Penulis : Menteri Urusan Perang Daulah Islam Iraq, Syaikh Abu Hamzah Al-Muhajir (rahimahullah)
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Segala puji bagi Allah Sang Pemilik Kerajaan, Yang disucikan dari kezaliman, Yang Maha Besar, Yang Maha Kekal, Yang Maha Mendengar setiap keluhan, Yang Menghilangkan segala musibah. Shalawat dan salam tercurah kepada Nabi Muhammad, yang diutus dengan membawa bukti-bukti yang jelas, argument yang tak terbantahkan, sebagai pemberi kabar gembira, pemberi peringatan, dan penyeru kepada Allah dengan izin-Nya dan sebagai pelita penerang.
Amma ba’du ..
Setiap muwahhid (orang yang bertauhid) harus mengetahui bahwa semua millah (agama) kufur dengan berbagai macam aliran, manhaj dan kepentingan yang bertentangan, mereka semua mengerti bahwa sampainya jihad di tempat tertentu pada tataran kekuasaan dengan sudah mulai menerapkan hukum Allah di muka bumi dan mengembalikan khilafah Islamiyah, adalah suatu hal yang membahayakan dimana ketika sudah seperti itu keadaannya jihad pasti telah memakan darah. Ini merupakan persoalan yang mereka semua bersepakat tidak mungkin membiarkannya begitu saja atau gencatan senjata dalam hal itu. Karenanya mereka menggunakan semua sarana yang memungkinkan untuk menghabisinya, dengan mengabaikan prinsip-prinsip etika dan norma. Dimana telah sekian lama mereka selalu membohongi hamba-hamba Allah yang tertindas dengannya. Dan karena kita –sangat disayangkan- adalah suatu generasi yang dilahirkan dan tumbuh berkembang di bawah naungan kehinaan dan ketundukkan dan terjauhkan dari nilai-nilai ketinggian dan kemuliaan. Kita telah lupa kebesaran kita dan sejarah bangunannya. Karena itu kita harus kembali sebentar kepadanya, terutama kepada tema yang berkaitan konsep Daulah Nabawiyah (Negara Nabi) dan situasi dan kondisi di awal perkembangannya. Hal itu disebabkan karena banyak dari kita memahami bahwa konsep Daulah Isalmiyah sama dengan konsep Daulah Thaghutiyah (Negara Thaghut) yang diciptakan oleh perjanjian Six Piccot, semisal negara Saddam Husein, Hafizh Al-Asad dan Husni (Yang Tidak) Mubarak.
Sebagian kita salah memahami bahwa konsep Negara yang seharusnya berdiri dan dideklarasikan adalah Negara seperti di zaman Harun Al-Rasyid, dimana situasi dan kondisinya aman, mangambil emas laksana air, mengirim pasukan dimana yang terdepan ada di tempat musuh dan yang paling belakang ada di Baghdad.
Mari kita menuju Madinah Nabawiyah untuk mengamati, meskipun hanya sedikit, tentang gerakan merintis Daulah Nabawiyah. Apakah dulu Madinah satu-satunya tempat berlindung yang aman, tempat berlindung kaum mukminin yang tertindas (mustadh’afin), ataukah justru periode baru pengorbanan dengan nyawa dan harta serta episode lain dari episode-episode kefakiran, ketakutan, kelaparan, kekurangan harta benda, jiwa dan buah-buahan?
Kita ingin mengetahui, apakah di awal berdirinya Daulah Nabawiyah sudah dalam keadaan kuat dan kokoh yang tidak tergoncangkan oleh tiupan angin dan berbagai fitnah, ataukah justru kaum mukminin mengalami ketakutan yang begitu besar sampai berpurbasangka kepada Rabb mereka?
Apakah pertanian kaum mukminin subur, perdagangan berjalan lancar dan anggota mereka bertambah, ataukah justru malah para pemuda, orang-orang tuanya terbunuh fi sabilillah (di jalan Allah) dan perdagangan mereka macet dan pertanian mereka kering kerontang?
Apakah negeri itu airnya dingin segar, udaranya enak, ataukah negeri yang penuh wabah penyakit dan airnya kering?
