Tuesday, December 25, 2012

Taqiyah adalah perisai perlindungan Bagi Syi'ah



Menurut keterangan ulama Syi’ah sendiri bahwa taqiyah hukumnya wajib hingga imam ke 12 bangkit dari “tidur panjangnya”. Ibnu Babawaih Al -Qummi yang dijuluki Ash-Shaduq – yang selalu berkata benar – mengatakan:

“Keyakinan kami bahwa taqiyah adalah wajib, meninggalkan taqiyah sama seperti meninggalkan shalat, tidak boleh ditinggalkan hingga keluarnya Imam Mahdi, siapa yang meninggalkan taqiyah sebelum keluarnya Imam Mahdi maka telah keluar dari agama Allah (Islam), keluar dari agama Imamiyah dan menyelisihi Allah, Rasul dan para imam.” (Bisa dilihat dalam kitab Al-I’tiqadat, hal. 114, cetakan Darul Mufid, teks di atas ada pada hal. 108).

Juga terdapat riwayat yang mengatakan: “Orang yang meninggalkan taqiyah adalah kafir. (Bisa dilihat di kitab Biharul Anwar, 87/347 dan Fiqhur Ridha, 338).

***

Taqiyyah adalah ajaran penting dalam madzhab syi’ah, hal ini penting untuk anda ketahui. Setiap ajaran pasti memiliki keyakinan-keyakinan dan ajaran tertentu, dan lazimnya sebuah ajaran yang diinginkan untuk berkembang, keyakinan itu ditulis dalam buku. Kita lihat prakteknya agama Islam sendiri memiliki kitab yang memuat ajaran yang harus diyakini oleh seorang muslim yaitu Al-Qur’an, yang mengandung perintah untuk bertanya kepada yang tahu ketika tidak mengerti tentang segala sesuatu. Begitu juga Al-Qur’an memuat sumpah Allah dengan pena, yang dipahami oleh ummat Islam sebagai perintah untuk menulis dan membaca. Sehingga keterangan dari ulama dituangkan dalam kitab-kitab yang dapat dibaca hingga kini. Madzhab-madzhab fiqih dalam islam pun memiliki kitab-kitab rujukan yang memuat pendapat madzhab itu. “Madzhab Syi’ah” pun demikian pula memiliki kitab-kitab rujukan yang memuat keyakinan-keyakinan Syi’ah, kitab ini berisi ucapan-ucapan Ahlul Bait, 11 imam yang konon harus diikuti. Konon lagi, 11 imam itu disebut juga sebagai salah satu dari tsaqalain (dua pusaka) yang harus diikuti oleh orang muslim. Pusaka satu lagi adalah Al-Qur’an. Selain ucapan Ahlul Bait, kitab-kitab itu juga memuat penjelasan-penjelasan ulama Syi’ah, yang juga harus diikuti karena status ulama menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dan ucapan Ahlul Bait di atas. Tapi belakangan ulama Syi’ah naik pangkat menjadi wakil imam ma’shum (yang juga ma’dum = tidak ada) untuk mengatur kehidupan keberagaamaan para penganut Syi’ah.

Tetapi buku-buku yang memuat ajaran Syi’ah itu hampir seluruhnya susah diakses. Terutama buku-buku yang memuat ucapan-ucapan Ahlul Bait, sumber legalitas bagi Syi’ah selain Al-Qur’an, sehingga kita hanya mengetahui ajaran Syi’ah dari mulut-mulut pengikutnya atau dari buku-buku yang ditulis oleh ulama masa kini dan tidak memuat langsung ucapan Ahlul Bait. Ini menimbulkan kerancuan, di satu sisi orang akan mengira bahwa itulah sebenarnya madzhab Syi’ah, tetapi ada golongan lain dari umat Islam yang berkesempatan untuk mengakses ke kitab-kitab induk Syi’ah dan mendapati ternyata ucapan dari penganut Syi’ah tentang madzhabnya itu tidak sesuai dengan isi kitab-kitab tersebut. Perlu diketahui bahwa kitab-kitab Syi’ah itu memuat ajaran-ajaran yang tidak pernah didapat dalam Al-Qur’an serta sabda Nabi SAW. Di sini umat dibuat bingung, akhirnya diadu domba. Ini karena adanya sebagian umat yang celakanya mereka adalah kaum intelektual tetapi terjangkit penyakit lugu dan polos. Mereka begitu saja percaya dengan ucapan-ucapan penganut Syi’ah yang berpropaganda tentang ajarannya tanpa ingin mengecek ke sumber aslinya. Mereka berbenturan dengan orang-orang yang ikhlas ingin mengingatkan umat akan ajaran yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan sabda Nabi SAW. Akhirnya umat pun diadu domba. Lebih berbahaya lagi bahwa mereka adalah kaum intelektual yang didengar suaranya di masyarakat. Kasihan masyarakat yang terbius oleh “angin surga” baik yang dilontarkan oleh penganut Syi’ah maupun dari intelektual yang lugu lagi polos – tapi bergaya intelek –.

