereka untuk membabat/mempersempit ahlul haq.

Maka apakah penolakan/penguguran ini semua terhadap dienullah masih samar atas orang yang mengaku Islam? Dan apakah hal ini tergolong masalah yang pelik, sulit dan yang masih samar, sehingga bias dikatakan “hujjah belum tegak atas mereka”?.

Sesungguhnya masalah ini demi Allah adalah lebih terang dari pada matahari di siang bolong.

Di sini ada dua barisan dan dua kelompok orang yang bermusuhan: Barisan syirik dan barisan tauhid, barisan undang-undang buatan dan barisan syari’ah yang suci. Sedangkan orang-orang itu (para tentara/polisi dan yang lainnya) telah melakukan pilihan dengan murni keinginan mereka dan dengan keadaan akal mereka yang sehat sempurna. Dan pilihan mereka itu adalah barisan thaghut, baik karena cinta kepadanya, atau karena lebih mencintai kehidupan dunia “gaji bulanan dan uang pensiun” dan yang lainnya atas akhirat, mereka itu berperang di jalan thaghut, mereka membelanya, dan mereka menumpas setiap orang yang menentang thaghutnya atau berusaha memisahkan diri darinya dari kalangan barisan tauhid:

الَّذِينَ آمَنُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ

“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut” (QS. An Nisaa’ [4]: 76)

Oleh karenanya para tentara itu di hari kiamat di saat melihat langsung kenyataan menangnya barisan tauhid dan kalahnya serta binasanya barisan syirik dan tandiid, mereka akan mengatakan:

وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلا (٦٧) رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا

“Dan mereka berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar”. (QS. Al Ahzaab: 67-68)

Perhatikan ucapan mereka {lalu mereka menyesatkan kami (dari jalan yang benar)} apakah mereka diudzur dengannya?!.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman juga tentang kebanyakan orang-orang kafir, bahwa mereka itu:

وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

“…sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al Kahfi [18]: 104)

وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ مُهْتَدُونَ

“Dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk.” (QS. Az Zukhruf [43]: 37)

وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ عَلَى شَيْءٍ

“Dan mereka menyangka bahwa mereka akan memperoleh suatu (manfaat).” (QS. Al Mujaadilah [58]: 18)

Dan semua itu tidaklah bermanfaat bagi mereka, karena mereka telah melanggar hal yang jelas lagi terang yang mana Allah sudah menegakan hujjah-Nya yang terang, dan yang karenanya Dia telah mengutus seluruh Rasul-Nya. Dan seandainya kesalahan dan penyimpangan mereka itu terjadi dalam hal yang samar, sedang mereka itu masih memiliki pokok keislaman (tauhid), maka tentu keadaannya tidaklah seperti itu.[35]

Pembahasan dalam masalah ini sangatlah panjang, dan para ulama telah menjabarkannya, serta kami memiliki satu tulisan khusus tentangnya yang kami beri nama: Al Farqu Al Mubiin Bainal Udzri Bil Jahil Wal I’raadl ‘Anid Diin (Perbedaan Yang Jelas Antara Udzur Karena Kejahilan Dengan Keberpalingan Dari Dien), mudah-mudahan Allah memudahkannya untuk dicetak, akan tetapi uraian tadi dirasa cukup sekali bagi orang yang mencari hidayah.

http://millahibrahim.wordpress.com/

No comments:

Post a Comment