Apakah pasukan Nabi memiliki prajurit dan perlengkapan yang banyak, ataukah sebagaimana yang digambarkan Allah dalam firman-Nya,
(وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ بِبَدْرٍ وَأَنْتُمْ أَذِلَّةٌ )
Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah (QS. Ali Imran:123)
berada dalam keterbatasan jumlah pasukan dan perlengkapan serta kesulitan hidup?
Terakhir, pendorong tadzkirah tentang konsep Negara ini adalah bahwa kami yang ada di Iraq, setiap muwahhid yang bersama kami merasa gembira dan bahagia. Beberapa hari ke depan kita akan melewati peringatan tahun kedua berdirinya Daulah Islam di negeri dua aliran sungai ..
Dua tahun bersabar, teguh pendirian, dan pengorbanan ..
Dua tahun, Daulah Islam Iraq masih bisa eksis. Kami memanen kepala-kepala penjajah dan antek-anteknya. Kami membuat orang-orang kafir marah dan membuat hati kaum mukminin lega.
Dua tahun, kami jalankan bahteranya dengan darah-darah kami dan dengan tengorak-tengkorak kami, kami tinggikan bangunannya ..
Dua tahun, para pemuda Islam Iraq teguh di atas perintah Allah, meskipun berbagai ujian, fitnah dan tuduhan batil menikam punggung mereka dari kawan-kawan di hari kemarin. Dulu mereka mengatakan: Tikaman yang tidak mematikan justru akan memperkuat.
Alhamdulillah, sekarang kami lebih kokoh dan yakin dengan pertolongan Allah. Lebih gembira dan kuat dalam memegang teguh daulah kami. Allah Ta’ala berfirman,
(وَلَمَّا رَأَى الْمُؤْمِنُونَ الأَحْزَابَ قَالُوا هَذَا مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَصَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَا زَادَهُمْ إِلاَّ إِيمَانًا وَتَسْلِيمًا) .
“Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata : "Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita." Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.” (QS. Al-Ahzab: 22)
Bab Pertama: Hakikat Negeri yang dimaksudkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai Tempat Hijrah
--------------------------
Lalu bagaimana karakteristik negeri tempat hijrah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan tempat berdirinya Daulah Islam Pertama?
Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, dan Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menginjakkan kakinya pertama kali di Madinah, ia merupakan tempat yang sedang dilanda wabah demam. Di lembahnya mengalir air yang tercemar. Para sahabat Nabi mengalami bala ujian dan penyakit, namun Allah melindungi Nabi-Nya dari semua itu.” [3]
Dalam kitab Al-Muwaththa, ada riwayat dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Ketika tiba di Madinah banyak dari kami yang meninggal dunia karena demam yang tinggi. Sampai ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam keluar para sahabat sedang shalat sunnah sambil duduk, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
صَلاَةُ الْقَاعِدِ مِثْلُ نِصْفِ صَلاَةِ الْقَائِمِ
“Shalat sambil duduk pahalanya separuh shalat sambil berdiri.”
Dalam Shahih Bukhari, Aisyah radhiyallahu 'anha meriwayatkan bahwa ketika mengalami demam Bilal mengatakan,
اللَّهُمَّ الْعَنْ شَيْبَةَ بْنَ رَبِيعَةَ وَعُتْبَةَ بْنَ رَبِيعَةَ وَأُمَيَّةَ بْنَ خَلَفٍ كَمَا أَخْرَجُونَا مِنْ أَرْضِنَا إِلَى أَرْضِ الْوَبَاءِ
“Ya Allah laknatlah Syaibah bin Rabi’ah, ‘Utbah bin Rabi’ah dan Umayyah bin Khalaf sebagaimana mereka mengusir kami dari negeri kami ke negari yang penuh wabah penyakit.”
Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَحُبِّنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ وَصَحِّحْهَا وَبَارِكْ لَنَا فِي صَاعِهَا وَمُدِّهَا وَانْقُلْ حُمَّاهَا فَاجْعَلْهَا بِالْجُحْفَةِ.