Tidak ada yang aneh jika kita melihat fenomena “intelek tapi lugu”, karena sikap lugu mereka tertipu oleh angin surga dari da’i-da’i Syi’ah. Tetapi yang patut dicermati adalah penganut atau ustadz-ustadz Syi’ah, mengapa mereka terkesan menutupi isi riwayat-riwayat dari Ahlul Bait? Mengapa ucapan mereka berbeda dengan apa yang tercantum dalam buku-buku riwayat-riwayat Ahlul Bait? Apakah mereka sengaja ingin menyembunyikan riwayat Ahlul Bait atau mengapa? Ini yang barangkali terlintas pada benak kita. Ataukah riwayat itu hanya diperuntukkan bagi kalangan khusus yang sudah dianggap layak untuk mengaksesnya? Apa pun jawabannya, kitab-kitab Syi’ah sudah bukan barang langka lagi, mereka yang benar-benar ingin mengetahuinya pasti akan dapat menemukan dan mengaksesnya, meskipun para ustadz Syi’ah mencoba sekuat tenaga untuk menyembunyikan.

Sebagai misal, anda tidak akan mendengar penganut atau ustadz Syi’ah menukil riwayat di bawah ini:

Dari Abu Abdillah – Ja’far Ash-Shadiq – mengatakan: “Ambillah harta orang nashibi di mana saja kamu dapatkan, lalu bayarkan seperlimanya pada kami.”

Riwayat ini terdapat dalam kitab Tahdzibul Ahkam jilid. 4, hal. 122, kitab Al-Wafi jilid. 6, hal. 43, begitu juga dinukil oleh Al-Bahrani dalam Al-Mahasin An-Nifsaniyah, Al-Bahrani mengatakan riwayat ini diriwayatkan dari banyak jalur.

Siapakah yang disebut dengan nashibi? Nashibi adalah orang yang memusuhi Ahlul Bait. Tetapi Syi’ah memiliki terminologi yang berbeda atas kata memusuhi Ahlul Bait. yang dimaksud memusuhi Ahlul Bait bukanlah memusuhi alias lawan kata cinta, seperti orang yang memusuhi Ali atau membenci Fathimah, anda tidak akan menemui sikap demikian kecuali pada sebagian orang khawarij yang memang sesat. Tetapi nashibi di sini bermakna mereka yang mendahulukan selain Ali dalam khilafah, alias mereka yang berkeyakinan bahwa Ali bukanlah yang berhak menjadi khalifah sepeninggal Nabi. Kita lihat Al-Bahrani di atas – nama lengkapnya Husain bin Muhammad Al-Ashfur Ad-Darazi Al-Bahrani – dalam kitab yang sama pada hal. 157 memberikan definisi bagi kata nashibi:

Ini karena kamu telah tahu bahwa nashibi adalah mereka yang mendahulukan selain Ali…

Maka kata nashibi meliputi seluruh penganut Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang meyakini fakta dan kenyataan yang ada bahwa khalifah setelah Nabi adalah Abu Bakar. Riwayat di atas adalah ajakan untuk merampok, mencuri, mencopet dan merampas harta Ahlus Sunnah. Ini jelas dari riwayat di atas yang menjelaskan ambillah harta nashibi – sunni – di mana saja, di jalan, di rumahnya, di kantor, pokoknya di mana saja terdapat harta itu. Barangkali situasi di Indonesia belum kondusif untuk melaksanakan riwayat itu, tetapi riwayat di atas dipraktekkan di Irak hari ini, di mana milisi Syi’ah melakukan perbuatan seperti yang dilakukan oleh pasukan ortodok Serbia kepada muslimin Bosnia.

