Allah ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat, dan mohonlah ampun kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa” (An Nisa: 105-107)
Ayat-ayat ini sebab nuzulnya adalah diriwayatkan oleh At Tirmidzi, Al Hakim, dan yang lainnya dari Qatadah Ibnu Nu’man.
Ringkasnya bahwa paman Qatadah, yaitu Rifa’ah Ibnu Zaid membeli bahan makanan dan ia simpan di dalam lumbung bersama senjata, baju besi dan pedang. Suatu saat lumbung tersebut dibobol pencuri sehingga makanan dan senjatanya raib. Maka Rifa’ah menyuruh Qatadah untuk mencari tahu siapa yang mengambilnya, kemudian ada yang memberi tahu bahwa Banu Ubairiq memasak makanan tadi malam yang diindikasikan adalah hasil curian karena mereka itu orang-orang yang melarat dan ada orang munafiq di antara mereka. Qatadah pun melakukan penelitian sampai tidak merasa ragu lagi bahwa merekalah pencurinya, maka ia melaporkan hal itu kepada Rasulullah kemudian beliau menaggapinya seraya berkata: “Saya akan meninjau hal itu,” kemudian tatkala Banu Ubairiq mengetahui hal itu maka mereka bermufakat jahat untuk berbohong kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka mendatangi beliau dan berkata kepadanya: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Qatadah Ibnu Nu’man dan pamannya menuduh keluarga kami yang muslim yang baik-baik dengan tuduhan mencuri tanpa bukti dan kejelasan.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Qatadah tatkala ia datang: “Kamu menyengaja menuduh keluarga musllim yang baik dengan tuduhan pencurian tanpa bukti dan kejelasan?” maka Qatadah mengabarkan hal itu kepada pamannya dan si pamanpun berkata: “Allah sajalah tempat meminta pertolongan,” kemudian tidak lama dari itu turunlah firman Allah ta’ala itu.
Dari ayat ini jelas bahwa para pengkhianat itu atau orang-orang yang mengkhianati dirinya sendiri adalah Banu Ubairiq, yaitu para pencuri yang cuci tangan seraya menutupi kejahatan mereka dan berupaya menipu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar beliau membela mereka dari tuduhan pencurian, dan hampir saja beliau menyalahkan para pemilik hak yang tidak menghadirkan bukti tuduhan, sampai akhirnya Allah ta’ala membongkar muslihat Banu Ubairiq yang terselubung. Allah memerintahkan Rasulullah untuk istighfar atas ucapannya kepada Qatadah, padahal sebenarnya putusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu adalah benar secara dhahir karena orang-orang yang menuduh itu tidak membawa bukti dan pihak yang dituduhpun mengingkari tuduhan itu, sedangkan beliau itu memutuskan hanya berdasarkan dhahir sebagaimana sabdanya: “Sesungguhnya kalian bersengketa kepadaku sedangkan bisa saja sebagian kalian lebih pandai mengutarakan alasannya daripada sebagian yang lain, sehingga aku memutuskan untuk (kemenangan)nya sesuai berdasarkan apa yang aku dengar darinya, oleh sebab itu barangsiapa orangnya yang aku putuskan baginya sesuatu dari hak saudaranya, maka sebenarnya aku hanyalah memotongkan baginya sepotong dari api neraka.” (HR. Bukhari Muslim)