“Ya Allah jadikan kami mencintai Madinah mencintainya sebagaimana kecintaan kami kepada Mekkah atau bahkan lebih. Ya Allah berkahilah sha’ kami, mudd kami dan benarkanlah ia untuk kami serta pindahkan wabah penyakitnya ke Juhfah.” Aisyah radhiyallahu 'anha berkata, “Kami tiba di Madinah dan ia adalah negara yang paling banyak wabah penyakitnya.” Ia melanjutkan, “Air yang mengalir di lembah Buth-han pada waktu itu tercemar.” [4]
Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan, “Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melihat musibah demam dan kematian yang menimpa para sahabatnya, beliau khawatir mereka akan membenci Madinah karena jiwa merasa berat menerima apa yang menimpa mereka. Maka belia berdoa kepada Allah untuk menghilangkan wabah penyakit yang mematikan tersebut dari mereka dan agar menjadikan mereka mencintai Madinah sebagaimana kecintaan mereka kepada Mekkah atau bahkan lebih.
Penyakit demam yang menyerang para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di Madinah sangat hebat sampai-sampai Aisyah h menceritakan keadaan ayahnya dan Bilal: “Saya berkata, “Wahai Rasulullah, mereka sampai mengigau dan tidak sadar karena tingginya demam.” Dan sampai ada beberapa sahabat yang kembali ke belakang (murtad) karena tidak kuat menanggung wabah penyakit yang ada di Madinah. Sebagaimana disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim, sedangkan redaksinya dari riwayar Muslim, bahwa serombongan orang dari ‘Uqal berjumlah 8 orang mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Lalu berbaiat kepada beliau di atas Islam. Mereka merasa berat tinggal di Madinah, badan mereka terkena penyakit.
Dalam riwayat Bukhari: Mereka memilih Madinah. Dalam riwayat Ahmad: Mereka mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan memberi tahu beliau bahwa mereka adalah berasal dari pedesaan bukan dari perkotaan, dan mereka mengeluh tentang wabah demam yang ada di Madinah.
Dalam Shahih Bukhari, ada riwayat dari Jabir bin Abdullah, bahwa ada seorang badui berbaiat kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di atas Islam. Lalu orang badui tersebut terkena demam di Madinah. Badui itu mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata. “Wahai Rasulullah, kembalikan padaku baiatku.” Tapi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menolaknya. [5]
Dari hadits-hadits di atas menjadi jealaslah bahwa negeri yang dipilih Allah untuk tempat hijrah Nabi-Nya dan menegakkan dien-Nya adalah negeri yang penuh wabah penyakit dan airnya tercemar. Sampai-sampai para sahabat senior, seperti Bilal a merasa berat menanggung bala ujiannya dan mendoaakan kejelekan kepada orang-orang kafir yang menjadi sebab kedatangannya ke Madinah. Padahal ia adalah sahabat yang sudah teruji dalam menanggung bala ujian. Namun meskipun demikian, wabah penyakit yang mematikan dan bala ujian tersebut, sama sekali tidak membolehkan seorangpun untuk meninggalkan darul hijrah (negeri tempat hijrah) dan sama sekali tidak membolehkan seorangpun untuk kembali ke belakang (murtad) sebagaimana dalam kisah orang-orang dari suku ‘Uqal dan orang badui di atas.
Kesabaran menanggung bala ujian di Madinah menjadi salah satu tanda kebahagiaan sahabat sampai pasca wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam Shahih Muslim, ada riwayat dari Abu Sa’id maula Al-Mahri, bahwa ia mendatangi Abu Sa’id Al-Khudhriy pada malam yang panas. Ia meminta saran kepada Abu Sa’id Al-Khudhriy akan meninggalkan Madinah dan mengeluhkan harga barang-barang yang mahal, keluarganya yang banyak dan memberi tahunya bahwa ia tidak sabar lagi menanggung kesulitan dan ujian Madinah. Maka Abu Sa’id Al-Khudhriy menjawab, “Celaka kamu, saya tidak menyuruhmu melakukannya. Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
وَيْحَكَ لاَ آمُرُكَ بِذَلِكَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَقُولُ « لاَ يَصْبِرُ أَحَدٌ عَلَى لَأْوَائِهَا فَيَمُوتَ إِلاَّ كُنْتُ لَهُ شَفِيعًا أَوْ شَهِيدًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا كَانَ مُسْلِمًا.
“Tidaklah seseorang bersabar menahan rasa lapar di Madinah lalu meninggal dunia melainkan saya akan menjadi penolong (syafii’) atau saksi (syahiid) baginya kelak pada hari kiamat, jika ia seorang muslim.”
