Oleh: Abu Misykah Tamam
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Ditilik dari sisi histori, perayaan peringatan maulid (hari kelahiran) Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam merupakan produk peradaban dan budaya Syi'ah. Adalah Bani Ubaid al-Qaddaah atau yang lebih dikenal dengan al-Fathimiyyun atau Bani Fathimiyyah sebagai pelopor pertama perayaan maulid. Yakni pada pertengahan abad ke empat Hijriyah, setelah berhasil memindahkan dinasti Fathimiyah dari Maroko ke Mesir pada tahun 362 H. Tujuannya, untuk menarik simpati masyarakat yang mayoritasnya berada dalam kondisi ekonomi yang sangat terpuruk supaya mendukung kekuasaannya dan masuk ke dalam mazhab bathiniyahnya yang sangat menyimpang dari akidah, bahkan bertentangan dengan Islam.
Pakar sejarah yang bernama Al Maqrizy menjelaskan bahwa begitu banyak perayaan yang dilakukan oleh Fatimiyyun dalam setahun. Dan beliau menyebutkan kurang lebih 25 perayaan yang rutin dilakukan setiap tahun dalam masa kekuasaannya, termasuk di antaranya adalah peringatan maulid Nabi. Tidak hanya perayaan-perayaan Islam tapi lebih parah lagi, mereka juga mengadakan peringatan hari raya orang-orang Majusi dan Nashrani yaitu hari Nauruz (tahun baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), dan hari Khamisul ‘Adas (perayaan tiga hari sebelum Paskah).
Dan fakta sejarah tak terbantahkan, peringatan maulid tidak ditemukan pada masa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan masa tiga generasi pertama Islam yang disebut sebagai generasi terbaik umat ini. Sehingga menyebabkan banyak di antara ulama yang mengingkarinya dan memasukkannya ke dalam bid'ah haram.
Tak dipungkiri, di antara ulama ada yang menganggapnya sebagai bid'ah hasanah (inovasi yang baik), selama tidak dibarengi dengan kemungkaran. Pendapat ini diwakili antara lain oleh Ibnu Hajar al Atsqalani dan as-Suyuti. Keduanya mengatakan bahwa status hukum maulid Nabi adalah bid’ah mahmudah (bid’ah terpuji). Tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, tetapi keberadaannya membawa maslahat walaupun juga tidak lepas dari berbagai mudharat.
Keabsahan peringatan maulid Nabi bagi mereka disandarkan pada dalil umum yang tidak berhubungan langsung dengan titik permasalahan, sedangkan para ulama yang menentangnya membangun argumentasinya melalui pendekatan normatif tekstual yang tidak ditemukan baik secara tersurat maupun secara tersirat dalam Al-Quran dan al-Sunnah, dan diperkuat dengan kaedah umum dalam ibadah yang menuntut adanya dalil spesifik yang menunjang disyariatkannya suatu ibadah.
Hujjah Pendukung Peringatan Maulid
=======================
Berikut ini beberapa dalil yang dijadikan dasar legitimasi pembolehan perayaan peringatan maulid oleh pihak yang mendukungnya, juga jawaban atasnya:
Pertama: Sikap Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam ketika mendapatkan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari 'Asyura. Puasa tersebut adalah ungkapan syukur kepada Allah 'Azza wa Jalla atas keselamatan Nabi Musa dari kejaran Fir’aun. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam pun menyerukan untuk berpuasa pada hari tersebut. Sedangkan peringatan maulid Nabi, menurut Ibn Hajar dan as-Suyuti merupakan ungkapan syukur atas diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam ke muka bumi.
Hujjah ini ditolak oleh ulama lainnya. Mereka menganggapnya sebagai alasan yang dipaksakan, mengingat dasar suatu ibadah adalah adanya dalil yang memerintahkannya dan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, bukan pada logika, analogi dan istihsan.
Puasa 'Asyura termasuk sunnah yang telah dipraktikkan dan diserukan oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, sedangkan peringatan maulid tidak pernah dilakukan apalagi diserukan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Sebaliknya, beliau telah mewanti-wanti ummatnya dari membuat-buat bid'ah, seperti dalam sabdanya, "Jauhilah amalan yang tidak aku contohkan (bid'ah), karena setiap bid'ah sesat." (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Benar bahwa kita dituntut untuk senantiasa mensyukuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan nikmat terbesar yang tercurah pada umat ini adalah diutusnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam sebagai seorang rasul, bukan saat dilahirkannya. Karenanya, Al Qur'an menyebut pengutusan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam sebagai nikmat,
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
"Sungguh Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang beriman ketika Allah mengutus kepada mereka seorang Rasul di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri." (QS. Ali Imran: 164).
Ayat ini sama sekali tidak menyinggung kelahiran beliau dan menyebutnya sebagai nikmat. Seandainya peringatan tersebut dibolehkan, seharusnya yang diperingati adalah hari ketika beliau dibangkitkan menjadi nabi, bukan hari kelahirannya. Lagi pula, status Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang mensyariatkan puasa Asyura' berbeda dengan status umatnya. Beliau adalah musyarri' (pembuat syariat), adapun umatnya hanya muttabi' (pengikut), sehingga tak dapat disamakan dan dianalogikan dengan beliau.