Bila ini teguran Allah ta’ala kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam gambaran kasus semacam itu, maka bagaimana gerangan dengan apa yang dilakukan oleh banyak orang zaman sekarang yang tenaga, ilmu, pikiran dan waktunya dikerahkan untuk membela-bela para penguasa murtad dan ansharnya supaya tidak dikafirkan, padahal kasus-kasus kekafiran dan kemurtaddan mereka itu dilakukan terang-terangan di hadapan umum yang tidak tersamar kecuali atas orang buta tuli atau orang yang buta mata hati, berbeda dengan kasus pencurian makanan tadi yang terselubung. Para thaghut dan ansharnya itu telah bekerja sama di dalam mengkhianati Allah dan Rasul-Nya dengan menyingkirkan hukum Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya dan meninggikan hukum buatan syaithan, juga mereka mengkhianati kaum muslimin dengan menghinakan orang-orang pilihan yang berjuang untuk kejayaan agama mereka dan dengan menjarah serta mencuri harta kekayaan kaum muslimin, baik dengan cara halus maupun kasar, serta dengan menjalankan program-program musuh Islam dan makar mereka terhadap kaum muslimin. Sehingga kekafiran mereka itu bukan hal yang samar terhadap orang muslim yang memahami hakikat Laa ilaaha illallaah. Silahkan rujuk dalil-dalil perihal kekafiran mereka ditulisan-tulisan saya yang lain, sebagaimana yang dikatakan Al Imam Muhammad Al Amin Asy Syinqithiy dalam Adlwaul Bayan: “Sesungguhnya orang-orang yang mengikuti Undang-Undang buatan yang digulirkan oleh syaithan lewat lisan wali-walinya, seraya menyelishi apa yang telah disyari’atkan Allah lewat lisan rasul-rasul-Nya -shalawatullah wa salamuhu ‘alaihim- (adalah) tidak ragu perihal kekafiran dan kemusyrikan mereka kecuali orang yang bashirahnya telah Allah hapus dan Dia butakan (mata)nya dari cahaya wahyu seperti mereka.” (Adlwaaul Bayan Fi Tafsiril Qur’an Bil Qur’an 4/90-92.)
Namun anehnya pada zaman ini bermunculan orang-orang yang berkedok dakwah tauhid yang semangatnya bukan mendakwahi para pelaku syirik akbar kepada tauhid, akan tetapi membentengi dan melontarkan berbagai syubhat yang tujuannya agar para thaghut dan ansharnya itu selamat dari sematan kafir. Mereka berdebat dalam rangka membela para pengkhianat itu, mereka menulis tulisan dan makalah demi menetapkan keislaman para thaghut dan ansharnya agar di atas hukum yang mereka tetapkan buat para thaghut dan ansharnya itu mereka bisa shalat di belakangnya, beramah tamah dengannya, bermain dengannya, serta hal-hal lainnya. Untuk menetapkan keislaman para pengkhianat Allah dan Rasul-Nya itu, kadang para mujadilin (orang-orang yang berdebat demi membela orang-orang musyrik) itu mengatakan bahwa pemerintah ini dan ansharnya adalah orang-orang bodoh, atau penyandaran hak hukum kepada selain Allah itu adalah masail khafiyyah (permasalahan yang samar) sehingga pelakunya tidak bisa dikafirkan sebelum ditegakkan hujjah dan seterusnya.
Oh, andai para mujadilin itu jujur dengan pemahamannya dan dakwahnya sebagai du’at tauhid tentu mestinya orang jahil yang jatuh dalam kemusyrikan itu diberikan penjelasan apalagi para pelakunya selalu interaksi dengan mereka baik dalam kegiatan ibadah maupun yang lainnya, sehingga wajib atas mereka mengingatkan orang-orang itu terhadap bahaya kemusyrikan yang dilakukannya.
Tapi pada waqi’ (realita)nya mereka interaksi dengan orang-orang itu mengudzurnya karena kebodohannya, tapi tidak memberikan pelajaran dan penjelasan kepadanya, dan malah berjidal (berdebat membela) mereka supaya tidak dikafirkan, bahkan justeru mengingkari para ikhwan tauhid yang mengkafirkan para thaghut dan ansharnya itu, semangatnya hanya berjidal untuk melindungi kaum musyrikin.
Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman berkata saat ada orang-orang yang mengingkari ikhwan tauhid yang memusuhi dan mengkafirkan para pelaku syirik dan menghajr orang-orang yang tidak mau mengkafirkan mereka:
1. Bisa jadi mereka telah kalian dakwahi dengan hikmah dan mauidhah hasanah (pengajaran yang baik) serta kalian mendebat mereka dengan dalil-dalil yang bisa diakui dan diterima oleh setiap orang. Terus mereka itu menerima apa yang kalian ajak kepadanya berupa petunjuk dan dien yang haq. Dan mereka rujuk dari kesesatannya serta taubat, kembali dan komitmen dengan ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah. Bila keadaannya seperti ini maka berarti orang yang memusuhi mereka dan yang protes kepada kalian dan kepada mereka adalah salah dhalim lagi aniaya.
2. Dan bisa jadi mereka tidak menerima ajakan kalian berupa petunjuk, dienul haq dan jalan Ahulussunnah Wal Jama’ah dan justeru mereka ngotot, membangkang, keras kepala, dan melawan Allah layaknya unta yang melawan pemiliknya, maka berarti hujjah telah tegak atas mereka. Bila demikian tak ada larangan dari mengkafirkan mereka, menampakkan permusuhan kepada mereka, bara’ darinya, memusuhinya, mentahdzirnya, menjauhinya, dan memutus hubungan dengan mereka karena hujjah telah sampai dan tegak atas mereka.
3. Dan bisa jadi kalian itu tidak mendakwahinya dan tidak menasehatinya, maka berarti kalian tergolong pendukung dan kroni-kroni mereka serta para pembela-pembela mereka sebelum mendakwahi mereka kepada dienulloh dengan hikmah, mauidzah hasanah dan penegakkan hujjah atas mereka.
“inilah kalian yang membela-bela mereka di dunia ini, maka siapa yang membela-bela mereka dari (adzab) Allah di hari kiamat, atau siapa orangnya yang bisa melindungi mereka………?!”
Kalian jadikan diri kalian sebagai tameng mereka dimana kalian menulis tulisan untuk membantah orang yang memusuhi mereka, berusaha mengalahkan mereka, membenci mereka dan menyebarkan keburukan, kebusukan serta kesesatan mereka.
Apakah kalian tidak takut suatu hari yang mana kalian dihari itu dikembalikan kepada Alloh……?! (Kasyfu Syubhatain, 55-56)
Hasrat mereka hanya berjidal untuk membela para pengkhianat Allah dan Rasul-Nya supaya tidak dikafirkan. Para mujadilin itu sangat bersemangat membela orang-orang kafir murtad itu dengan berbagai syubhat dan alasan agar mereka tidak dikafirkan bahkan mereka itu malah mengingkari kepada para muwahhidien yang mengkafirkannya.
Oleh sebab itu Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab berkata tentang orang-orang yang membela-bela para thaghut dan para pelaku syirik itu: “Siapa yang membela-bela mereka atau mengingkari kepada orang yang mengkafirkan mereka atau dia mengklaim bahwa perbuatan mereka ini meskipun bathil namun tidak mengeluarkan mereka kepada kekafiran, maka status minimal orang yang membela-bela ini adalah fasik yang tulisan dan kesaksiannya tidak boleh diterima serta tidak boleh shalat bermakmum padanya, bahkan dienul Islam tidak sah kecuali dengan bara’ dari mereka dan mengkafirkannya” (Addurar Assaniyyah : 10/52-53)
Sehingga para mujadilin yang keberatan dengan takfir mu’ayyan para pelaku kemusyrikan itu tidak sedikit diantara mereka yang ramah dengan orang-orang murtad dan malah dongkol kepada muwahhidin yang mengkafirkan orang-orang murtad itu.