Bab Kedua: Kondisi Negara Nabi (Daulah Nabawiyah) Pertama Dari Sisi Keamanan, Ekonomi dan Militer
--------------------------
Kondisi Keamanan di Permulaan Daulah Nabawiyah
Lihatlah, kehidupan para sahabat yang mulia dalam Daulah Nabawiyah adalah kehidupan yang dipenuhi rasa takut, khawatir, dan selalu waspada, terutama pada periode perintisan pertama dan masa-masa banyaknya ujian. Dalam Shahih Bukhari, ada riwayat dari Anas radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia terbaik, paling dermawan dan paling pemberani.” Ia melanjutkan, “Penduduk Madinah merasa ketakutan pada suatu malam ketika mereka mendengar sebuah suara.” “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menemui mereka dengan menunggang kuda milik Abu Thalhah tanpa pelita sambil membawa sebilah pedang.” Beliau bersabda, “Jangan takut, jangan takut.” Kemudian beliau bersabda lagi, “Hanya suara seekor kuda.” [6]
Larinya para sahabat karena sebuah suara karena rasa takut yang menyelimuti mereka membuktikan bahwa mereka lari hanya karena sedikit bahaya yang mengancam, meskipun baru sekadar kemungkinan, seperti suara batu yang terjatuh dari puncak bukit. Sekarang ini, suara itu menyerupai suara-suara dentuman ledakan yang ditimbulkan musuh –semoga Allah menjauhkannya-.
Demikianlah umat dalam keadaan perang dan dekat dengan musuh dan kemungkinan akan adanya serangan kapanpun waktunya, maka seharusnya mereka mewaspadai bahaya tersebut dan jangan pura-pura tidak tahu. Al-Mulhab rahimahullah mengatakan, “Namun ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melihat ketakutan yang mengancam, beliau tahu bahwa beliau tidak akan terkena makar musuh. Hal itu ketika Allah memberi tahu beliau dalam firman-Nya,
وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ
Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia (QS. Al-Maidah: 67.). Selesai perkataan Al-Mulhab.
Di sini ada faidah penting bagi seorang amir atau imam (pemimpin). Ibnu Baththal berkata, “Seorang imam tidak boleh dermawan dengan dirinya sendiri dan seharusnya ia pelit dengan dirinya sendiri karena sikapnya itu demi teraturnya kaum Muslimin dan demi menyatukan mereka.”
Ketika baru tiba di Madinah Nabi bersusah payah dalam menjaga diri sendiri menjaga kewaspadaan dari musuh dan demi melakukan sebab, sampai turun firman Allah Ta’ala,
Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia (QS. Al-Maidah: 67)
Dalam Shahih Bukhari, ada riwayat dari Aisyah radhiyallahu 'anha, dulu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah begadang. Ketika tiba di Madinah beliau bersabda, “Duhai seandainya ada seorang sahabatku yang shalih menjagaku malam ini.” Tiba-tiba kami mendengar suara senjata. Beliau bersabda, “Siapa ini?” “Saya Sa’ad bin Abi Waqqash datang untuk menjaga Anda.” Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidur. Dalam riwayat lain, “Sampai kami mendengar suara dengkuran beliau.”
Dalam Sunan An-Nasai disebutkan bahwa ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam baru tiba di Madinah begadang di waktu malam. Lihatlah bagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berlelah-lelah karena melakukan penjagaan. Tidak bisa merasakan nyenyaknya tidur, sampai berangan-angan ada orang yang menjaga beliau. Itu terjadi tidak lain karena tingginya kewaspadaan dan kehati-hatian beliau shallallahu 'alaihi wa sallam.
Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan sebaik-baik penjaga, meskipun sangat kelelahan, ketika mendengar suara senjata di waktu malam, beliaupun bangkit dan mencari tahu sumber suara tersebut. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari mengatakan, “Dalam hadits terdapat perintah untuk waspada dan berjaga-jaga dari serangan musuh. Hendaknya orang-orang menjaga pimpinan mereka khawatir terbunuh. Dalam hadits juga terdapat pujian kepada orang yang rela berbuat baik dan dinamakan sebagai orang shalih. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menghadapi kejadian itu, meskipun beliau sangat tinggi ketwakalannya. Hal itu agar kita bisa mencontoh beliau dalam hal itu. Beliau juga pernah memakai baju besi, padahal ketika situasi genting beliau selalu berada di barisan terdepan. Juga, tawakkal tidak menafikan mengambil sebab, karena tawakkal adalah amalan hati sedangkan memakai baju besi adalah amalan badan.” Selesai perkataan Al-Hafizh.