Anda tidak akan mendengar riwayat ini dari ustadz Syi’ah. Mengapa demikian? Ternyata ajaran Syi’ah memuat sebuah ajaran yang membolehkan bagi penganut Syi’ah untuk menyembunyikan keyakinannya di depan non Syi’ah, keyakinan itu disebut dengan taqiyyah. Lagi-lagi menurut keterangan ulama Syi’ah sendiri bahwa taqiyah hukumnya wajib hingga imam ke 12 bangkit dari “tidur panjangnya”. Ibnu Babawaih Al -Qummi yang dijuluki Ash-Shaduq – yang selalu berkata benar – mengatakan:

“Keyakinan kami bahwa taqiyah adalah wajib, meninggalkan taqiyah sama seperti meninggalkan shalat, tidak boleh ditinggalkan hingga keluarnya Imam Mahdi, siapa yang meninggalkan taqiyah sebelum keluarnya Imam Mahdi maka telah keluar dari agama Allah (Islam), keluar dari agama Imamiyah dan menyelisihi Allah, Rasul dan para imam.” (Bisa dilihat dalam kitab Al-I’tiqadat, hal. 114, cetakan Darul Mufid, teks di atas ada pada hal. 108).

Ucapan ini tentunya tidak berasal dari omong kosong maupun pendapat sendiri, karena dalam ucapan di atas kita lihat ada kata: Keyakinan kami, berarti adalah keyakinan madzhab Syi’ah menurut As-Shaduq. Juga ini bukan satu-satunya ucapan ulama Syi’ah tentang wajibnya taqiyah. Ucapan di atas berdasar pada riwayat Ja’far Ash-Shadiq yang bersabda:

“Jika kamu katakan bahwa orang yang meninggalkan taqiyah sama dengan orang yang meninggalkan shalat maka kamu telah berkata benar.”

Bisa dilihat di kitab Biharul Anwar, jilid. 50, hal. 181, jilid. 75, hal. 414, hal. 421, As-Sarair, hal. 476, Kasyful Ghummah, jilid. 3, hal. 252, dan Man Laa Yahdhuruhul Faqih, jilid. 2, hal. 127, serta beberapa sumber lain.

Juga terdapat riwayat yang mengatakan: “Orang yang meninggalkan taqiyah adalah kafir. (Bisa dilihat di kitab Biharul Anwar, 87/347 dan Fiqhur Ridha, 338).

Dari sini saja kita sudah bisa mengetahui bahwa tidak ada orang Syi’ah yang tidak bertaqiyah, tetapi sepandai-pandai tupai melompat pasti jatuh juga, sepandai-pandai Syi’ah bertaqiyah akhirnya terbongkar juga – bagi mereka yang tidak lugu –. Perkataan As-Shaduq di atas memberi jawaban bagi kebingungan kita tentang mengapa ucapan ustadz Syi’ah berbeda dengan isi kitab mereka sendiri. Di samping itu kita jadi tahu dan akhirnya berhati-hati dalam mendengar ucapan penganut Syi’ah, karena apa yang diucapkan di mulutnya tidak sesuai dengan keyakinan hatinya. Ini dilakukan agar keyakinan yang sebenarnya diyakini tidak diketahui orang, akhirnya dia selamat dan tidak dijauhi oleh teman-temannya. Karena kaum muslimin masih memiliki tingkat resistensi yang tinggi pada mereka yang beraliran sesat, sehingga orang yang beraliran sesat bisa dijauhi dan dimusuhi. Jika saja penganut Syi’ah menampakkan keyakinan aslinya pasti dia dimusuhi dan dijauhi. Kondisi demikian kurang menguntungkan karena gerak-gerik penganut Syi’ah untuk menyebarkan ajarannya menjadi sempit karena dia ditolak di mana-mana. Praktek menyembunyikan keyakinan agar tidak dibenci orang ini mirip dengan yang disebutkan dalam Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 41, berikut:

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ لَا يَحْزُنْكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْكُفْرِ مِنَ الَّذِينَ قَالُوا آَمَنَّا بِأَفْوَاهِهِمْ وَلَمْ تُؤْمِنْ قُلُوبُهُمْ

“Hai Rasul, hendaknya janganlah kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, yaitu diantara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka: “Kami telah beriman”, padahal hati mereka belum beriman…”

Juga dalam surat Al-Fath ayat 11:

“Mereka mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam hatinya.”