Syaikh Muhammad -rahimahullah- berkata: “Sesungguhnya orang-orang yang keberatan dengan masalah takfir, bila engkau amati mereka ternyata para muwahhidin adalah musuh-musuh mereka yang mereka benci dan dongkol dengannya, sedangkan orang-orang musyrik dan munafik adalah sahabat mereka yang mana mereka merasa dekat dengannya, tapi ini telah terjadi pada orang-orang yang ada di dekat kami di Dar’iyyah dan Uyainah yang (akhirnya) murtad dan benci akan dien (ini). (Addurar Assaniyyah: 10/91)
Itulah realita banyak mujadilin zaman sekarang ini yang sebagiannya mengklaim tauhid dan jihad, sungguh para thaghut dan ansharnya tertawa girang dan tepuk tangan senang dengan ulah para mujadilin itu, dan kalangan salafy maz’uum pun bisa tersenyum manis karena tugas mereka sudah ada yang mewakili yang bisa lebih mempengaruhi.
Para mujadilin itu semakin diterangkan kepada mereka dalil-dalil yang sharih lagi muhkam dan penjelasan-penjelasan para ulama yang terang benderang, maka semakin jauh pula kesesatan dan kerancuan mereka itu dan semakin tampak pula hawa nafsu egoisme yang mereka ikuti serta semakin nyata pula kedengkian mereka terhadap ahlul haq, sehingga mereka tidak memperhatikan etika keilmuan di dalam berbicara dan dalam menulis.
Andai orang memperhatikan realita para mujadilin itu tentu dia tidak akan terheran atas sikap menggebu-gebu dan berapi-api mereka dalam melindungi budak-budak hukum thaghut itu dari sematan kafir atau musyrik, karena para mujadilin itu memiliki kepentingan di balik jidal mereka itu. Ya, kepentingan yang beragam, di antaranya kepentingan untuk bisa shalat di belakangnya kepentingan beramah tamah dengannya kepentingan bekerja sama dakwah dengannya dan seterusnya…. intinya kemudahan dunia…. baik para mujadilin itu mengaku maupun tidak….
Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada nabi kita, keluarganya dan para shahabat seluruhnya.
Walhamdulillahi rabbil ‘Alamin.
Ustadz Abu Sulaiman Aman Abdurrahman
Lp. Kembang Kuning – NK
7 Rabiul Akhir 1434 H.
(KabarDuniaIslam/al-musatqbal.net/millahibrahim.wordpress)
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat, dan mohonlah ampun kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa” (An Nisa: 105-107)
Ayat-ayat ini sebab nuzulnya adalah diriwayatkan oleh At Tirmidzi, Al Hakim, dan yang lainnya dari Qatadah Ibnu Nu’man.
Ringkasnya bahwa paman Qatadah, yaitu Rifa’ah Ibnu Zaid membeli bahan makanan dan ia simpan di dalam lumbung bersama senjata, baju besi dan pedang. Suatu saat lumbung tersebut dibobol pencuri sehingga makanan dan senjatanya raib. Maka Rifa’ah menyuruh Qatadah untuk mencari tahu siapa yang mengambilnya, kemudian ada yang memberi tahu bahwa Banu Ubairiq memasak makanan tadi malam yang diindikasikan adalah hasil curian karena mereka itu orang-orang yang melarat dan ada orang munafiq di antara mereka. Qatadah pun melakukan penelitian sampai tidak merasa ragu lagi bahwa merekalah pencurinya, maka ia melaporkan hal itu kepada Rasulullah kemudian beliau menaggapinya seraya berkata: “Saya akan meninjau hal itu,” kemudian tatkala Banu Ubairiq mengetahui hal itu maka mereka bermufakat jahat untuk berbohong kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka mendatangi beliau dan berkata kepadanya: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Qatadah Ibnu Nu’man dan pamannya menuduh keluarga kami yang muslim yang baik-baik dengan tuduhan mencuri tanpa bukti dan kejelasan.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Qatadah tatkala ia datang: “Kamu menyengaja menuduh keluarga musllim yang baik dengan tuduhan pencurian tanpa bukti dan kejelasan?” maka Qatadah mengabarkan hal itu kepada pamannya dan si pamanpun berkata: “Allah sajalah tempat meminta pertolongan,” kemudian tidak lama dari itu turunlah firman Allah ta’ala itu.