Dalam hadits-hadits terdahulu banyak sekali faidah yang bisa kita petik. Yang paling penting ada dua faidah.
Pertama, dalam perkataan Anas radhiyallahu 'anhu, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menemui mereka dengan menunggang kuda milik Abu Thalhah tanpa pelita sambil memegang pedang.” Hadits tersebut menjelaskan dengan gamblang sejauh mana kesiapsiagaan beliau shallallahu 'alaihi wa sallam untuk berperang dan dalam tempo yang sesingkat mungkin. Senjata dan peralatan perang beliau shallallahu 'alaihi wa sallam tidak berada di tempat penyimpanan yang jauh, bahkan beliau selalu menenteng senjatanya atau dekat dengan beliau. Beliau orang yang paling cepat menyambut suara bahaya dan paling siap menghadapinya.
Para ulama berpengaruh dalam Madzhab Syafi’i berpendapat wajibnya membawa senjata dan haramnya menyingkirkannya apa lagi membuangnya ketika ada ketakutan dari serangan musuh. Hukum itu semakin kuat jika jihad hukumnya fardhu ‘ain. Allah Ta’ala berfirman,
(وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُم مَّيْلَةً وَاحِدَةً ) .
“Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus.” (QS. An-Nisa’: 102)
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Perintah menenteng senjata dalam shalat khauf, menurut sekelompok ulama hukumnya wajib berdasarkan zhahir ayat. Ini salah satu dari dua pendapat Syafi’i. Yang menunjukan hal itu adalah firman Allah Ta’ala,
(وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن كَانَ بِكُمْ أَذًى مِّن مَّطَرٍ أَوْ كُنتُم مَّرْضَى أَن تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ )
“Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu.” (QS. An-Nisa’: 102)
Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Para pengikut Madzhab Zhahiri mengatakan, “Membawa senjata dalam shalat khauf hukumnya wajib berdasarkan perintah Allah, kecuali bagi orang yang kesusahan karena hujan. Jika seperti itu ia boleh meletakkan senjatanya.” Ibnul ‘Arabi mengatakan, “Jika para sahabat shalat mereka membawa senjata ketika dalam keadaan takut.” Ini pendapat Syafi’i dan ini sama dengan teks Al-Qur’an.” Selesai perkataan Al-Qurthubi rahimahullah.
Dari perkataan Ibnul ‘Arabi di atas sangat jelas terlihat bahwa wajibnya membawa senjata itu ketika ada ketakutan dari serangan musuh secara umum baik
dalam shalat atau di selain shalat, yang terakhir ini lebih wajib lagi. Karena membawa senjata dalam shalat, tidak diragukan lagi, menimbulkan sedikit gerakan tambahan. Di dalamnya juga ada kesulitan, namun demi berjaga-jaga dari serangan musuh hal itu menjadi wajib.
Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Ini menunjukkan wajibnya bersiap siaga dan waspada dari serangan musuh dalam segala kondisi dan tidak boleh menyerahkan diri. Karena suatu pasukan tidak akan terkena musibah sama sekali kecuali disebabkan karena kurangnya kewaspadaan.” Adh-Dhahhak mengatakan, “Dalam firman Allah Ta’ala (siap siagalah kamu) maksudnya adalah bawalah pedang-pedang kalian, karena itu adalah sikap para agressor.” Selesai perkataan Al-Qurthubi rahimahullah.
Bertakwalah wahai para mujahidin. Jangan sembunyikan senjata kalian karena kalian berada dalam jihad. Membawa senjata adalah fardhu ‘ain atas kalian. Bersiap siaga demi jihad wajib di setiap saat. Sebagaimana jatuhnya seorang mujahid dalam tawanan adalah karena sebab meninggalkan senjatanya dengan alasan demi factor keamanan. Seorang mujahid harus membawa senjata yang bobotnya ringan tapi berfaidah besar semisal sabuk yang berisi granat tangan dan senapan mesin yang ringan.
