“Menyalahkan salah satu pihak bukan tindakan bijaksana. Hargailah perasaan masing-masing”
Ummu Fauzi Untuk Al-Mustaqbal.net
Ketika kakak sedang asyik bermain dengan mainan barunya, tiba-tiba adik merebutnya dengan paksa. Kakak berusaha mempertahankan mainannya tetapi adiknyapun tak kalah kuat mencengkeramnya sambil merengek. Jengkel dengan tingkah sang adik, maka si kakakpun ambil jalan pintas dengan memukul keras-keras adiknya.
Siapa yang salah dalam kejadian ini ? Dalam kaca mata orang dewasa, adik kecil dianggap tak salah karena belum mengerti. Sifat egosentrisnya masih terlalu besar sehingga merasa ingin memiliki barang apa saja yang mereka sukai. Tetapi di mata kakak (yang juga masih kecil), adiknya jelas-jelas salah karena merebut mainan miliknya.
Tentu saja kakak tak mengerti tentang sifat egosentris adiknya. Yang ia pahami bahwa mainan itu adalah miliknya dan ia berhak mempertahankannya.
Ibu yang merasa terganggu dengan tangis adik, kerap mengambil jalan pintas dengan menyuruh kakan mengalah. Kebijakan ibu seperti itu jelas berat sebelah, ia kurang bisa menghargai pola pikir kakak yang masih kecil juga. Jika ibu memaksa kakak untuk selalu mengalah, banyak akibat negaatif yang akan terjadi ,seperti ;
1. Kakak merasa dirinya tak memiliki harga diri di mata ibu.
2. Adik tak pernah belajar mengetahui hal yang benar.
3. Kakak menyimpan dendam pada adik dan membalasnya nanti jika ada kesempatan.
4. Jika terjadi perkelahian lagi, adik cenderung mengandalkan tangisnya untuk mengadu kepada ibu agar dibela.
Ibu yang bijaksana akan bertindak lain. Ia akan mencoba memahami pertengkaran ini dengan melihat persoalan dari kacamata kedua pihak, yaitu dengan memahami bagaimana perasaan adik, juga perasaan kakak.
* Hindari Menyalahkan Salah Satu Pihak
Walaupun ibu tahu kakak salah karena memukul adik keras-keras, dan adik salah karena merebut mainan yang bukan miliknya, tahanlah diri untuk tidak menyalahkan salah satu pihak. Jika ibu sedang emosi, lebih baik ibu menahan diri dengan diam. Atau jika tidak kuat diam, menyalahkan kedua pihak sekaligus masih lebih baik dari pada hanya menyalahkan salah satunya.
Pertengkaran kakak dengan adiknya adalah satu perkembangan wajar, sesuai dengan fase perkembangan psikologis mereka. Sangat sulit untuk menemukan siapa sebenarnya yang menjadi biang keladi pertengkaran, karena semua merasa benar. Apalagi pola berpikir ibu, kakak dan adik sangat berbeda, sesuai fase perkembangan usia. Jadi arti kebenaran menurut kakak, adik serta ibupun kerap berbeda. Maka adalah sangat sulit untuk bisa menemukan siapa sebenarnya yang salah, dan tindakan itupun tak perlu dilakukan.
* Kakak Tidak Harus Mengalah
Jika orang dewasa mau memahami pola berpikir kakak (yang sebenarnya juga masih kecil), maka tak adil jika harus menyuruhnya untuk terus mengalah. Pola pikirnya yang menganggap adiknya salah pun ada benarnya, bukan ?
* Hargai Jika Kakak Benar
Bagaimana jika anda merasa benar tetapi disalahkan oleh orang lain ? Bisakah menerimanya dengan lapang dada ? Tentu sulit, apalagi jika orang menyalahkan dengan cara memaksa. Ibu harus bisa memahami, kakak juga mempunyai hak untuk mempertahankan mainannya. Perkara dia mau meminjamkan mainannya kepada adik, itu tergantung kebaikan hatinya.
Nah, yang perlu ibu lakukan bukan menyalahkan kebenaran yang diyakini kakak, tetapi menyentuh empati sang kakak untuk mau berbaik hati kepada adiknya. Kebenaran yang diyakini kakak harus ibu akui. Contohnya dengan berkomentar, “Ya Allah, kenapa adik merebut milik kakak ? Padahal kakak sedang asik main, lho. Kalau adik mau pinjam, bilang dulu sama kakak.”
Dengan penghargaan seperti itu, berarti ibu sudah menghormati harga diri sang kakak. Ini memiliki arti yang sangat besar pada psikologi si kakak. Karena merasa dirinya dihargai, selanjutnya ia justru lebih mudah menerima pendapat orang lain, lebih mudah memahami perasaan adiknya, dan lebih lanjut akan tumbuh empatinya.