Dari ayat ini jelas bahwa para pengkhianat itu atau orang-orang yang mengkhianati dirinya sendiri adalah Banu Ubairiq, yaitu para pencuri yang cuci tangan seraya menutupi kejahatan mereka dan berupaya menipu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar beliau membela mereka dari tuduhan pencurian, dan hampir saja beliau menyalahkan para pemilik hak yang tidak menghadirkan bukti tuduhan, sampai akhirnya Allah ta’ala membongkar muslihat Banu Ubairiq yang terselubung. Allah memerintahkan Rasulullah untuk istighfar atas ucapannya kepada Qatadah, padahal sebenarnya putusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu adalah benar secara dhahir karena orang-orang yang menuduh itu tidak membawa bukti dan pihak yang dituduhpun mengingkari tuduhan itu, sedangkan beliau itu memutuskan hanya berdasarkan dhahir sebagaimana sabdanya: “Sesungguhnya kalian bersengketa kepadaku sedangkan bisa saja sebagian kalian lebih pandai mengutarakan alasannya daripada sebagian yang lain, sehingga aku memutuskan untuk (kemenangan)nya sesuai berdasarkan apa yang aku dengar darinya, oleh sebab itu barangsiapa orangnya yang aku putuskan baginya sesuatu dari hak saudaranya, maka sebenarnya aku hanyalah memotongkan baginya sepotong dari api neraka.” (HR. Bukhari Muslim)
Bila ini teguran Allah ta’ala kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam gambaran kasus semacam itu, maka bagaimana gerangan dengan apa yang dilakukan oleh banyak orang zaman sekarang yang tenaga, ilmu, pikiran dan waktunya dikerahkan untuk membela-bela para penguasa murtad dan ansharnya supaya tidak dikafirkan, padahal kasus-kasus kekafiran dan kemurtaddan mereka itu dilakukan terang-terangan di hadapan umum yang tidak tersamar kecuali atas orang buta tuli atau orang yang buta mata hati, berbeda dengan kasus pencurian makanan tadi yang terselubung. Para thaghut dan ansharnya itu telah bekerja sama di dalam mengkhianati Allah dan Rasul-Nya dengan menyingkirkan hukum Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya dan meninggikan hukum buatan syaithan, juga mereka mengkhianati kaum muslimin dengan menghinakan orang-orang pilihan yang berjuang untuk kejayaan agama mereka dan dengan menjarah serta mencuri harta kekayaan kaum muslimin, baik dengan cara halus maupun kasar, serta dengan menjalankan program-program musuh Islam dan makar mereka terhadap kaum muslimin. Sehingga kekafiran mereka itu bukan hal yang samar terhadap orang muslim yang memahami hakikat Laa ilaaha illallaah. Silahkan rujuk dalil-dalil perihal kekafiran mereka ditulisan-tulisan saya yang lain, sebagaimana yang dikatakan Al Imam Muhammad Al Amin Asy Syinqithiy dalam Adlwaul Bayan: “Sesungguhnya orang-orang yang mengikuti Undang-Undang buatan yang digulirkan oleh syaithan lewat lisan wali-walinya, seraya menyelishi apa yang telah disyari’atkan Allah lewat lisan rasul-rasul-Nya -shalawatullah wa salamuhu ‘alaihim- (adalah) tidak ragu perihal kekafiran dan kemusyrikan mereka kecuali orang yang bashirahnya telah Allah hapus dan Dia butakan (mata)nya dari cahaya wahyu seperti mereka.” (Adlwaaul Bayan Fi Tafsiril Qur’an Bil Qur’an 4/90-92.)