Kedua, Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, “Duhai seandainya ada seorang sahabatku yang shalih menjagaku malam ini.” Dalam hadits ada peringatan atas urgensi dan keutamaan berjaga-jaga. Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhma berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Ada dua mata yang tidak disentuh api neraka: pertama, mata yang menangis karena takut kepada Allah, kedua, mata yang tidak tidur berjaga-jaga di jalan Allah.” Al-Hakim meriwayatkan, Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِلَيْلَةٍ أَفْضَلَ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ حَارِسٌ حَرَسَ فِي أَرْضِ خَوْفٍ لَعَلَّهُ أَنْ لاَ يَرْجِعَ إِلَى أَهْلِهِ
“Maukah kalian saya beri tahu suatu malam yang lebih utama daripada malam lailatul qodar, yaitu suatu malam yang dilalui oleh seseorang yang berjaga-jaga di negeri yang diselimuti ketakutan, yang bisa jadi ia tidak akan kembali ke keluarganya.”
Utsman bin Affan radhiyallahu 'anhu berkata, Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
حَرَسُ لَيْلَةٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ لَيْلَةٍ يُقَامُ لَيْلُهَا وَيُصَامُ نَهَارُهَا
“Berjaga-jaga di suatu malam di jalan Allah Ta’ala lebih utama daripada seribu malam yang dihidupkan dengan shalat malam (qiyamullail) dan siangnya untuk berpuasa.”
Imam Ahmad meriwayatkan, beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ حَرَسَ مِنْ وَرَاءِ الْمُسْلِمِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى مُتَطَوِّعًا لَا يَأْخُذُهُ سُلْطَانٌ لَمْ يَرَ النَّارَ بِعَيْنَيْهِ إِلَّا تَحِلَّةَ الْقَسَمِ فَإِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُولُ { وَإِنْ مِنْكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا }
“Barang siapa suka rela berjaga-jaga di belakang kaum Muslimin di jalan Allah Tabaroka wa Ta’ala maka ia tidak akan melihat neraka dengan kedua matanya kecuali hanya sebentar saja (selama waktu Allah menebus sumpah). Karena sesungguhnya Allah Tabaroka wa Ta’ala berfirman :“Dan tidak ada seorangpun dari padamu, melainkan mendatangi neraka itu .” (QS. Maryam:71)
Dalam Shahih Bukhari, beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
طُوبَى لِعَبْدٍ آخِذٍ بِعِنَانِ فَرَسِهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَشْعَثَ رَأْسُهُ ، مُغْبَرَّةً قَدَمَاهُ ، إِنْ كَانَ فِي الْحِرَاسَةِ ، كَانَ فِي الْحِرَاسَةِ ، وَإِنْ كَانَ فِي السَّاقَةِ كَانَ فِي السَّاقَةِ ، إِنِ اسْتَأْذَنَ ، لَمْ يُؤْذَنْ لَهُ ، وَإِنْ شَفَعَ ، لَمْ يُشَفَّعْ
“Berbahagialah seorang hamba yang mengambil kendali kudanya di jalan Allah, kepalanya kusut, telapak kakinya berdebu, jika diperintahkan untuk berjaga-jaga ia akan berjaga-jaga, jika diperintahkan di posisi belakang ia akan berada di belakang. Jika minta izin tidak diizinkan dan jika meminta pertolongan tidak diberi pertolongan."
Apabila ada dua mujahid atau lebih yang tidur, hendaknya ada yang bertugas berjaga-jaga dengan saling bergiliran. Apabila dua orang, yang satu tidur maka temannya berjaga-jaga. Ini adalah sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam kondisi perang dan jihad. Karena inilah Islam mengarahkan untuk bersegera tidur setelah shalat isya, tidak menyia-nyiakan waktu untuk hal-hal yang tidak berfaidah. Dalam Shahih Bukhari dan Muslim ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membenci ngobrol setelah shalat isya.
Ada riwayat menyebutkan bahwa Umar radhiyallahu 'anhu biasa memukul orang karena ia ngobrol setelah shalat isya. Ia berkata, “Kalian begadang di awal malam tapi di akhir malam malah tidur!”
Tidak diragukan lagi bahwa berjaga-jaga di jalan Allah adalah substansi ribath. Ribath sendiri adalah berjaga-jaga di suatu tempat yang Anda takutkan musuh akan menyerangnya dan Anda mengkhawatirkannya.
Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
رِبَاطُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَصِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَامِهِ وَإِنْ مَاتَ أُجْرِيَ عَلَيْهِ عَمَلُهُ الَّذِي كَانَ يَعْمَلُهُ وَأُجْرِيَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ وَأَمِنَ الْفَتَّانَ
“Ribath sehari semalam di jalan Allah lebih baik daripada puasa dan shalat malam sebulan penuh. Jika ia mati, amalan yang biasa ia lakukan dan rizkinya akan dialirkan kepadanya serta diselamatkan dari fitnah kubur.”
Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
رِبَاطُ يَوْمٍ فِى سَبِيلِ اللَّهِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا
“Ribath sehari di jalan Allah lebih baik daripada dunia seisinya.”
Oleh karena itu, wahai muwahhid jangan Anda anggap remeh menjaga dirimu sendiri dan suadara-saudaramu. Kita telah ketahui akibat meremehkan masalah berjaga-jaga ini dan efek yang ditimbulannya berupa bala ujian dan musibah bencana. Bertakwalah kepada Allah wahai para hamba Allah, janganlah kalian sia-siakan sunnah Rasulullah.
--------------------------
[3] Hisyam berkata: Wabah penyakit yang menyebar di Madinah cukup terkenal di zaman Jahiliyah. Pada zaman itu apabila suatu lembah terjangkit wabah penyakit dan ada orang yang mendatanginya maka dikatakan padanya: bersuaralah seperti suara keledai. Apabila ia melakukannya maka wabah penyakit yang ada tidak akan membahayakannya. Ada seorang penyair yang bersyair ketika ia akan masuk ke Madinah: demi Allah, jika saya bersuara seperti suara keledai karena takut mati
[4] Dalam "Al-Muwaththa" Imam Malik rahimahullah meriwayatkan dari Yahya bin Sa'id bahwa Aisyah pernah berkata: 'Aamir bin Fahiirah mengatakan:
Aku telah melihat kematian sebelum merasakannya Sesungguhnya matinya seorang penakut datang dari arah atasnya
[5] Setelah meriwayatkan hadits ini Imam Bukhari, Nasai dan Imam Malik menyebutkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
الْمَدِينَةُ كَالْكِيرِ تَنْفِي خَبَثَهَا وَتَنْصَعُ طِيبَهَا
"Madinah itu ibarat al-kiir (alat untuk meniup api di tempat penempaan besi) yang menghilangkan kotorannya dan membiarkan bagian besi yang baik."
Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab shahihnya sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
أُمِرْتُ بِقَرْيَةٍ تَأْكُلُ الْقُرَى ، يَقُولُونَ : يَثْرِبُ وَهَيَ الْمَدِينَةُ تَنْفِي النَّاسَ كَمَا يَنْفِي الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ
"Saya diperintahkan hijrah ke sebuah daerah yang memiliki banyak keutamaan dibanding daerah-daerah yang lain. Orang-orang menamakan tempat itu dengan nama Yatsrib. Itulah yang sekarang bernama Madinah. Ia menyeleksi manusia sebagaimana al-kiir menghilangkan bagian dari besi yang buruk."
[6] Dalam riwayat lain disebutkan "tidak ada yang akan membuat kalian takut", sebagaimana yang terdapat dalam Al-Baihaqi, maksudnya adalah tidak ada sesuatu yang menakutkan dan membahayakan kalian. Imam Nawawi rahimahullah berkata, "Hadits tersebut menunjukkan bolehnya seseorang mencari tahu berita musuh sendirian selama itu, kemunkinan besar, tidak akan menyebabkan kebinasaannya."
Bagian 2 bisa di baca di link dibawah ini :
https://m.facebook.com/
http://www.facebook.com/
Bagian 3 bisa di baca di link dibawah ini :
https://m.facebook.com/
http://www.facebook.com/
Bagian Akhir bisa di baca di link dibawah ini :
https://m.facebook.com/
http://www.facebook.com/
Sumber : Daulah Nabawiyah, oleh Menteri Urusan Perang Daulah Islam Iraq, Syaikh Abu Hamzah Al-Muhajir (rahimahullah)
No comments:
Post a Comment