Juga dalam surat Ali Imran ayat 167:

يَقُولُونَ بِأَفْواهِهِمْ مَا لَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يَكْتُمُونَ

“Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya.”

Repotnya, kita tidak memiliki indikator yang membuat kita tahu apakah penganut Syi’ah yang sedang berbicara dengan kita sedang bertaqiyah atau tidak. Kita mengusulkan pada mereka yang berkompeten untuk menciptakan penemuan baru berupa indikator taqiyah, yang mungkin berupa lampu yang menyala bila seorang Syi’ah sedang bertaqiyah. Jika tidak bisa lampu maka apa saja, seperti kerlingan mata atau tanda di kepala atau apa saja, yang penting orang lain di sekitarnya bisa tahu apakah dia sedang bertaqiyah atau tidak. Penemuan ini begitu mendesak supaya kaum muslimin tidak tertaqiyahi (baca: Tertipu) oleh penganut Syi’ah yang menyembunyikan keyakinannya ketika tidak dalam keadaan bahaya. Lalu apakah para imam juga bertaqiyah? Sudah semestinya demikian, karena bagaimana sang imam menyuruh orang untuk bertaqiyah tapi diri mereka sendiri tidak bertaqiyah.

Di sini terdetik pertanyaan besar, yaitu bagaimana kita tahu para imam sedang bertaqiyah atau tidak? Jika kita membaca sebuah riwayat dari salah seorang imam, maka kita tidak tahu apakah sang imam mengucapkan sabdanya dalam keadaan taqiyah atau tidak, hal ini penting untuk diketahui karena alasan seperti di atas, taqiyah adalah menyembunyikan keyakinan sebenarnya dalam hati dan mengucapkan hal yang berbeda dengan apa yang diyakininya dalam hati. Maka penganut Syi’ah tidak tahu apakah riwayat yang ada adalah benar-benar ajaran imam yang sebenarnya atau hanya taqiyah? Ini adalah masalah yang harus diselesaikan oleh Syi’ah. Jika ada Syi’ah yang berani menyanggah dengan mengatakan bahwa penerapan taqiyah dimulai dari era ghaibah – hilangnya imam – sughra maupun kubra, maka dengan mudah kita jawab: Jika memang demikian maka perintah taqiyah akan muncul tepat sebelum masa ghaibah, yaitu pada era imam Hasan Al-‘Askari, bukannya muncul dari Imam Ja’far As-Shadiq yang hidup jauh sebelum era ghaibah. Maka tidak ada yang menjamin bahwa sabda imam adalah benar-benar ajaran Allah, karena imam juga melakukan taqiyah. Di sini Syi’ah terjebak dalam taqiyah, di mana dia tidak bisa membedakan ajaran imam yang sebenarnya dan ajaran imam yang disampaikan saat bertaqiyah, yang sudah tentu berbeda dengan ajaran imam yang sebenarnya. Dari mana kita mengetahui ajaran imam yang sebenarnya dan ajaran imam yang bertaqiyah? Tidak ada yang bisa memberikan jawaban pasti. Jadi ajaran Syi’ah tidak diketahui mana yang benar-benar ajaran Syi’ah ‘yang dari Allah’ dan mana yang taqiyah. Mestinya penganut Syi’ah hari ini berhati-hati, jangan-jangan ajaran yang mereka anut saat ini bukanlah ajaran Syi’ah sebenarnya, tetapi adalah ajaran dari para imam yang sedang bertaqiyah?!

Mari kita simak ucapan Al-Bahrani dalam kitab Al-Hadaiq An-Nadhirah, jilid. 1, hal. 89:

“Banyak riwayat-riwayat Syi’ah yang diucapkan ketika sedang bertaqiyah yang tidak sesuai dengan hukum sebenarnya.”

Ini pengakuan yang berbahaya, yaitu banyak riwayat Syi’ah yang memuat keterangan kebalikan dari keterangan yang sebenarnya. Pengakuan ini juga masih bisa kita ragukan, yaitu dari mana diketahui bahwa imam sedang bertaqiyah? Juga ini adalah riwayat yang diketahui bahwa imam mengucapkannya dalam keadaan bertaqiyah, lalu bagaimana dengan riwayat lain? Lagi pula bagaimana imam bisa ketahuan sedang bertaqiyah? Apakah taqiyah imam bisa diketahui?

Dan banyak lagi pertanyaan yang susah didapatkan jawabannya.



(nahimunkar.com)

No comments:

Post a Comment