Namun anehnya pada zaman ini bermunculan orang-orang yang berkedok dakwah tauhid yang semangatnya bukan mendakwahi para pelaku syirik akbar kepada tauhid, akan tetapi membentengi dan melontarkan berbagai syubhat yang tujuannya agar para thaghut dan ansharnya itu selamat dari sematan kafir. Mereka berdebat dalam rangka membela para pengkhianat itu, mereka menulis tulisan dan makalah demi menetapkan keislaman para thaghut dan ansharnya agar di atas hukum yang mereka tetapkan buat para thaghut dan ansharnya itu mereka bisa shalat di belakangnya, beramah tamah dengannya, bermain dengannya, serta hal-hal lainnya. Untuk menetapkan keislaman para pengkhianat Allah dan Rasul-Nya itu, kadang para mujadilin (orang-orang yang berdebat demi membela orang-orang musyrik) itu mengatakan bahwa pemerintah ini dan ansharnya adalah orang-orang bodoh, atau penyandaran hak hukum kepada selain Allah itu adalah masail khafiyyah (permasalahan yang samar) sehingga pelakunya tidak bisa dikafirkan sebelum ditegakkan hujjah dan seterusnya.
Oh, andai para mujadilin itu jujur dengan pemahamannya dan dakwahnya sebagai du’at tauhid tentu mestinya orang jahil yang jatuh dalam kemusyrikan itu diberikan penjelasan apalagi para pelakunya selalu interaksi dengan mereka baik dalam kegiatan ibadah maupun yang lainnya, sehingga wajib atas mereka mengingatkan orang-orang itu terhadap bahaya kemusyrikan yang dilakukannya.
Tapi pada waqi’ (realita)nya mereka interaksi dengan orang-orang itu mengudzurnya karena kebodohannya, tapi tidak memberikan pelajaran dan penjelasan kepadanya, dan malah berjidal (berdebat membela) mereka supaya tidak dikafirkan, bahkan justeru mengingkari para ikhwan tauhid yang mengkafirkan para thaghut dan ansharnya itu, semangatnya hanya berjidal untuk melindungi kaum musyrikin.
Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman berkata saat ada orang-orang yang mengingkari ikhwan tauhid yang memusuhi dan mengkafirkan para pelaku syirik dan menghajr orang-orang yang tidak mau mengkafirkan mereka:
1. Bisa jadi mereka telah kalian dakwahi dengan hikmah dan mauidhah hasanah (pengajaran yang baik) serta kalian mendebat mereka dengan dalil-dalil yang bisa diakui dan diterima oleh setiap orang. Terus mereka itu menerima apa yang kalian ajak kepadanya berupa petunjuk dan dien yang haq. Dan mereka rujuk dari kesesatannya serta taubat, kembali dan komitmen dengan ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah. Bila keadaannya seperti ini maka berarti orang yang memusuhi mereka dan yang protes kepada kalian dan kepada mereka adalah salah dhalim lagi aniaya.
2. Dan bisa jadi mereka tidak menerima ajakan kalian berupa petunjuk, dienul haq dan jalan Ahulussunnah Wal Jama’ah dan justeru mereka ngotot, membangkang, keras kepala, dan melawan Allah layaknya unta yang melawan pemiliknya, maka berarti hujjah telah tegak atas mereka. Bila demikian tak ada larangan dari mengkafirkan mereka, menampakkan permusuhan kepada mereka, bara’ darinya, memusuhinya, mentahdzirnya, menjauhinya, dan memutus hubungan dengan mereka karena hujjah telah sampai dan tegak atas mereka.
3. Dan bisa jadi kalian itu tidak mendakwahinya dan tidak menasehatinya, maka berarti kalian tergolong pendukung dan kroni-kroni mereka serta para pembela-pembela mereka sebelum mendakwahi mereka kepada dienulloh dengan hikmah, mauidzah hasanah dan penegakkan hujjah atas mereka.
“inilah kalian yang membela-bela mereka di dunia ini, maka siapa yang membela-bela mereka dari (adzab) Allah di hari kiamat, atau siapa orangnya yang bisa melindungi mereka………?!”
Kalian jadikan diri kalian sebagai tameng mereka dimana kalian menulis tulisan untuk membantah orang yang memusuhi mereka, berusaha mengalahkan mereka, membenci mereka dan menyebarkan keburukan, kebusukan serta kesesatan mereka.