Sebaliknya, jika kebenaran yang diyakini kakak disalahkan oleh ibu, jangan harap kakak mau menerima kata-kata ibu selanjutnya. Apalagi kakak sedang dalam keadaan emosi. Karena merasa dirinya benar tetapi tidak diakui, kakak merasa perasaannya tak dipahami, sehingga ia semakin jengkel. Kalaupun ia menurut untuk mengalah, itu ia lakukan dengan terpaksa, dengan dendam yang ia pendam dalam dada.
* Tunjukkan Ketidak mengertian Adik
Jika ibu telah berhasil menghargai pendapat yang diyakini kakak, jangan lupa pula untuk menghargai pendapat yang diyakini adik. Kalau adik meyakini bahwa setiap barang yang ia sukai harus dia dapatkan, itu bukanlah pendapat yang salah untuk usianya. Jadi ibupun tak bisa serta merta menyalahkan adik.
Yang lebih baik, ajaklah kakak untuk mau memahami ketidak mengertian adiknya tersebut. Ini akan mudah dilakukan jika emosi kakak sedikit mereda setelah ibu bisa menghargai perasaannya. Kepada kakak bisa diberi pengertian, “Adik kecil itu memang belum mengerti, kak. Semua yang ia ingini pasti ia rebut. Dulu waktu kakak masih kecil juga suka begitu. Kita beri tahu saja dia pelan-pelan.
* Menumbuhkan Empati Kakak
Setelah emosi kakak mereda, dan ia menunjukkan tanda-tanda mau mendengar kata-kata ibu, barulah bisa disentuh perasaannya untuk menumbuhkan empati kepada adiknya.
* Hargai Jika Kakak Mau Mengalah
Saat akhirnya kakak mau mengalah memberikan mainan kepada adiknya, orang tua hendaknya memahami bahwa pengorbanan kakak itu bukan satu hal yang ringan. Bagi anak-anak, bisa mengalah walau dia merasa tak salah adalah kebaikan yang sangat sulit dilakukan, mengingat hingga usia balita rasa ke-aku-an mereka masih cukup tinggi.
Sudah seharusnya ibu memberi penghargaan khusus kepada kakak jika mereka berhasil melakukan kebaikan itu. Penghargaan tu bisa dengan ucapan, “Subhanallah, kakak baik sekali. Pasti deh nantinya kakak banyak disukai teman,” Ibu bisa ajarkan kepada adik untuk berterima kasih kepada kakak, “Ayo dik, katakan terima kasih pada kakak, dia sudah berbaik hati pada kamu.” Atau ibu bisa memberi penghargaan lain berupa pelukan, ciuman, atau bahkan sebungkus permen untuk kakak.
Adakalanya kakak mau mengalah kepada adik, tetapi masih dengan berat hati. Bibirnya cemberut, matanya memerah menahan tangis dan pergi ngeloyor dengan kecewa. Dalam kondisi seperti ini, mereka butuh ditemani, butuh dipahami perasaannya. Maka sebaiknya ibu meluangkan waktu untuk menghibur kakak terlebih dahulu. Ajak mereka berbicara baik-baik, beri perhatian, hibur hatinya, hingga perasaan mereka bisa lebih enak.
* Biasakan Segera Saling Bermaafan
Lebih baik lagi, jika ibu membiasakan kakak dan adik untuk saling bermaafan. Ini bisa dilakukan jika emosi masing-masing telah mereda. Untuk bermaafan tak perlu diungkit-ungkit siapa yang salah. Yang penting tumbuhkan motivasi untuk minta maaf terlebih dulu.
“Nah,sudah selesai,kan ? Siapa yang mau minta maaf lebih dulu...? Dapat pahala besar, lho. Dapat ciuman dari ibu nanti...”
* Ajarkan Adik dan Kakak Tentang Kekeliruannya, di Saat yang Tepat
Memberi nasehat sewaktu pertengkaran terjadi, emosi sedang membara, tak ada gunanya. Orang dewasapun sulit menerima nasehat jika hati sedang emosi. Itu sebabnya, perlu dicarikan waktu yang tepat, yang enak dan santai untuk membicarakan kembali kesalahan-kesalahan yang sempat mereka lakukan saat bertengkar tadi.
“Lain kali kalau adik merebut mainanmu lagi, kita beri pengertian pelan-pelan ya. Atau biar ibu yang beri dia pengertian. Jangan dipukul, karena sebenarnya adik kan belum mengerti.” Kepada adik ibu juga harus beri pengertian, “Lain kali tidak boleh merebut mainan kakak seperti itu. Adik harus pinjam baik-baik, kalau tidak diperbolehkan juga tidak boleh memaksa, ya!”
Diketik ulang dari buku “Mendidik dengan Cinta” karya ibu Irawati Istadi, Pustaka Inti, Mei, 2006
sumber : http://
No comments:
Post a Comment