Dan sekiranya peringatan maulid merupakan bentuk syukur kepada Allah, tentu tiga generasi terbaik, serta para imam mazhab yang empat tidak ketinggalan untuk melakukan peringatan tersebut, sebab mereka adalah orang-orang yang pandai bersyukur, sangat cinta pada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan sangat antusias mengerjakan berbagai kebaikan.
Hal yang juga mengundang tanya, mengapa ungkapan rasa syukur, penghormatan dan pengagungan pada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam hanya sekali dalam setahun, 12 Rabi’ul Awwal saja? Bukankah bersyukur kepada Allah, mengagungkan dan mencintai Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dituntut setiap saat dengan menaati dan selalu ittiba’ pada sunnahnya?
Kedua: Nabi memeringati hari kelahirannya dengan berpuasa.
Sebagian beralasan dengan puasa seninnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang merupakan hari kelahirannya. Ketika beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam ditanya mengenai puasa Senin, beliau pun menjawab, “Hari tersebut adalah hari kelahiranku, hari aku diangkat sebagai Rasul atau pertama kali aku menerima wahyu.” (HR. Muslim). Ini menunjukkan bolehnya memeringati hari kelahirannya.
Alasan ini juga tidak dapat diterima, karena Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak pernah puasa pada tanggal yang diklaim sebagai kelahirannya, 12 Rabi'ul Awwal. Yang beliau lakukan adalah puasa pada hari Senin. Seharusnya kalau ingin mengenang hari kelahiran Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dengan dalil di atas, maka perayaan maulid diadakan tiap pekan, bukan sekali setahun.
Selain itu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam juga tidak berpuasa hanya pada hari Senin setiap pekan, tapi juga hari Kamis. Alasan beliau, "Keseluruhan amalan diperhadapkan kepada Allah pada hari Senin dan Kamis sehingga aku senang amalanku diperhadapkan kepada Allah sedang aku dalam keadaan berpuasa." (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi).
Sehingga berdalih dengan puasa Senin tanpa hari Kamis termasuk pemaksaan dan dibuat-buat. Dan kalau alasan tersebut dapat diterima, mestinya peringatannya dilakukan dalam bentuk puasa, bukan berfoya-foya dan makan-makan.
Ketiga: Peringatan maulid Nabi dianggap sebagai bid’ah hasanah (bid'ah yang baik). Anggapan ini lahir dari klasifikasi sebagian ulama terhadap bid'ah menjadi bid'ah hasanah (baik) dan bid'ah sayyi'ah (jelek) atau dhalalah (sesat).
Alasan ini dibantah oleh sebagian ulama bahwa peringatan maulid Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak dapat diterima sebagai bid'ah hasanah, karena dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak dikenal sama sekali adanya bid’ah hasanah. Bahkan yang dikatakan oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan diyakini oleh sahabat adalah setiap bid’ah sesat.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim).
Ibnu Mas’ud Radliyallah 'Anhu berkata, “Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wasallam), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (HR. Al-Thabrani dan al-Haitsami).
Abdullah bin ‘Umar radliyallah 'anhu menyatakan, “Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Al-Ibanah al Kubra libni Baththah, 1/219).
Keempat: Peringatan Maulid merupakan salah satu sarana untuk lebih mengenal sosok Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam.
Tidak ada perselisihan di kalangan ulama tentang pentingnya mengenal sosok Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Hanya saja, sebagian di antara mereka tidak menerima suatu bid'ah dipoles menjadi sarana kebaikan, karena tujuan yang baik tidak dapat dijadikan alasan untuk menghalalkan segala cara. Lagi pula, mengenal sosok beliau tidaklah pantas dibatasi oleh bulan atau tanggal tertentu. Jika ia dibatasi oleh waktu tertentu, apalagi dengan cara tertentu pula, maka sudah masuk ke dalam lingkup bid’ah. Lebih dari itu, upaya mengenal sosok beliau lewat peringatan maulid merupakan salah satu bentuk tasyabbuh (meniru-niru) orang-orang Nashrani yang merayakan kelahiran Nabi Isa 'alaihis salam melalui natalan. Padahal Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ, فَهُوَ مِنْهُمْ
"Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka." (HR. Ahmad dan Abu Dawud serta dishahihkan oleh Ibnu Hibban).
Mengenal sosok Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dengan membaca dan mengkaji sirah, biografi dan sunnah beliau seharusnya dilakukan sepanjang waktu, sebagaimana para sahabat mengajarkannya kepada anak-anak mereka setiap waktu.
Seharusnya cinta Nabi dibuktikan dengan meneladani dan mengikuti sunnah-sunnah beliau, bukan dengan menyelisihi perintah atau melakukan sesuatu yang tidak ada tuntunannya. Wallahu Ta’laa A’lam
No comments:
Post a Comment