Apakah kalian tidak takut suatu hari yang mana kalian dihari itu dikembalikan kepada Alloh……?! (Kasyfu Syubhatain, 55-56)
Hasrat mereka hanya berjidal untuk membela para pengkhianat Allah dan Rasul-Nya supaya tidak dikafirkan. Para mujadilin itu sangat bersemangat membela orang-orang kafir murtad itu dengan berbagai syubhat dan alasan agar mereka tidak dikafirkan bahkan mereka itu malah mengingkari kepada para muwahhidien yang mengkafirkannya.
Oleh sebab itu Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab berkata tentang orang-orang yang membela-bela para thaghut dan para pelaku syirik itu: “Siapa yang membela-bela mereka atau mengingkari kepada orang yang mengkafirkan mereka atau dia mengklaim bahwa perbuatan mereka ini meskipun bathil namun tidak mengeluarkan mereka kepada kekafiran, maka status minimal orang yang membela-bela ini adalah fasik yang tulisan dan kesaksiannya tidak boleh diterima serta tidak boleh shalat bermakmum padanya, bahkan dienul Islam tidak sah kecuali dengan bara’ dari mereka dan mengkafirkannya” (Addurar Assaniyyah : 10/52-53)
Sehingga para mujadilin yang keberatan dengan takfir mu’ayyan para pelaku kemusyrikan itu tidak sedikit diantara mereka yang ramah dengan orang-orang murtad dan malah dongkol kepada muwahhidin yang mengkafirkan orang-orang murtad itu.
Syaikh Muhammad -rahimahullah- berkata: “Sesungguhnya orang-orang yang keberatan dengan masalah takfir, bila engkau amati mereka ternyata para muwahhidin adalah musuh-musuh mereka yang mereka benci dan dongkol dengannya, sedangkan orang-orang musyrik dan munafik adalah sahabat mereka yang mana mereka merasa dekat dengannya, tapi ini telah terjadi pada orang-orang yang ada di dekat kami di Dar’iyyah dan Uyainah yang (akhirnya) murtad dan benci akan dien (ini). (Addurar Assaniyyah: 10/91)
Itulah realita banyak mujadilin zaman sekarang ini yang sebagiannya mengklaim tauhid dan jihad, sungguh para thaghut dan ansharnya tertawa girang dan tepuk tangan senang dengan ulah para mujadilin itu, dan kalangan salafy maz’uum pun bisa tersenyum manis karena tugas mereka sudah ada yang mewakili yang bisa lebih mempengaruhi.
Para mujadilin itu semakin diterangkan kepada mereka dalil-dalil yang sharih lagi muhkam dan penjelasan-penjelasan para ulama yang terang benderang, maka semakin jauh pula kesesatan dan kerancuan mereka itu dan semakin tampak pula hawa nafsu egoisme yang mereka ikuti serta semakin nyata pula kedengkian mereka terhadap ahlul haq, sehingga mereka tidak memperhatikan etika keilmuan di dalam berbicara dan dalam menulis.
Andai orang memperhatikan realita para mujadilin itu tentu dia tidak akan terheran atas sikap menggebu-gebu dan berapi-api mereka dalam melindungi budak-budak hukum thaghut itu dari sematan kafir atau musyrik, karena para mujadilin itu memiliki kepentingan di balik jidal mereka itu. Ya, kepentingan yang beragam, di antaranya kepentingan untuk bisa shalat di belakangnya kepentingan beramah tamah dengannya kepentingan bekerja sama dakwah dengannya dan seterusnya…. intinya kemudahan dunia…. baik para mujadilin itu mengaku maupun tidak….
Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada nabi kita, keluarganya dan para shahabat seluruhnya.
Walhamdulillahi rabbil ‘Alamin.
Ustadz Abu Sulaiman Aman Abdurrahman
Lp. Kembang Kuning – NK
7 Rabiul Akhir 1434 H.
(KabarDuniaIslam/al-musatqbal.net/millahibrahim.wordpress)
No comments:
Post a Comment